07. Adanya Alergi Terhadap Orang Sombong
Keenan baru keluar dari kelas saat melihat Rey, Miko, dan teman-teman mereka yang lain tengah berjalan menuruni anak tangga. Entah keberuntungan, atau memang Rey selalu dikelilingi orang-orang yang menyukainya. Padahal baru satu hari, tapi dia sudah memiliki banyak teman. Tidak tanggung-tanggung lagi. Seorang Miko, ketua genk pentolan sekolah.
Meskipun Rey terkesan dingin, cuek, dan tidak cepat akrab, tapi sosoknya seolah ikan di pasar. Meskipun bau anyir, tapi tetap saja dikerubungi lalat.
Keenan bukannya tidak suka atau ingin melarang. Sepertinya ia harus memberi sedikit peringatan pada Rey agar jangan terlalu dekat dengan Miko dan teman-temannya. Menurut Keenan, mereka hanya memberi pengaruh buruk—sangat tidak bagus.
Pemuda tinggi dengan rambut agak ikal itu lantas mempercepat langkah, bahkan sedikit berlari, untuk menyusul Rey, yang berjalan di paling depan—tepat di sebelah Miko. Ia sengaja mendorong pundak anak buah Miko itu agar bisa mendapatkan jalan. Setibanya di belakang Rey, Keenan buru-buru melingkarkan tangannya ke pundak pemuda itu.
Sepertinya Rey agak tersentak dengan perilakunya yang tiba-tiba, begitupun Miko. Namun, Keenan tidak memedulikan hal tersebut.
“Rey. Lo balik bareng gue, kan?” tanya Keenan tanpa basa-basi. Memang setelah kejadian sore itu, motor Rey mengalami sedikit kerusakan dan harus dilarikan ke bengkel. Bahkan ia diberi hukuman oleh papanya Keenan, untuk satu bulan ini tidak boleh membawa motor dulu.
Akan tetapi, entah kenapa kedatangan Keenan disyukuri dalam hati oleh pemuda tersebut. Sejak tadi, ia sebenarnya memang merasa risi karena Miko terus saja mendekatinya. Sehingga tanpa mengeluarkan suara, Rey cukup mengangguk sebagai jawaban.
“Lho? Nggak jadi ikut kita?” protes Miko. Kerutan langsung tergambar di keningnya.
“Sori, Bro. Rey itu masih dalam pengawasan, jadi nggak bisa main pergi seenaknya tanpa izin bokap nyoka gue.”
“Halah. Rey, itu udah gede. Dia berhak dong nentuin keinginannya sendiri.”
“Kenapa jadi lo yang sewot? Padahal Rey sendiri nggak keberatan, tuh.” Keenan sama sekali tidak gentar, meskipun yang ia hadapi sekarang bukan murid sembarangan. Hanya ia percaya saja pada Rey, yang tentu akan melindunginya.
“Sori, Mik. Mungkin lain kali,” kata Rey mencoba menengahi dan memperjelas keinginannya.
“Tuh, dengerin. Weee!” Keenan seperti puas dan langsung menarik Rey untuk berjalan lebih cepat meninggalkan Miko dan teman-temannya. Bisa terlihat dari lirikan ujung mata, jika Miko kecewa dan merasa kesal dengan pilihan Rey.
“Sebaiknya lo jangan terlalu deket sama Miko. Dia bisa aja bawa pengaruh nggak baik,” kata Keenan setelah mereka sudah berjarak agak jauh dari Miko.
Rey hanya menanggapi dengan senyuman singkat. Kedua telapak tangannya dimasukkan kedalam saku celana abu. Tanpa diingatkan pun, Rey sudah tahu seperti apa Miko itu. Namun, baginya itu bukan masalah besar. Toh, ia sendiri saja bukan orang yang baik-baik banget.
“Eh, ada my Sweetie,” ucap Keenan kemudian membuat Rey mendelik sinis. Dalam hati ia benar-benar tidak mengerti dengan pikiran saudara sepupunya itu. Bisa-bisanya begitu percaya pada yang namanya cinta. Padahal cinta itu cuma berujung patah hati. “My Sweetie!”
Lantas ia memekik seraya melambaikan tangan, yang langsung dibalas oleh gadis itu. Tanpa memikirkan ulang, Keenan segera berjalan menghampiri. Sekarang mau tidak mau, Rey harus mengikuti juga. Sedangkan dari jauh pemuda itu melihat Fely berjalan beriringan dengan seorang siswa yang belum ia kenal.
“Fely, mau ke mana, tuh?” Keenan refleks bertanya demikian ketika sudah dekat.
“Ansel ngajak ngomong. Biasa Fely lagi ngambek kayaknya.”
“Oh ....” Dengan santai Keenan merespons. Menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti. “Eh, btw my Sweetie, rencana kita jadi dong hari ini?”
Mendengar perkataan Keenan yang satu itu, Rey refleks melotot. Ia tidak mengerti kenapa Keenan harus mengajaknya pulang bareng, tapi ternyata dia ada janji dengan pacarnya itu.
“Rey, lo ikut juga, ya?” Buru-buru Keenan mengklarifikasi sebelum dirinya diberikan bogem mentah.
“Gue bukan nyamuk.” Karena merasa dikhianati, Rey pun membalasnya dengan nada ketus.
“Ih, Rey. Ayo ikutan! Manda juga mau ikut, kok.”
“Eh-eh, apaan? Bawa-bawa gue?” sontak Manda menyela karena merasa tidak ada konfirmasi sebelumnya.
“Manda, ikh!” Mita yang gregetan langsung menyiku lengan sahabatnya itu. “Gue cuma mau ngajak kalian ke rumah, kok. Mumpung di rumah lagi kosong dan cuma ada Bibi sama Pak Joni.”
Manda mengangguk tanda mengerti, tapi kemudian berkata, “Kalian aja, deh. Gue mau langsung pulang.”
“Lho, kok, gitu, sih, Man. Nggak setia kawan banget,” timpal Keenan merasa kecewa, sebab ia tidak ingin melihat pacarnya bersedih. “Masa nggak mau ikut ngerayain hari jadian sahabat lo sendiri.”
“Hah?” Manda terkejut. Ia benar-benar tidak tahu.
“Jadi kalian harus ikut, ya. Tenang aja, gue sama Mita udah mempersiapkan acara yang bakal seru.” Tidak lama Fely kembali bergabung dengan mereka, sehingga ia langsung ditodong perkataan yang sama. “Lo juga ikut, Fel.”
“Ngapain?” respons Fely bingung.
Rey yang mendengar suara itu langsung menoleh pada Fely, yang ternyata berdiri di sampingnya. Pun, gadis itu membalas tatapan Rey dengan kerutan di kening. Telunjuknya langsung mengarah ke wajah si pemuda sambil berkata, “Dia ikut juga?”
Anggukkan Keenan dan Mita yang antusias, malah membuat semangat Fely menciut. “OMG.”
“Lo pikir gue seneng?” celetuk Rey tiba-tiba. “Balikin aja helm gue, nggak usah banyak omong.”
“Hish! Ngeselin.” Fely menggerutu setelah Rey melangkah lebih dulu. Kalau tidak diingatkan dengan kata-kata itu, mungkin ia lupa kalau helm cowok itu ada padanya.
Mendadak ia menyesal karena sudah membawa pulang helm itu. Kalau tahu yang punya sangat menyebalkan, seharusnya ia tinggalkan saja di sana. Lagian kenapa Rey begitu yakin kalau benda itu tersebut ada padanya.
“Tunggu. Kok, bisa helm Rey ada di lo, Fel?” tanya Mita bingung.
“Gatau,” jawab Fely seadaanya dengan tatapan kesal, lalu mulai melangkahkan kaki. Jika bukan di depan umum, Fely rasanya ingin sekali mencekik Rey dari belakang.
🩹🩹🩹
Sudah hampir dua jam, Fely, Manda, Rey, dan Keenan berada di rumah Mita. Sekarang sudah pukul tujuh malam, tapi belum ada tanda-tanda jika acara dadakan penuh keseruan itu akan segera berakhir. Mulai dari masak-masak sampai makan bersama. Bermain game, dan sekarang Mita, Keenan, juga Manda malah menambah agenda dengan nonton film bersama.
Fely tidak ikutan karena lebih memilih membersihkan dapur dan area meja makan. Mulai dari mencuci piring, peralatan dapur yang tadi digunakan, menyapu, hingga mengepel lantai. Setidaknya ia bisa sedikit mengurangi pekerjaan Bi Sarmi. Kasihan saja karena dia sudah tua dan energinya pasti telah terkuras banyak.
Lagian, Fely tidak terlalu suka dengan genre film action atau semacam mafia yang mengejar-ngejar penjahat. Menurutnya itu sangat membosankan. Karena walaupun ia tipe orang yang penakut, tapi Fely lebih penasaran jika menonton film dengan genre misteri, thriller atau horor. Rasanya lebih menantang, meskipun sesudahnya ia akan takut pergi ke kamar mandi sendirian ketika malam. Namun, sayangnya teman-temannya itu anti genre film tersebut.
“Udah, Neng Fely, biar Bibi aja yang lanjutin. Neng pasti capek, kan?” kata Bi Sarmi yang merasa tidak enak hati sambil berusaha untuk mengambil alih tugas mencuci piring yang sedang Fely kerjakan. “Kasihan kulit tangan Neng Fely kalau kebanyakan kena air, nanti kering dan mengkerut.”
Mendengar perkataan wanita itu, Fely refleks mengecek keadaan telapak tangannya, yang memang benar terjadi. Namun, gadis itu tak acuh dan tetap melanjutkan apa yang ia inginkan.
“Pamali, Bi. Tanggung.”
“Hm ..., yaudah kalau itu maunya Neng Fely. Tapi Bibi nggak tanggung jawab, ya, kalau sampai kulit tangannya jadi gatal-gatal.”
“Aku nggak punya alergi apa-apa, kok, Bi. Tenang aja—” Ucapannya menggantung saat tiba-tiba melihat Rey yang baru saja keluar dari kamar mandi—dekat area dapur. Sehingga Fely buru-buru melanjutkan dengan nada suara yang sengaja ditinggikan, bermaksud agar pemuda itu mendengar kata-katanya. “Kecuali sama cowok sombong, sih, Bi. Alerginya bisa parah, bahkan sampai kejang-kejang.”
“Waduh. Serius, Neng?” Bi Sarmi yang menganggap perkataan Fely adalah kebenaran, menanggapinya dengan serius. Sementara Rey berhasil menghentikan langkahnya.
“Makanya, Bi. Jangan deket-deket.” Rey lantas menimpali, membuat Fely segera berbalik badan dan menoleh kepadanya. “Kalau alerginya kambuh, dia bukan cuma kejang-kejang, tapi bisa nyakar orang.” Lalu pergi begitu saja membuat Fely berteriak semakin kesal.
“Ya! Apa maksud lo, hah?!” teriaknya, tapi Rey sama sekali tidak menanggapi. “Dasar sombong. Awas aja bakalan gue bales.”
Dan, tiba-tiba Fely mengingat sesuatu, sehingga membuat sudut bibirnya menukik naik. Akal bulus baru saja singgah di kepala. “Gue pengen tau, kalau helm itu dijual, apa lo masih bisa sombong?”
[]
Tau, kan, kalau votmen itu berarti banget buat author.
Hihi.
Next, >>
6 Oktober 2021
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro