06. Ketika dengan Teman Memiliki Waktu Banyak dibanding Pacar
Ketika berhak untuk cemburu, tapi merasa tidak pantas untuk itu.
Fely, yang tiba-tiba
hilang harapan.
🩹🩹🩹
“Sel, aku boleh ikut nebeng bareng kamu nggak ke tempat les?”
Ansel yang saat itu sedang merapikan buku ke dalam tasnya langsung menoleh. Jadwal yang padat di hari senin, membuat mereka harus pulang lebih dari jam tiga sore. Sebenarnya itu belum seberapa. Apalagi sekarang mereka adalah siswa kelas dua belas. Dua bulan lagi, mereka harus fokus pada pelajaran dengan jam penuh, ditambah les tambahan yang disediakan oleh sekolah.
“Oh, boleh, kok. Memangnya kenapa, supir kamu tidak jemput?”
Gadis itu menggeleng dengan segera. Bibirnya maju beberapa senti, tampak memelas. “Tadi Mama chat katanya minta anterin ke Pak Hari, karena hari ini ada arisan keluarga. Ternyata waktunya ngaret, akhirnya nggak bisa jemput aku tepat waktu, deh. Kalau dipaksa, jaraknya lumayan jauh. Takutnya nggak keburu.”
Ansel menganggukkan kepala ketika mendengar penjelasan teman sebangkunya itu. “Ya sudah, segera kasih kabar mama kamu biar tidak perlu ke sini. Kamu biar bareng aku aja.”
“Em, oke. Thanks, ya, Sel.” Senyum cerianya langsung mengembang. Ia pun segera menuruti permintaan Ansel. Merogoh ponsel di saku rok abunya dan segera mengirimkan pesan pada sang Mama.
🩹🩹🩹
“Lo yakin saudaranya Keenan bakalan nepatin janji? Kok, gue nggak yakin, sih.” Manda masih sangat ragu, setelah apa yang terlihat oleh mata dan tanggapannya tentang Rey. “Gue takut dia malah nambah masalah.”
Fely merasa terhenyak. Kenapa ia tidak memikirkan masak-masak keputusannya itu—yang benar juga kata Manda—bisa menimbulkan masalah lain. Dari gelagatnya saja sulit dipercaya. Cuma banyak omong, buktinya belum tentu benar. Sekarang Fely menyesal, karena emosi dia sampai tidak berpikir dua kali.
“Man, jangan gitu. Jangan berburuk sangka. Nggak baik,” timpal Mita yang langsung mendapat cibiran dari Manda.
“Halah, sejak kapan lo peduli sama orang lain. Biasanya juga tukang gibahin.”
“Udahlah, jangan berantem. Pusing, nih, gue,” tegur Fely karena sudah sangat terganggu.
Sementara saat mereka mulai diam, tiba-tiba Mita memekik ketika melihat Ansel tengah berjalan di koridor berlawanan arah dengan mereka. Tujuannya sama, pertigaan menuju lobi sekolah.
“Eh, Fel, Man. Itu Ansel, tuh. Gimana kalau kita samperin.” Mita sudah hampir berlari, kalau Fely tidak segera memegangi tangannya.
“Mit, ngapain? Nggak usah.” Bukan karena takut menganggu karena Ansel pasti sedang terburu-buru, tapi juga karena ada sosok gadis lain yang kini tengah berjalan bersamanya. Entah kenapa Fely masih saja belum bisa mengenyahkan rasa tidak nyaman tersebut, padahal sudah sering Ansel jelaskan kalau mereka cuma teman. Teman satu sekolah, satu kelas, satu tempat duduk, dan satu tempat les juga. Bahkan jika ingin protes, Fely merasa hubungan ini tidak adil. Dia pacarnya, tapi sahabatnya yang jauh lebih sering bersama dengan Ansel.
“Ih, kenapa? Mumpung ada kesempatan. Kita harus ngomong langsung apa Ansel bersedia jadi tutor kita di grup belajar nanti.”
“Nggak akan, dia sibuk.”
Belum Fely memberi penjelasan lebih logis, Mita sudah mengambil inisiatif duluan. Dengan lantang dan santainya dia memekik memanggil nama Ansel.
“Ansel! Eh, Kak Ansel!” ulangnya yang hampir keceplosan. Walaupun sebenarnya Ansel sudah membebaskan untuk mereka tidak perlu bersikap formal, tetap saja jika di sekolah dan didengar orang lain kesannya kurang sopan.
“Haduh ... anak ini, kenapa malu-maluin banget, sih?” protesnya dengan nada pelan hampir menggerutu. Ia bahkan tidak punya muka untuk menegakkan wajah menghadap Ansel dan gadis itu.
“Udahlah, Fel. Kenapa, sih, emang?” tukas Manda yang memang tidak bisa mengerti. Sama saja seperti Mita.
“Oh, hai!” seru Ansel dengan senyum lebar setelah mereka sudah sangat dekat. “Kebetulan sekali, ya, ketemu di sini.”
“Iya, Kak. Oh, hai, Kak Tiara.” Mita melayangkan sapaan juga pada gadis tinggi langsing dengan wajah cantik bernama Tiara itu, yang hanya dibalas dengan senyuman singkat.
“Hai, Fel!” sapa Ansel mencoba menarik perhatian gadis itu, karena Fely seperti sedang menghindar untuk menatapnya. “Udah mau pulang, ya?”
Fely yang canggung segera menjawab, “Oh, iya.”
Melihat reaksi Fely yang seperti tidak nyaman, sebenarnya membuat Ansel bingung, tapi ia tidak punya kesempatan untuk bertanya lebih jauh—terlebih saat keadaan tidak hanya mereka berdua saja.
“Btw, Kak. Sebenarnya gue—eh, aku, Manda, sama Fely berencana buat kelompok belajar gitu. Tapi, karena nggak ada dari kita yang potensial jadi tutor atau pembimbing, makanya kita minta Kak Ansel buat jadi tutornya. Gimana, Kak?”
“Ini juga udah pernah kita tanyain waktu di rumah Fely kemarin, kok,” sela Manda lebih memperjelas. “Tapi, karena takutnya Kak Ansel nganggepnya cuma candaan, kita pastiin lagi, deh.” Mata Manda tanpa permisi langsung melirik sinis pada sosok Tiara. “Terus kita juga mau minta maaf karena mintanya nggak sopan gini, di koridor pas lagi nggak sengaja ketemu.”
Jengkel juga sebenarnya Manda pada Mita yang main panggil-panggil saja tanpa dipikir-pikir dulu.
“Lho, tidak apa-apa, kok. Kalian, kan, temannya Fely. Itu artinya teman aku juga. Dan, tidak perlu formal gitu.” Diberi perkataan seperti itu, Mita dan Manda cuma bisa nyengir. “Kalau soal permintaan kalian, aku harus pikirkan dulu, ya. Eh—maksudnya bukan mau menolak. Tapi, harus aku cocokkan dengan jadwal les yang aku punya. Takutnya nanti bentrok, aku keteteran, dan akhirnya malah kalian yang kecewa.”
“Duh, siap, Kak. Itu, sih, kita ngerti, kok.”
“Jangan dipaksain juga kalau kamu nggak bisa,” timpal Fely kemudian yang terdengar agak ketus. Bahkan senyumnya terlihat dibuat-buat. Menyadari perubahan sikap Fely, Ansel sangat mengerti.
“Tidak, Fel. Aku malah senang kalau bisa belajar bareng sama kalian.”
“Yes, kalau gitu pertimbangkan, ya, Kak!” kata Mita masih dengan semangat menggebu. Ia begitu yakin Ansel akan menyetujuinya dan mengatakan iya. Berbanding terbalik dengan harapan Fely, yang sudah hopeless duluan.
“Sel, kita bisa berangkat sekarang, kan? Udah telah, nih.” Tiara yang sudah merasa waktunya semakin mepet segera mengingatkan. Ia juga sudah tidak nyaman berada di sana, apalagi sejak tadi tatapan Manda selalu mengintimidasi kepadanya.
“Oh, oke. Kamu boleh duluan. Aku mau bicara dulu sama Fely.”
Ditolak secara halus begitu, raut wajah Tiara terlihat sekali berubah kesal dan kecewa. Di sisi lain Manda dan Mita senang melihatnya. Mereka sampai harus menahan tawa. Sehingga ia dengan memberi tatapan jutek langsung pergi dari sana menuju mobil Ansel, yang sudah menunggu di depan gerbang sekolah.
“Ada apa?” tanya Fely, yang mimik mukanya masih saja tidak bersahabat.
“Bicara berdua aja bisa, kan?” Tanpa menunggu jawaban Fely, Ansel segera menggenggam tangannya dan menuntunnya agak menjauh dari Manda dan Mita.
Sementara saat mereka memisahkan diri, Mita melihat Keenan dan Rey berjalan ke arah mereka, lalu memanggilnya sambil melambai-lambaikan tangan—tak luput dengan wajah cerah ceria. Tatapan mata Rey sempat mengikuti ke arah mana Fely dan cowok yang belum dikenalnya itu pergi.
Fely langsung bertanya ketika mereka sudah berada di taman tepi lapangan. “Kenapa, sih? Kamu bukannya harus buru-buru pergi? Udah, sana. Nanti telat lagi.”
Tahu jika pacarnya itu sedang ngambek dan terlihat lucu, Ansel jadi merasa gemas dan tiba-tiba ingin tersenyum saja melihatnya.
“Pipi kamu tambah tembem tau kalau lagi cemberut gitu,” godanya yang sontak saja membuat Fely terkesiap—menyentuh pipinya yang langsung memerah, lantas memukul tangan Ansel karena kesal.
“Aku emang tembem, jelek, bodoh, hidup lagi. Terus kenapa?”
“Lho, jangan marah. Mau apa pun kamu, aku tetap sayang, kok. Jadi jangan ketus-ketus, ya, sama aku.” Ansel masih berusaha membujuk Fely, tapi karena waktunya singkat ia bahkan harus terburu-buru. “Sebagai gantinya, minggu besok aku mau ngajak kamu ke perpustakaan yang baru buka. Tempatnya enak dan nyaman, kamu pasti suka.”
Fely berusaha tersenyum setulus mungkin, walau dalam hati sebenarnya ia merasa kecewa. Kenapa harus mengajaknya ke perpustakaan lagi? Padahal dalam angannya selama ini, ia ingin sekali pergi ke tempat bermain, menonton, makan di kafe atau tempat nongkrong anak muda yang asik, yang setidaknya lebih menyenangkan dari cuma baca buku dan membahas isi di dalam buku-buku. Namun, Fely tidak bisa protes. Setidaknya itu lebih baik daripada tidak diajak jalan sama sekali.
“Ya sudah, aku pergi dulu, ya. Sampai ketemu nanti.” Ansel sempat mengelus puncak kepala Fely, sebelum akhirnya benar-benar berlalu.
“Fely ... kenapa, sih, lo harus secinta itu sama Ansel?” gerutunya bicara pada diri sendiri. Merasa merana dan miris karena pikiran tidak pernah sinkron dengan keinginan hati.
[]
2 Oktober 2021.
Nex, tunggu besok, ya.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro