08. Ketika Kakak dan Adik Salah Paham
“Thanks, ya, guys udah mau mampir ke rumah,” kata Mita saat mengantar teman-temannya yang akan pulang sampai ke teras depan rumah. “Gue seneng, deh. Suasana rumah jadi rame karena ada kalian. Eh, iya—” Tiba-tiba Mita terpikir sesuatu. “Gimana kalau klub belajar kita diadain di rumah gue aja?”
“Apa nggak ngerepotin?” timpal Manda.
“Ya enggaklah. Gimana?”
“Aku, sih, yes.” Keenan langsung memberi jawaban. Sementara yang lainnya masih terlihat ragu-ragu.
“Man, Fel?” Tatapan Mita langsung tertuju pada Fely dan Manda. Menatap penuh kepastian.
“Gue, sih, gimana suara terbanyak. Di mana aja asal bisa belajar.”
Fely lalu melanjutkan, “Gue setuju sama Manda. Tapi, yang penting tanyain dulu sama Ansel, dia bisa apa enggak.”
“Kalau soal Ansel tenang aja, biar gue yang handel,” timpal Mita begitu yakin sementara Fely lantas menanggapi dengan sedikit senyuman. “Terus lo Rey?”
Semua mata seketika langsung tertuju pada pemuda itu—yang tampak tidak menyangka jika dirinya akan menjadi sasaran pertanyaan juga.
“Gue?” Telunjuknya mengarah pada diri sendiri. Sontak Mita mengangguk. “Tanpa belajar pun gue udah pinter, kok.”
Untuk sesaat mereka tersentak, sampai kemudian Keenan tertawa mencairkan suasana menyebalkan dalam tanda kutip, yang membuat Fely menganga tidak habis pikir dengan level kesombongannya.
“Rey emang suka bercanda, haha.”
Percakapan mereka lantas teralihkan ketika sebuah motor metik datang melewati gerbang rumah Mita. Seorang cowok memakai hoodie abu-abu dan celana jin hitam berhenti tepat di depan garasi. Mereka baru menyadari ketika orang itu membuka helm yang dikenakan.
“Eh, Kak Gara!” Mita berseru, lalu mengalihkan tatapan pada Fely. “Lo minta dijemput Kak Gara?”
“Dia sendiri yang mau jemput,” jawab Fely seadanya. Setelah tahu jika adiknya itu belum pulang, Gara langsung mengirimi banyak pesan dan menelepon Fely. Ia merasa khawatir setelah kejadian tempo hari, dan berinisiatif untuk menjemputnya.
“Malem Kak Gara!” sapa Mita lagi, sedangkan yang lain hanya menyapa lewat senyuman saja.
“Malem juga,” balasnya agak singkat, lalu bertanya pada Fely. “Mau pulang sekarang?”
Fely mengangguk, tapi sebelum mereka benar-benar pergi, tiba-tiba saja Rey berkata, “Jadi lo kakaknya Fely?”
Gara yang tadi tidak terlalu memerhatikan pun langsung menoleh ke sumber suara. Dahinya mengernyit samar, memerhatikan cowok itu yang merasa asing baginya. Tidak jauh berbeda dengan yang lain, apalagi Fely yang bertanya-tanya kenapa Rey mengajukan pertanyaan tersebut.
“Iya. Kenapa?”
Pemuda itu mengangguk. Telapak tangan kanan yang tadi hanya bersarang di saku celana lantas terulur ke depan. “Gue mau minta maaf.”
Sontak saja semua bingung dengan maksud Rey. Terutama Gara yang merasa tidak tahu apa pun. Sampai kemudian apa yang dia ucapkan berhasil membuat suasana menjadi tegang.
“Karena gue hampir nabrak Fely dan buat dia terluka,” lanjutnya.
“What?!” pekik Gara. Rahangnya langsung mengeras. Terlihat jelas bagaimana mimik wajahnya yang berubah marah.
Sementara kedua mata Fely terbelalak saat itu juga. Ia tidak berpikir jika Rey akan melakukan itu. Benar-benar tidak bisa ditebak, sedangkan sebenarnya Fely tidak ingin kebenaran itu diketahui oleh kakaknya atau mamanya—karena sudah tahu apa resikonya. Ia bahkan sudah melupakan dan menganggapnya sebuah ketidak kesengajaan. Namun, Rey ....
“Ya Tuhan ....”
Ketakutan Fely terbukti. Tanpa aba-aba, Gara langsung menarik kerah baju seragam Rey yang terbalut hoodie hijau berpadu hitam. Sontak Mita dan Manda memekik karena kaget. Keenan pun demikian, bahkan berpikir untuk memisahkan. Fely tidak usah ditanya lagi, dia sangat panik. Berbanding terbalik dengan sikap Rey yang terlampau tenang.
“Jadi lo orangnya?!” tanya Gara dengan nada tinggi untuk lebih memastikan. Kepalan sudah terasa kuat di tangannya. Jika tidak menahan-nahan, bogem mentah mungkin sudah mendarat di wajah Rey.
Tanpa rasa takut, Rey menjawab mengiyakan. “Iya.”
Rahang Gara semakin mengeras mendengar jawaban Rey. “Beraninya lo nyelakain adik gue dan nggak tanggung jawab sama sekali.”
Belum sempat kepalan Gara mengenai wajah Rey, Fely langsung berteriak, “Kak Gara, stop ih! Berhenti.”
Untung Gara masih bisa mengontrol diri. Sehingga ketika Fely menurunkan kepalan tangannya, pemuda itu masih sanggup menurut.
“Please. Jangan cari ribut di sini, malu,” kata Fely dengan suara sedikit tertahan. Baik Manda, Mita, dan Keenan benar-benar syok sampai tidak bisa melakukan apa pun.
“Hari ini lo selamet, tapi kalau sampai macem-macem lagi—”
“Kak Gara, ya ampun ....” Fely kembali memotong ucapan dan tindakannya. Menarik satu tangan kakaknya itu dari kerah baju Rey. Sebelumnya ia sempat melayangkan tatapan intimidasi pada cowok itu, karena berani-beraninya melakukan tindakan yang sangat ia hindari. “Mendingan kita pulang sekarang.” Lagi, Fely berusaha menarik Gara untuk segera pergi dari sana. “Sori, ya, Mit. Gue pulang duluan.”
“O-oh, iya, Fel. Hati-hati di jalan!” tukas Mita berusaha untuk tetap memberikan senyum ramah, seakan tidak terjadi apa pun sebelumnya. Bahkan ia pun memberikan lambaian tangan ketika motor yang dikendarai Gara sudah melaju melewati gerbang dan menjauh.
“Gila bener, Kak Gara serem juga kalau marah,” komentar Manda setelah berhasil mengenyahkan keterkejutannya.
“Kak Gara emang kayak gitu, protektif dan posesif banget kalau ada yang nyakitin mama dan adiknya,” sambung Mita yang merasa sudah hapal betul tentang karakter Gara, karena Mita dan Fely memang sudah bersahabat sejak SMP. Jauh sebelum mengenal Manda maupun Keenan. “Maklumlah, merasa bertanggung jawab sebagai cowok satu-satunya di keluarga.”
Mereka lantas mengangguk mendengar penjelasan Mita.
“Tapi, Rey. Gue salut lo mau mengakui dan minta maaf,” pungkas Keenan seraya merangkul pundak saudara sepupunya itu.
“Iya, lho. Padahal bisa aja lo diem-diem.” Manda membenarkan. Sedikit demi sedikit ia merasa bisa terbuka dengan kehadiran Rey, walaupun cowok itu masih terlalu misterius untuk disebut sebagai teman yang bisa dekat setelahnya.
Namun, sepertinya Rey enggan menanggapi percakapan tersebut. “Balik sekarang?”
“O-oh. Tentu.” Tanpa ingin membuang waktu lagi, Rey segera berlalu menuju motor Keenan yang terparkir di garasi.
“Sweetie, aku pulang, ya. Bye!” katanya sambil melayangkan ciuman ke udara, seraya berjalan mundur menyusul Rey.
“Iya, sayang hati-hati.”
“Kalau gitu, gue juga pulang, deh.”
“Hati-hati, lho, Man. Mana udah malem, bawa motor sendiri lagi.”
“Tenang aja. Lagian deket, kok.”
Mita mengangguk. Setelah semua temannya sudah pulang, Mita menyuruh Pak Jono mengunci gerbangnya dan kembali masuk ke dalam rumah. Ia berharap tidak terjadi masalah besok pagi antara Fely dan Rey. Karena posisinya sekarang akan membuatnya menjadi serba salah.
🩹🩹🩹
Gara memasuki rumah dengan langkah panjang. Perasaannya masih diliputi kemarahan. Kesal, karena ia pikir Fely telah menyembunyikan fakta dan sengaja melindungi pelaku yang hampir membuatnya celaka. Padahal pikirannya itu jelas saja tidak benar, walaupun setelah tahu jika Rey orangnya—Fely memang akan berencana seperti itu. Semua yang ia lakukan juga demi kedamaian, kok, tapi Gara tidak mengerti.
Saking kesalnya, Gara bahkan tidak menjawab perkataan Inggrit ketika mereka berpapasan di ruang tamu. Ia merasa heran, tapi tidak lama Fely menyusul di belakangnya.
“Kenapa sama kakak kamu?” Pertanyaan itu langsung keluar ketika Fely sudah berada dekat dengannya. Ekspresi wajah gadis itu tidak kalah membuat Inggrit bingung. Lusuh sekali.
“Cuma salah paham, kok, Ma.”
Diberi jawaban seperti itu, Inggrit tidak lagi bertanya. Ia mencoba menjaga privasi anak-anaknya. Mungkin mereka tidak ingin ia tahu, yang mungkin bisa membebankan. Lagian, Inggrit tahu mereka sudah besar dan cukup dewasa untuk menghadapi masalah. Jika ia ikut campur, akan tidak baik jika mereka berpikir dirinya justru memihak salah satunya.
“Ya sudah, tapi jangan lama-lama berantemnya.” Fely mengangguk lemas. “Kalau gitu sekarang kamu mandi, terus makan. Mama udah siapin di meja makan.”
“Enggak, deh, Ma. Abis mandi aku mau langsung istirahat aja. Capek.”
Inggrit tidak memberi komentar lagi, ia hanya menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Menggelengkan kepala sambil mengamati putrinya yang melangkah menaiki anak tangga menuju kamar di lantai dua.
Setelah hanya dirinya di ruangan tersebut, pandangannya lantas teralihkan pada foto berukuran besar yang terpajang di dinding ruangan tersebut. Menampakkan foto dirinya, seorang laki-laki, Gara, dan Fely yang masih kecil. Tatapannya berubah sayu. Ada perasaan rindu yang terpancar jelas di kedua matanya.
“Susah juga, ya, Mas membesarkan anak sendirian. Andai aja kamu masih di sini.”
[]
Masih setia?
Gimana alurnya menurut kalian?
Apa terlalu lambat?
Tapi sebenarnya aku sengaja bikinnya santai biar nggak terkesan terburu-buru.
Pengen aja menyampaikan setiap karakter yang ada di cerita ini, biar kalian kenal dan makin sayang. haha.
Next, ya....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro