Teror
Waktu menunjukan pukul 9 pagi dan aku masih mengantuk karena pemandangan mengerikan di depanku.
Angka-angka berderet dengan "indah"nya sampai-sampai, siswa dan siswi di hadapannya mengantuk karena pemandangannya terlalu "menakjubkan".
Tiba-tiba, Bima membuka pintu dengan keras sehingga aku yang tadinya hampir tertidur, kembali membuka mata.
"Ada mayat di toilet!" teriaknya
Ah, yang benar saja. Jika ada mayat di toilet, yang menemukan pertama kali pastilah staff, karena mereka membereskan ruangan-ruangan sekolah sebelum para murid datang.
"Jangan bercanda," kata Fanya, si gadis menor yang tidak terlalu pandai.
Tidak lama kemudian, terlihat banyak anak-anak yang berlari menuju toilet. Beberapa diantaranya bahkan berteriak "mayat" supaya orang lain mendengar alasan mengapa orang-orang begitu sibuk berlarian.
"Siapa?" Kevin, si ketua OSIS bertanya.
"Sebaiknya kau lihat sendiri," ucap Bima.
Wali kelas yang tadi sedang mengajar, segera keluar tanpa mengucapkan sepatah kata pun, para murid yang penasaran, lantas mengikutinya.
Di depan toilet, banyak sekali orang yang sedang berkumpul. Mereka menyaksikan secara langsung bagaimana keadaan mayat itu.
Salah satu bola matanya keluar, diikuti bagian perutnya yang sobek dan urat-urat tangannya yang berhamburan di lantai toilet, membuat pemandangan buruk tempat itu menjadi semakin mengerikan.
Polisi datang beberapa saat kemudian, mereka lalu mengintrogasi saksi yang pertama kali melihat mayat tersebut, termasuk para staff yang entah mengapa tidak mengetahui adanya mayat di dalam toilet, padahal jelas terlihat bahwa mayat itu mati lebih dari 10 jam yang lalu—jika dilihat dari ciri fisiknya.
Karena masalah itu, sekolah terpaksa di liburkan sementara waktu, untuk mempermudah polisi melakukan penyelidikan.
*
Aku menunggu ojek langgananku datang di depan gerbang, setelah memberinya kabar bahwa aku akan pulang lebih awal. Namun, sebelum ojekku itu datang, seorang polisi mendekatiku.
"Kamu Rina, 'kan?" tanya polisi tersebut, yang dibalas anggukan olehku, karena orang yang bernama Rina hanyalah aku di semua angkatan yang ada dan tidak ada guru yang memiliki nama sama denganku.
Polisi itu lalu memberikan sebuah lipatan kertas kepadaku, aku lantas membacanya langsung, "Temukan aku, atau kubunuh semua temanmu Rina!" kataku.
"Tapi, aku tidak melakukan apapun yang berkaitan dengan tindak kriminal!" Aku membela. Namun begitu, polisi tak dapat percaya, hingga mereka melihat buktinya dengan mata kepala mereka sendiri.
Saat mengecek kamera pengawas pun, tidak ada hal mencurigakan yang aku lakukan. Polisi juga mencari data tentangku, jika saja aku pernah bertindak kriminal sebelumnya. Bahkan, ketika mereka mewawancarai teman, hingga guru-guru yang pernah mengajar di sekolahku yang sebelumnya, mereka masih tidak menemukan catatan buruk.
Hari-hari berlalu dengan cepat, aku dibebaskan dari tuduhan karena tidak ada bukti yang kuat jika aku pernah melakukan kejahatan. Aku juga mulai masuk sekolah dan mengikuti pelajaran seperti biasanya.
"Rin, sebenernya pas kamu gak ada, kita nemu mayat di perpustakaan. Tapi karena kita gak mau sekolah di cap semakin buruk, kita bawa dia langsung ke keluarganya." Kei temanku berbisik saat orang lain tengah sibuk beres-beres untuk pulang.
"Siapa?"
"Reno," jawabnya.
"Aku harap kamu kumpul di belakang perpus udah ini, karena ada hal penting yang harus dibicarain."
*
Kulihat, beberapa teman kelasku tengah berkumpul di belakang perpustakaan. Kei yang melihatku datang lalu mengajakku pergi ke tempat yang lebih sepi, diikuti teman yang lain.
Di taman belakang sekolah, Kei menceritakan semua yang terjadi. Dia bilang, di dalam saku seragam Reno—teman sekelasku—terdapat kertas lipat bertuliskan "Kamu terlambat (1)". Mendengar itu, aku lalu mencocokkannya dengan kertas yang sebelumnya dan menceritakan semuanya.
Reno dibunuh pada malam hari, ketika teman-temanku sedang melakukan uji nyali di sekolah. Kebetulan, salah satu dari mereka datang ke perpustakaan untuk mencari hantu disana. Namun, bukan hantu yang ia dapatkan, melainkan Reno yang sedang sekarat.
Saat Wira—temanku—memanggil yang lain, Reno sudah tidak bernapas lagi. Melihat itu, anak-anak yang tadinya sedang melakukan uji nyali membawa mayat Reno ke dalam mobil dan mengantarkannya ke orang tuanya.
Wira, Kei dan yang lainnya meminta orang tua Reno untuk tutup mulut sementara, hingga mereka mengetahui penyebab kematian Reno. Mereka juga tidak ingin merusak reputasi sekolah yang sedang mengalami masalah.
Setelah berdebat lumayan lama, orang tua Reno akhirnya setuju untuk menutup mulut. Ketika Ani—temanku yang lain—akan membiayai pemakaman Reno.
"Kalau kamu mau, kita bisa bantu kamu. Kita tau kok, kamu bukan orang jahat." Vina bersuara.
"Nanti malem, kita bakal kesini lagi buat nyari tau apa yang terjadi," lanjut Wira.
Aku mengangguk, ini berhubungan denganku dan aku juga harus tahu. Jika memang benar aku "Rina" yang dimaksud, aku harus mengumpulkan bukti dan memaksa pembunuh itu mangatakan alasannya membunuh temanku.
*
Malam telah tiba, aku dan teman-temanku datang ke sekolah. Disana, kami berjalan mengendap agar satpam yang sedang berjaga, tidak menemukan kami.
Setelah berhasil melewati satpam, kami membagi kelompok menjadi 3 bagian, guna mempersingkat waktu mencari barang bukti.
Aku dengan Vina mencari petunjuk ke ruangan kelas 10, Wira dan Ani mencari ke ruangan kelas 11, yang terakhir, Kei dan Bima mencari di ruang kelas 12.
Belum lama kami mencari petunjuk, Wira datang kepadaku dan Vina dengan tergesa. Terlihat, matanya melotot dan ekspresinya sangat ketakutan.
"Ani! Ani dicekik oleh Reno, tapi aku tidak bisa melepaskan cekikannya!"
"Orang baik tidak akan menjadi hantu, kau tahu?" balas Vina. Namun begitu, kami tetap pergi ke tempat Ani berada.
Disana, Kei dan Bima tengah melepaskan cengkraman Reno pada Ani yang wajahnya kini telah memucat. Tapi tidak ada satu jari pun yang terlepas dari leher Ani, bahkan setelah Wira ikut membantu.
Aku dan Vina ikut melepaskan jari Reno, tapi Reno semakin menaikan tubuh Ani hingga kami tidak dapat menjangkaunya karena dia lebih tinggi dari kami.
Tak kehabisan akal, kami menarik kaki Reno, berharap pemuda itu akan terjatuh. Tapi, cara itu pun, tidak berhasil, ia malah menekan leher Ani hingga darah keluar dari lehernya dan Ani ....
Tapi, kenapa Reno dapat disentuh?
Kami terbelalak, saat Ani kehilangan nyawanya, Reno pun ikut menghilang. Pemuda itu pergi entah kemana, meninggalkan aku dan yang lainnya dalam kesedihan.
Vina langsung membawa kain pel dan membersihkan darah yang berceceran, diikuti Kei yang menggendong Ani dan membawanya ke dalam mobil.
"Kita bilang jika Ani di begal, orang tuanya tidak akan menyelidiki kasus anak 'haramnya'," kata Bima dengan suara bergetar.
Di belakang, Vina menangis dengan keras. Dia tidak menyangka jika sahabatnya akan pergi begitu cepat. Padahal, baru beberapa menit lalu mereka mengobrol.
Di depan, Wira dan Bima juga tengah menahan tangis. Sedangkan di belakang, Kei memeluk tubuh Ani yang mulai kaku.
Aku tidak tahu harus mengatakan apa untuk menenangkan semuanya, karena aku juga merasakan kehilangan sama seperti mereka.
*
Keesokan harinya, kami kembali datang ke sekolah sambil membawa senjata tajam untuk berjaga-jaga.
Sebenarnya, kami tak ingin kembali ke tempat ini. Hanya saja, Kei menemukan surat yang jatuh dari saku Ani. Di dalamnya tertulis, jika mereka datang lagi dan menemukan sebuah petunjuk, pembunuhnya akan muncul segera.
Kami tidak tahu petunjuk apa yang ditinggalkan, tapi prioritas utama kami adalah mencari benda yang tidak berhubungan dengan sekolah sekarang.
Kami kembali membagi kelompok, Kei dengan Bima dan Aku, Vina juga Wira berada dalam kelompok yang sama.
Kami mencari petunjuk ke berbagai tempat, bahkan pada setiap sudut ruangan, kami selidiki dengan teliti. Tapi, meskipun sudah mencari selama berjam-jam, tidak ada satupun benda yang mencurigakan.
Wira pergi ke toilet, menyisakan aku dan Vina berdua—kami menyenteri lorong, berharap petunjuk yang kami cari-cari ditemukan dan tidak ada lagi orang yang menjadi korban.
Kei datang sambil membawa sebuah kendi kecil di tangannya—ia berlari menghampiri kami dan mengatakan bahwa Bima telah tiada—Kei lihat, seseorang menyobek kulit pemuda itu dan memasukkannya ke dalam kendi yang dia bawa.
"Kamu, 'kan pembunuhnya? Kamu!" Kei berkata sembari melamun di depanku.
"Hei, dia bersamaku sejak tadi." Vina membela.
Kei melirik Vina sebentar, setelah itu, ia tiba-tiba menyerangku dengan pisaunya. Sontak, aku mundur dan lari menjauh. Sedangkan Vina, ia pergi ke tempat Wira untuk memberitahu apa yang terjadi.
Aku berlari memutar menuju toilet, diikuti Kei dengan tatapan kosongnya seolah dia kerasukan roh jahat. Sampai dia terjatuh ... kendi yang ia bawa pecah membuat kulit manusia yang berada di dalamnya berserakan.
Tiba-tiba, Kei berhenti dan menusukkan pisau ke perutnya, "Tolong Rina! Tolong aku ...." Kei meringis sambil menusuk perutnya terus-menerus.
Pemuda itu jatuh, dengan darah yang membasahi pakaiannya. Aku lalu mendekati Kei, sembari berharap jika dia masih hidup dan Wira akan membawanya ke rumah sakit. Tapi sudah terlambat, Kei sudah tidak ada di dunia ini.
Di samping jasad Kei, terdapat beberapa potongan kulit yang ditempeli kertas. Aku lantas mengambilnya dan membaca tulisan kecil yang terdapat pada kertas tersebut.
Disana, tertulis semua temanku yang telah tiada dari Reno hingga Kei juga ... Bima dan Fanya?
"Wah, petunjuknya sudah ketemu, ya," ucap seseorang di belakangku.
Aku berbalik perlahan, dan menemukan "aku" disana. Fisik kami benar-benar mirip, membuatku serasa sedang berkaca.
"Pastikan temanmu tidak melihatku, ya. Nanti mereka mati," katanya sambil menarik rambutku dan membawaku entah kemana.
Aku menahan diri untuk tidak berteriak, sebaliknya, manusia psikopat yang tengah menarikku sepertinya tengah tersenyum kegirangan di depan.
Ia lalu masuk ke dalam kelas X-CI, yaitu kelasku. Sesampainya di tengah kelas, ia melemparku dan menutup pintu kelas dengan kencang.
Di ujung kelas, aku menemukan Fanya yang tergeletak dengan salah satu mata terbuka dan mata yang lain tertusuk eye shadow. Di tangannya, ia masih memegang kotak riasan yang masih utuh.
"Kamu tentu mau temanmu selamat, 'kan?" tanya "aku" padaku.
"Siapa kamu?" Aku tidak menjawab pertanyaannya.
"Ah maaf, aku belum memperkenalkan diri. Aku ini kamu, di masa yang sebelumnya." Dia menjawab dengan lemah lembut.
"Reinkarnasiku yang 'tidak sempurna'," katanya dengan nada kecewa.
Perempuan itu mengatakan bahwa aku harus bisa menjawab minimal 3 soal darinya jika ingin teman-temanku selamat.
Ia juga bilang bahwa dulunya, dia adalah murid yang cerdas dan rajin. Hingga masuk ke olimpiade adalah suatu hal yang sangat biasa.
Berbeda denganku yang pemalas dan tidak ingin mengasah kemampuan, dia terus menerus merendahkanku dan membanggakan dirinya sendiri.
"Cos 30°?" tanyanya tiba-tiba.
Belum aku menjawab, Vina dan Wira tiba-tiba masuk ke dalam kelas. "Aku" lantas mempersilahkannya masuk dan mendudukannya di salah satu kursi. Ia mengikatnya di sana sebagai hukuman karena aku tidak sempat menjawab pertanyaannya dalam 5 detik.
"Bahasa Jepangnya meja kerja?" tanyanya lagi, tapi aku benar-benar tidak bisa menjawabnya karena aku tidak tertarik dengan negara itu.
Perempuan itu lalu merebut pisau dari tangan Wira dan mencabuti semua kuku Vina dan Wira, sebagai bentuk hukuman yang kedua.
Keduanya berteriak kesakitan, namun "aku" tertawa dengan gembira mendengar jeritan mereka.
Aku mendekati psikopat itu dan menariknya menjauh dari Wira dan Vina. Tapi dia malah membantingku hingga kepalaku berdarah.
"Rumus kecepatan sudut dalam fisika?" tanya perempuan psikopat itu untuk ke 3 kalinya.
"Dua π/T!" jawabku sambil menekan luka di kepalaku agar tidak terus mengalir keluar.
"Benua biru adalah sebutan bagi benua?"
"Eropa!" jawabku cepat, untung saja aku masih mengingat materi kepramukaan ini.
"Baik, yang terakhir. Siapa penemu aljabar?" tanya dia dengan sombong, karena ia tahu aku sangat menghindari pelajaran mengenai angka, meskipun aku dapat menjawab soal fisika dengan keberuntungan.
"Lima, empat, tiga, dua ...." Aku tidak bisa menjawabnya.
Dia mengambil kotak rias milik Fanya dan memakaikannya pada Vina. Setelah itu, ia memasukkan busa bedak pada tenggorokan Vina dengan paksa hingga gadis itu menggeliat kesakitan.
Aku mencoba menghentikan hal gila yang dilakukan oleh "diriku yang lain". Namun dia memukuliku dengan keras menggunakan kayu dari kursi yang rusak dan pada kayu itu, masih terdapat paku yang digunakannya untuk menusukku.
Sebelum kesadaranku hilang, kulihat sebuah bola mata menggelinding ke arahku.
*
Beberapa hari setelah kejadian pembunuhan itu, aku kembali ke sekolah. Tapi sepertinya tidak ada yang peduli dengan kematian teman-teman mereka yang telah tiada.
Semenjak pemukulan dengan kayu, aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa kulihat, orang-orang biasa menyebutnya dengan sebutan "6th sense" atau bisa melihat makhluk gaib.
Kulihat Ani dan yang lainnya masih berada disini dan mengikuti pelajaran dengan tenang. Walaupun Ani kepalanya hampir copot, Bima yang seluruh organnya menggantung keluar, Kei yang masih bersemangat mengumpulkan tugas walaupun dirinya terjatuh berulang kali karena darahnya tersebar kemana-mana dan membuat lantainya licin, hingga Fanya yang mencoba melihat ke papan tulis walau matanya bocor dan ditempeli eye shadow yang tidak dapat dilepas—mereka masih mempunyai keinginan belajar.
Tidak lupa dengan Wira dengan mulut sobeknya dan separuh hidung juga satu buah telinga. Ah iya, aku lupa Vina kehilangan salah satu bola matanya, salah satunya itu telah dijahit, dan kedua tangannya menggantung hampir copot tampak mengerikan.
"Secara tidak langsung, kamu yang membunuhnya. Aku hanya melaksanakan tugas," ucap seseorang.
"Kamu, 'kan yang mati di toilet?"
[TAMAT]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro