SMA (Senyum Milik Aira)
Koridor kelas XI kala itu ramai, penuh riuh murid-murid yang tengah senggang menikmati istirahat makan siang. Duduk bertengger di pagar pembatas lantai dua, bergerombol di bangku bersama kelompok masing-masing, duduk melingkar memenuhi setengah ruas jalan sembari bermain kartu uno. Semua menikmati kegembiraan istirahat makan siang, tapi tidak dengan Aira, gadis berkulit kuning langsat dengan rambut hitam kecoklatan bergelombang sepanjang bahu. Jalannya menunduk, memeluk beberapa alat untuk menggambar, berusaha melewati riuh-ramainya siswa-siswa di koridor lantai dua itu. Napasnya terasa sesak, koridor terasa sangat panjang baginya, padahal jarak kelas dan tangga hanya 15 meter jauhnya.
"Heh, minggir, minggir, jalan penuh ada gajah lewat!" Salah seorang siswa yang sedang bermain kartu uno menyeletuk, celetukkannya menarik perhatian dan kemudian berakhir pada gelak tawa riuh oleh hamper semua siswa yang ada di sana.
"Kamu yang di tengah jalan, woi! Minggir, nanti kamu gepeng kelindes buldoser, loh!" Salah seorang lain yang tengah duduk di pembatas lantai dua menyahuti. Sekali lagi gelak tawa menggema.
Aira semakin menenggelamkan wajahnya. Matanya erasa panas, hampir menangis. Ia tahan perasaannya sendiri sembari masih bersusah payah menguatkan mentalnya untuk berjalan sepuluh meter lagi. Pikirannya mungkin sudah melalangbuana kemana-mana. Memaki dan merutuki badannya sendiri. Apa yang salah dengan badannya? Ia hanya gadis dengan berat nyaris menyentuh angka delapan puluhan. Kenapa memangnya dengan badan gemuk? Apa merugikan? Apa mengusik? Gadis itu hanya terus memaksakan dirinya hingga bisa menyentuh tangga dan turun secepat yang ia bisa, menuju perpustakaan, salah satu tempat yang cukup aman di sekolah. Tidak ada riuh ramai, tidak ada olokan terang-terangan, dan tentunya punya cukup banyak meja untuk dijadikannya tempat menggambar.
***
Aira sibuk menggambar di dalam perpustakaan. Tangannya sibuk bermain dengan pensil dan cat air di atas buku sketsanya. Hanya hal ini yang dapat menenggelamkan dirinya, membuat ia lupa sejenak akan pedihnya rundungan fisik yang ia dapat. Sibuk dengan karyanya, menggambar galaksi, rasi bintang, dengan berbagai macam paduan warna unik, hingga tidak sadar bahwa seseorang mengamatinya, tepat di depan tempat Aira duduk.
"Pemilihan warnamu unik. Cantik." Sebuah suara menginterupsinya. Aira tersentak kaget dan langsung mencari sumber suara itu, tepat di hadapannya. Evan. Seniornya. Laki-laki dengan wajah yang sedap dipandang, cukup terkenal di sekolah, jago olahraga, dan sering masuk peringkat sekolah. Laki-laki yang diam-diam ia taksir dari kejauhan. Orang yang pernah menolongnya sewaktu ia jatuh dari sepeda saat sedang dijahili anak-anak lain. Orang yang diam-diam selalu ia gambar siluetnya. Orang yang ia kagumi dan sekarang duduk tepat di hadapannya, bersama dengan buku tulis dan catatan-catatan belajarnya.
"Ah. Mm... terimakasih," jawab Aira ragu.
"Kamu Aira, kan? Aku sering liat karya-karyamu di ruang seni. Guru seni nampaknya suka dengan lukisan dan prakaryamu. Ah, iya, aku Evan," ucap Evan dengan ramah. Aira rasanya ingin meledak. Ia menahan rasa bahagianya agar tidak terlalu kentara. Ia tahan dirinya agar tidak terlalu antusias. Evan hanya menyapanya karena iba, pura-pura basa-basi. Laki-laki itupun pasti ilfeel dengan badannya, kan?
"Iya, Kak. Kok bisa tau kalau itu buatanku? Setahuku... itu semua anonim." Aira masih setengah menundukkan kepalanya. Ia tidak punya cukup banyak keberanian untuk menatap langsung wajah Evan. Ia minder dengan tubuhnya, pun dengan segala hal yang ada didirinya.
"Aku tau. Walaupun itu anonim. Aku tetap tau itu punyamu." Evan tersenyum hangat, namun sayangnya Aira tidak melihat raut wajah Evan. Ia sibuk menutupi wajahnya sendiri, namun kata-kata Evan itu rasanya seperti gejolak kupu-kupu yang mendorong perutnya, seakan minta dibebaskan, menimbulkan rasa geli yang aneh. "Ah, kamu sering ke perpustakaan dan ruang seni, kan?" Evan berusaha mencari topik, namun saying, hanya dibalas anggukan kecil dari Aira.
"Aku boleh minta nomor ponselmu atau nama social mediamu atau apapun kontak yang bisa kuhubungi? Aku masih belajar melukis dan membuat gerabah. Aku tertarik dengan dua hal itu, rencanaku, aku ingin lebih memperdalam, tapi belajar otodidak tidak banyak membantu, sangat berbeda dengan pelajaran eksak yang biasa kupelajari sendiri. Aku perlu teman belajar untuk hal ini. Kalau kamu tidak keberatan, mau tidak sesekali mengajariku?" Aira langsung mengerjap kaget dan akhirnya sanggup menatap wajah Evan.
"Kakak nggak salah orang, kan? Anu... aku... b-bukannya bisa les di luar a-atau apa, gitu?"
"Ah... kamu keberatan, ya? Maaf, ya, padahal baru ngobrol sekarang aku sudah minta sesuatu yang nggak mungkin."
"Ng-nggak... bukan begitu. A-aku bukannya nolak, kok." Aira masih terbata-bata, karena rasanya kejadian hari ini sangat jauh dari ekspetasinya.
"Jadi setuju, kan?! Nih, tulis kontakmu!" Evan nampak antusias dan menyerahkan ponselnya ke Aira, menunggu gadis itu mengetik nomornya. Semua itu terjadi begitu saja dan begitu cepat. Orang yang ia sukai diam-diam tiba-tiba mengajaknya bicara. Memintanya menjadi gurunya. Meminta nomor ponselnya. Semua begitu tiba-tiba dan tidak ada keraguan sama sekali dari Evan. Aira hanya bisa mengulum senyum dan bingung.
***
Sudah dua bulan ini Aira sesekali bertemu Evan, baik di perpustakaan pun di ruang seni. Gadis itu sudah jauh lebih stabil mengatasi debaran jantungnya sendiri, mengatasi salah tingkahnya, dan mengatasi ekspresi wajahnya di hadapan Evan. Setiap hari ia masih ia lalui sama seperti biasa, masih tersumpal lauk hinaan dan rundungan soal fisiknya yang sangat gempal. Masih jadi bahan lelucon dan tawaan teman-teman seangkatannya. Masih belum punya keberanian ataupun kekuatan mental untuk itu semua, namun setidaknya, ia sedikit lebih bahagia, menikmati hobinya juga membantu orang yang ia suka menggeluti hobi yang sama dengannya. Sedikit demi sedikit gadis itu mulai tahu cara tersenyum.
Sekarang ia sibuk mematut dirinya di depan cermin, mengukur lingkar pinggangnya yang sudah melewati angka satu meter. Memerhatikan baju-baju bigsize-nya, sembari berselancar di internet mencari cara diet sehat juga gym terdekat. Kedekatannya dengan Evan yang tanpa sengaja itu membuat gadis 17 tahun itu mempunyai semangat baru, berpikir untuk mulai mengubah dirinya menjadi lebih baik.
"Aku harus bisa! Bukan karena cemoohan mereka. Ini semua untuk diriku. Aku harus Bahagia." Aira berbicara sendiri di depan cermin, meyakinkan dirinya, besok adalah hari pertama ia akan berjuang.
***
"Heh! Badak tak bercula!" Sebuah suara menggaung di ruang kelasnya. Memecah riuh ramai siswa-siswa di sana. Semua perhatian tertuju ke bangku Aira, dimana seorang gadis dengan rambut lurus panjang dating ke hadapan Aira dengan sapaan penuh hinaan. Air atak berani menjawab. Ia hanya diam, tidak berani menatap Renata, gadis itu. "Kamu diam-diam dekatin Kak Evan, ya? Dengan badan begitu kamu punya nyali, hah?! Kamu tau, kan, Kak Evan itu orang yang aku sukai!" Renata menghardik Aira.
"Tidak, Renata. Aku–"
"Sekali lagi aku liat kamu dekat-dekat Kak Evan aku nggak akan tinggal diam. Kamu pasti menyesal. Jangan lupakan kejadian tahun lalu, kamu mau itu terjadi lagi?" Renata mengancamnya. Aira seketika membeku ketakutan. Mimpi buruk tiba-tiba berkecamuk, menggumpal, memenuhi isi kepalanya. Gadis itu nyaris memekik histeris dan menangis teringat traumanya. "Iya, Renata. Tidak akan." Namun, hanya itu yang sanggup Aira katakan.
"Aira! Akhirnya kamu datang juga. Aku sudah setengah jadi membuat piring. Mau liat?" Pulang sekolah Aira datang ke ruang seni, di sana Evan sudah menunggunya seperti biasa. Namun hari ini berbeda, Aira tidak datang untuk mengajari Evan lagi.
"Kak, maaf... aku berhenti sampai di sini. Kakak sudah sangat jago. Tidak perlu diajari lagi. Aku bisa berhenti, kan?" Evan mengernyit heran. Ia menghentikan aktivitasnya, mengelap tangan, membersihkan Sebagian tanah liat yang mengotori tangannya.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa sudah cukup sampai di sini. Kakak sudah sangat mahir. Aku yakin Kakak pasti lolos ke sekolah seni itu."
"Aku tidak bisa menerima alasanmu. Kenapa? Beritahu aku."
"Tidak. Hanya itu. Aku berhenti, Kak. Kakak pasti bisa." Usai mengucapkan kalimat itu Aira langsung pergi menjauh, Evan tidak sempat mencegahnya. Laki-laki itu keheranan dan merasa tidak puas dengan jawaban Aira.
Aira pulang dengan sepedanya, kemudian menangis sendirian. Kenangan-kenangan manis selama dua bulan ia mengajari Evan berkelebat membayangi memorinya, lalu runtuh dengan kejadian setahun lalu. Ia dipermalukan Renata, hanya karena gadis itu melihat Evan membantu Aira yang jatuh dari sepeda. Ia masih trauma dengan perlakuan Renata, rasa traumanya jauh lebih besar dan menakutkan baginya. Sekarang, ia hanya harus menghindari Evan dan segala hal tentang laki-laki itu.
***
Berbulan-bulan semenjak kejadian itu. Aira tidak pernah lagi memperdulikan Evan. Ia selalu menghindari laki-laki itu. Mengabaikan pesan ataupun sapaan Evan, hingga akhirnya laki-laki itu menyerah dan tidak ada lagi pesan masuk atau sapaan darinya. Aira juga menyibukkan dirinya dengan olahraga. Ia buang semua stressnya ke tempat gym. Semakin lama ia semakin maniak dengan olahraga. Ia bukan lagi seseorang yang memilih mengurung diri ketika perasaannya remuk hancur. Semua energi negative ia lampiaskan dengan kardio, ia teriakkan saat sedang jogging malam, atau ia tangisi di tengah kolam renang. Tapi, semua itu tidak cukup kuat untuk melepaskan rindunya pada Evan. Ia rindu kebersamaan dua bulannya dengan Evan. Sangat rindu. Walau perubahan fisiknya pelan-pelan sangat terlihat, tubuhnya memang tidak ramping, tapi nampak berisi dan proposional, namun karena perubahan itu ia mendapat banyak perhatian. Semua orang yang memakinya kini berbalik memujinya. Laki-laki yang menjahilinya kini berbaris meminta cintanya, tanpa sadar diri atas perlakuan yang mereka lakukan sebelum ini kepada gadis itu. Namun, Aira tetap memegang nama Evan sampai saat ini.
Namun, hingga hari kelulusan Evan-pun, ia tetap tidak berani menyapa kakak kelasnya itu. Dari kejauhan ia hanya bisa melihat Evan melintas di atas panggung dengan setelan jasnya, menerima kalung dan sertifikat kelulusan, lalu merasa sesak saat melihat Renata menghampiri Evan, memberi sebuket bunga dan pelukan selamat. Usai melihat itu semua, Aira memilih pergi meninggalkan gedung aula sekolah mereka, hingga sebuah pesan masuk. Tanpa sadar ia baca dan kemudian langsung menaruh kembali sepedanya dan berlari menuju ruang seni.
"Aira, kalau boleh meminta satu hal lagi selain mengajariku melukis atau membuat keramik, aku ingin kamu datang ke ruang seni. Aku ingin menyapamu sebelum aku benar-benar lepas dari tempat ini. Aku berharap kamu mau mengabulkan permintaanku ini. Sekali lagi, terakhir kalinya."
"Kak Evan?!" Aira membuka pintu ruang seni, masuk dengan napas tersengal, kemudian mata merah yang mulai basah, dilanjutkan rintikkan air mata yang tiba-tiba saja datang. Rasa rindunya membuncah kala ia bisa melihat Evan lagi dari dekat. Rasa rindu yang tidak ia sadari begitu dalam.
Evan dengan setelan jas hitamnya duduk di depan meja, sibuk memandangi keramik yang nampaknya ia buat sendiri. Lalu pandangannya beralih, melihat Aira yang akhirnya datang menemuinya. Senyum hangat terlukis dibibirnya beserta tubuhnya yang mulai melangkah mendekati Aira.
"Kamu berubah banyak, ya? Aku suka Aira yang berisi dulu, tapi nampaknya Aira jauh lebih mencintai dirinya sekarang. Setelan putih itu sangat cocok untukmu." Evan malah berbasa-basi.
Aira menunduk malu, menyembunyikan wajahnya yang sedikit memerah karena sempat menangis, namun wajahnya dipegang oleh tangan Evan, diajak oleh jemari pria itu untuk mengangkat wajahnya, lalu sebuah sapu tangan menyeka air matanya yang masih basah menggantuk dipipi gadis itu.
"Kok, nangis?" Aira masih bergeming, menggigit bibirnya gugup. Antara senang, malu, dan takut. "Doamu manjur. Aku keterima di sekolah seni yang kutuju." Evan melanjutkan kata-katanya, mengerti Aira tidak akan menajwab pertanyaannya.
"Ah? Selamat, Kak. Aku senang mendengarnya."
"Benar kamu senang? Aku engga," lirih Evan, lalu menekuk bibirnya seakan murung.
"Eh? Kenapa, Kak?! Kakak, kan, pengen banget masuk sana. Impian Kakak sendiri kenapa, malah nggak se–" Ucapan Aira terputus oleh gelak tawa Evan. Pemuda itu tertawa renyah mendengar Aira yang terkejut dan heran, namun sejurus kemudian wajah pemuda itu kembali serius, ditatapnya mata Aira dalam, lalu sesungging senyum Kembali hadir.
"Aku nggak bahagia, karena nggak ada Aira di sana. Aku minta kamu ke sini, karena aku mau meminta satu hal lagi. Aku mau... kamu, tahun depan jadi juniorku lagi. Ah! Tidak... tidak. Ah, sial aku payah soal begini!" Evan malah menggerutu sendiri membuat Aira semakin bingung, namun gadis itu juga sedikit tersenyum geli.
"Iya, Kak, aku pasti ke sana. Kampus impianku juga. Aku memang mau ke sana setelah lulus tanpa Kakak pinta," jawab Aira.
Evan nampak gusar. Ia mengacak rambut rapinya, membuat tampilannya menjadi berantakan. "Bukan, bukan! Gimana bilangnya, sih." Evan masih kebingungan sendiri, lalu menggeram kecil, terlihat lucu dimata Aira. Hal yang dirasa hanya Aira yang pernah melihatnya dari Evan.
"Aku suka kamu!" Satu kalimat yang cukup membuat Aira mengerjap kaget. Evan menarik napasnya, lalu menatap Aira lekat-lekat. "Aku. Suka. Kamu. Aku mau hubungan lebih dari sekedar junior-senior. Aku mau kita satu kampus. Aku mau kita sebagai pasangan mulai sekarang. Aku benar-benar suka kamu. Aku mau hubungan lebih dari itu! Aku tidak menghubungimu lagi bukan karena aku menyerah, tapi karena akhirnya aku tahu kenapa kamu menjauhiku. Sekarang aku bukan lagi siswa di sini, jadi... aku berani menghubungimu lagi untuk hal ini." Evan lalu berlutut dengan salah satu lututnya dan kemudian menunjukkan mangkuk kecil yang sedari tadi ia lihat. Di dalam mangkuk itu ada ukiran cantik berbentuk Namanya dan nama Evan.
"Aira, mau jadi kekasihku? Aku buat mangkuk ini sepasang. Untukmu dan untukku. Kalau kamu menolak, kamu boleh pecahk–"
"Aku mau! Aku mau, Kak. Aku juga suka Kakak!" Aira langsung memotong ucapan Evan dan menerima mangkuk keramik mungil itu dan dipeluknya senang. Evan juga nampak sangat bahagia, reflek pemuda itu memeluk Aira.
"Aku tunggu tahun depan, ya?" Aira mengangguk menanggapi ucapan Evan. "Oh, bunga dari Renata kutinggal di sini, biar jadi hiasan di ruang seni, daripada aku buang. Jangan cemburu, ya?" Dan Aira hanya terkekeh geli.
[TAMAT]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro