🥀Home 12🥀
"Sabar ada batasnya, jadi tak mungkin setiap ujian hidup bisa dihadapi dengan senyuman."
🥀🥀🥀
"NANTI KALAU KAMU butuh sesuatu, jangan sungkan buat panggil Ibu, ya. Terutama perkara kebutuhan untuk tidur karena rumah ini sudah lama tak dipakai dan hanya Ibu bersihkan. Takutnya nanti ada rayap atau semacamnya."
Fay menyimak baik-baik setiap hal yang disampaikan Bu Asih, orang yang akhirnya mengontrakkan sepetak rumah kecil dengan harga murah padanya. Bu Asih punya konveksi rumahan dan mempekerjakan banyak karyawan. Jadi, bisa Fay anggap bahwa memberikan sepetak rumah kecil ini untuk ditinggalinya dengan harga murah adalah didasari rasa kemanusiaan.
Sungguh Fay beruntung bertemu orang baik via jalur Mang Ojak.
"Terima kasih, Bu," kata Fay pelan.
Bu Asih mengangguk dengan senyum manis mengembang. "Kalau kamu butuh kerja tambahan juga bisa kok kerja di tempat Ibu. Sistemnya borongan, kamu bisa pilih mau buang benang atau kursus jahit dahulu. Gaji buang benang dan penjahit tentu beda, tergantung mau kamu yang mana."
Wanita gemuk berkonde di depannya ini benar-benar punya hati yang baik.
"Saya pertimbangkan dulu, Bu," jawab Fay pendek. Meski senang, hati kecilnya justru merasakan kesungkanan yang terus membesar. Dia tak bisa menerima kebaikan orang dengan cuma-cuma.
"Baiklah. Ya sudah, sekarang Ibu pamit, ya."
Fay mengangguk menanggapi kalimat pamit Bu Asih. Lalu, setelah wanita 50-an itu pergi, Fay menatap sebuah kunci di tangannya. Sekarang akhirnya dia punya tempat tinggal sendiri, dengan harga 300.000 per bulan.
Saat dicek tadi bersama Bu Asih, rumah kecil ini hanya terdiri dari dua ruangan, yakni satu untuk kamar, satu untuk ruang tengah. Kamar mandi ada di luar, tak ada tempat untuk dapur juga. Namun, tak apalah, segini lebih dari cukup untuknya menenangkan diri.
Ini pukul tujuh lewat, Fay harusnya sudah berangkat ke tempat kerja. Ya, meski hari Minggu, dia tetap masuk dengan jam kerja yang dimundurkan, yaitu dari pukul delapan sampai pukul tiga sore, dan bisa lembur sampai pukul sembilan malam. Namun, karena hari ini dia mau pindahan, sepertinya Fay tak akan lembur.
***
Langit Bandung sore ini tampak begitu cerah, sangat mendukung muda-mudi yang mau hang out sama teman atau pacaran, atau cuma kelayapan iseng nyari mangsa baru. Disya dan keempat rekannya juga pergi ke luar bareng-bareng dengan dua motor. Namun, mereka punya tujuan jelas, makanya tujuan mereka mengarah ke Desa Malasari.
"Ini rumahnya?" tanya Nana begitu motor yang ditumpangi Disya diberhentikan Upi tepat di depan jalan gang.
"Iya," jawab Disya tanpa turun dari motor.
Pernyataan cewek itu sontak bikin keempatnya langsung berpandangan. Motor kembali dijalankan, melaju pelan karena melewati gang yang ramai. Sampai kemudian, mereka tiba di sebuah rumah yang bisa dibilang cukup mewah di kawasan itu. Pagar besinya menjulang tinggi. Motor Upi dan Nana berhenti di sana.
Sila dan Ren yang menumpang dempet tiga di motor Nana, otomatis buru-buru turun karena lutut mereka pegal.
"Kayaknya sepi, deh," celetuk Ren yang mengamati keadaan rumah baik-baik.
"Mungkin lagi pada di dalam rumah." Disya juga menyusul turun dan merapikan celana jinsnya.
"Asalamualaikum!" Disya memberi salam.
Pagar hitam itu sebenarnya tidak dikunci, tetapi dia terlalu sungkan untuk masuk tanpa izin pemilik rumah. Jadilah Disya terus memberi salam sampai berkali-kali dan hasilnya tetap sama, tak ada yang datang membukakan pagar apalagi menjawab salamnya.
"Masuk aja kali," kata Nana yang sudah tak bisa lagi menunggu.
"Iya kali. Toh, siapa tahu mereka gak denger. Itu pintunya kayak kebuka, jadi bisa aja di dalam ada orang," timpal Ren.
Empat temannya setuju dengan gagasan Nana, jadi Disya tak punya kekuatan untuk menolak.
"Baiklah," putusnya sambil harap-harap cemas.
Mereka pun melangkah beriringan menapaki halaman depan rumah. Pandangan mereka tampak awas.
"Asalamualaikum!" Disya kembali memberi salam begitu mereka tiba di depan pintu.
Hal yang sama terjadi, mereka terabaikan. Padahal di dalam terdengar suara-suara ribut yang samar. Sampai tiba-tiba handel pintu terbuka dan muncullah seorang cowok berpakaian kaus oblong dengan rambut yang berantakan.
"Eh?" Kevin tampak kaget dengan kemunculan lima cewek di depan rumahnya. Namun, dia tampak bolak-balik menatap ke dalam rumah dengan ekspresi panik.
"Ngapain?" sambungnya sedikit panik.
Di belakang sana, Nana dan Upi saling pandang dengan curiga. Ada yang aneh.
"Kami mau nyari Fay," jawab Disya jujur dan tenang.
"Oh." Kevin kembali menengok ke dalam. Dia tampak salah tingkah dan gugup. "Ngapain deh nyariin tuh orang gak penting?"
Mendengar kalimat bernada datar itu, Disya hanya bisa mengernyit bingung. Dia ingat pernah bertemu cowok ini, saudara tiri Fay saat pertama kali datang ke sini. Namun, dia tak menyangka dengan sikap cowok itu.
"Soalnya ...."
"PERGI AJA KAMU! DASAR ANAK GAK BERGUNA! EMANGNYA KAMU BISA HAH, HIDUP TANPA AKU? KAMU ITU MASIH KECIL, MASIH NGEREPOTIN ORANG TUA, SOK-SOKAN HIDUP SENDIRIAN DI KOTA ORANG!"
Disya langsung mengatupkan mulut begitu mendengar teriakan yang menggelegar itu. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh keempat temannya. Kedua mata mereka tampak membulat dengan leher agak memanjang demi bisa melihat apa gerangan yang membuat seorang wanita itu berteriak.
Lalu, beberapa saat berikutnya, Fay tampak muncul sambil membawa tas sekolahnya yang sudah terisi penuh entah oleh apa. Di belakangnya, ada Sari yang tengah memegang sapu.
"Dasar anak sialan! Begini cara kamu balas budi, hah?" teriak wanita itu lagi. "Memang seharusnya aku dulu gak nerima kamu! Seharusnya kubiarin aja kamu hidup luntang-lantung di Jawa!"
Kalimat menohok itu tak hanya menusuk hati Fay, tetapi juga kelima tamu tak diundang sore ini. Disya refleks tutup mulut dengan tangan kanannya yang gemetar kecil.
Kevin berdecak jengkel. "Pulang aja, deh. Kalian gak usah temenin sampah gak berguna itu," pungkasnya sebelum kembali masuk dan menutup pintu.
Upi melirik Disya, Nana menapatnya, Ren dan Sila juga saling pandang. Mereka kompak kebingungan, kedua kaki mereka juga seperti direkatkan kuat-kuat ke lantai. Sejujurnya pemandangan ini tak boleh dilihat, apalagi posisi mereka adalah tamu.
Lalu, semua terjadi dengan cepat. Fay yang terburu-buru melangkah dengan kepala tertunduk, akhirnya mendongak dan bertemu tatap dengan kelima cewek itu. Waktu seolah-olah terhenti, suara-suara pun lenyap begitu saja.
***
"Pagi, Fay! Udah sarapan belum?"
Fay mengabaikan sapaan bernada ramah itu. Dia hanya terus melangkah di lorong kelas.
"Pagiii, Fay!" Kali ini Disya yang muncul. "Nih, diterima, ya!" Dia menyerahkan kotak bekal merah muda ke depan tubuh Fay.
Namun, cewek itu hanya terus berjalan dengan langkah-langkah panjangnya. "Aku gak butuh," katanya tajam begitu Disya tak juga menyerah berbuat baik padanya.
Penolakan itu sudah diprediksi, tetapi Disya tak akan menyerah. Setelah kejadian canggung kemarin, dia justru makin gencar untuk masuk ke kehidupan Fay sebagai teman, atau mungkin lebih dari itu. Dia tak akan membiarkan temannya sendirian saat terluka.
"Tapi kamu udah sarapan belum?" tanya Disya begitu mereka mendekati papan pengumuman.
Fay menggeleng. "Jangan berbuat baik padaku. Aku gak butuh dikasihani," pungkasnya sebelum kembali berjalan—kali ini sedikit berlari—menuju ruangannya.
Sialnya, meski kelas untuk pelaksanaan UTS diacak, Fay justru satu ruangan dengan Disya. Cewek itu terus bersikap baik dan ramah padanya. Namun, Fay tak akan luluh. Dia tak butuh dikasihani. Dia benci dikasihani.
🥀🥀🥀
Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro