
04. Bertemu Lagi dengan Kesan yang Buruk
Bel tanda istirahat segera berbunyi tepat di jam sepuluh pagi. Bu Risma yang masih menjelaskan di depan kelas, menghentikan sejenak ucapannya. Tidak ingin korupsi waktu, beliau pun segera melangkah menuju meja guru yang ada di pojok kiri—dari meja siswa—sebelah papan tulis.
“Baiklah, karena waktu sudah habis, kita akhiri pelajaran hari ini. Tapi, jangan lupa segera kumpulkan tugas Akutansi kalian. Langsung saja ke ruang guru, dan simpan di meja kerja Ibu,” tukasnya seraya merapikan buku-buku dan juga laptopnya ke dalam tas. “Ibu tunggu sampai jam satu siang. Lewat dari itu, dinyatakan mendapat nilai nol. Meskipun cuma telat satu detik.”
“Baik, Bu!” jawab murid di kelas XI-IPS 3 itu serentak. Setelahnya, Bu Risma segera pergi dari kelas sambil menenteng buku dan tas laptopnya.
Tak ayal anak-anak itu langsung berhamburan keluar kelas. Panas dan peningnya ruangan tersebut sudah tidak bisa ditolerir. Sehingga mereka sudah tidak sabar untuk menghirup udara segar dan mengisi perut yang lapar.
“Sebelum ke kantin, kita kumpulin tugasnya dulu, yu? Mumpung udah selesai, biar nggak lupa,” usul Manda, setelah hanya tinggal mereka bertiga di ruangan persegi itu.
Mita yang duduk di depan Fely dan Manda segera memutar badan. “Boleh, tuh, boleh.”
Fely cuma mengangguk untuk menanggapi, seraya mengeluarkan buku tugas Akutansi yang akan dikumpulkan.
“Beruntung, deh, ada Ansel yang mau bantuin kita ngerjain tugas ini.” Manda kembali memulai percakapan, ketika ketiga gadis itu sudah berjalan di koridor menuju ruang guru yang ada di lantai bawah. “Lo coba lagi, deh, yakinin Ansel buat gabung ke klub belajar kita, Fel.”
Terdengar Fely mengembuskan napas panjang. “Bukan gue nggak mau, tapi sebaiknya kalian aja yang minta.”
“Tapi, atas dasar keinginan lo, ya? Alasannya biar bisa ketemu terus setiap hari.”
“Eh, janganlah!” Fely sontak memukul lengan Manda dengan bukunya. “Tengsin, dong.”
“Kalau gitu biar gue yang coba!” sela Mita merasa pekerjaan itu sangat mudah. Toh, waktu itu saja ia berhasil membujuk Ansel untuk datang menjenguk Fely. Padahal saat itu Ansel harusnya berangkat ke tempat les.
“Ah, iya. Mita kayaknya paling jago merayu.”
“His. Awas aja, ya, kalau macam-macam.”
Mita cengengesan. “Nggak, kok, paling satu macam.” Segera Fely melayangkan tatapan tajam yang kemudian dibalas tawa menggoda dari kedua sahabatnya tersebut.
“Ya, enggaklah sayang ...,” rayu Mita melingkarkan tangannya ke pundak Fely. “Gue bukan sahabat yang suka menusuk dari belakang. Lagian gue udah punya Keen—” Menyebutkan nama itu, Mita mulai teringat sesuatu dan perasaan Fely mulai tidak enak. “Btw, kalian tau nggak, malam minggu kemarin gue—”
“Iya-iya, gue tau, kok. Tau,” sergah Fely terburu-buru. Mengibaskan bukunya di depan wajah karena tiba-tiba merasa kepanasan, “nggak usah cerita, udah.”
“Ih, padahal gue, kan—”
“Eh, tapi. Ngomong-ngomong soal btw, gue penasaran sama orang asing yang tau nama lo itu, Fel.” Manda memotong perkataan Mita. Bukan sengaja, tapi memang ia lebih penasaran pada topik lain daripada mendengarkan kebucinan Mita dan Keenan.
“Oh, iya!” Mita pun menanggapi antusias, melupakan keinginan pertamanya untuk bercerita. “Jangan-jangan cowok itu sesaeng fans.”
“Lha, gue bukan Oppa yang lo puja-puja itu,” timpal Fely.
“Tapi bisa jadi selama ini dia sering stalking tentang lo, Fel.”
Mita kembali menyahut dengan ekspresi meringis. “Tuh, kan. Serem, ih.”
Mendengar perkataan kedua temannya itu, Fely jadi terdiam. Merenung, tanpa menghentikan aktifitasnya mengipas wajah dengan buku tugas Akutansi miliknya.
“Lo harus hati-hati, Fel. Kalau nggak—Aa!” Tiba-tiba Mita berteriak, sedangkan Fely dan Manda tersentak menghentikan langkah, ketika sebuah bola baru saja terbang di hadapan mereka. Bahkan buku yang dipegang Fely ikut terpental jatuh ke lantai. Sangat sial karena dari arah berlawanan muncul seorang murid, sedang berlari dan tanpa sengaja menginjak buku tugasnya sampai lecek.
“Eh, maaf, Kak,” kata siswa itu, yang kemudian lari lagi tanpa berniat untuk mengambilkan dan mengembalikannya.
“Astaga! Siapa, sih, yang lempar bola ke sini? Kaget tau!” pekik Mita tidak terima, sambil pandangannya mengarah ke murid laki-laki yang sedang bermain futsal di tengah lapangan.
Daripada ikut memarahi, Fely menatap frustrasi pada bukunya yang terlihat seperti sampah saat ini.
“Lho, My Sweetie!” teriak seorang laki-laki melambaikan tangan kepada Mita.
“Ih, My Dolphin, jadi kamu?!”
Sebelum Mita mengamuk lagi, pemuda itu segera berlari menghampiri.
“Kena kamu, ya, bolanya? Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya setelah lebih dekat. Kedua tangannya sigap menyentuh kepala sampai wajah Mita untuk memastikan jika gadis itu baik-baik saja.
Karena risi dan kesal, Mita segera menepisnya. “Aku nggak apa-apa, tapi lihat, tuh, buku Fely jadi lecek begitu.”
“Waduh?” Segera pemuda tinggi berambut kriwil tersebut meraih buku Fely yang masih tergeletak di lantai koridor. Menepuknya beberapa kali, berharap bekas bola dan injakan sepatu itu menghilang. Walau akhirnya percuma. Karena bagian halaman itu sudah kusut dan robek sebagian. “Fel, sori, ya. Nggak sengaja.”
“Makanya, kalau nendang bola itu hati-hati.” Manda yang tadi menahan kesal mulai menimpali. Lirikan matanya terkesan sinis, ditambah senyuman miring. Belum lagi kedua tangannya yang dilipat di depan dada.
“Maaf.” Mendadak muncul suara lain, tepat berada di belakang Keenan. Pemuda itu pun membalikkan badan, membuat ketiga gadis dan dirinya bisa melihat dengan jelas siapa orang tersebut. “Gue yang salah. Gue yang nendang bola itu. Sori.”
Fely yang dari tadi hanya meratapi bukunya itu lantas mengangkat wajah. Menatap ke depan, pada pemuda yang mengaku salah, berdiri di hadapannya. Awalnya Fely ingin memaki, tapi mulutnya serasa berat berucap ketika menyadari siapa orang itu. Keningnya mengernyit dengan mulut terbuka sedikit.
“Elo?”
🩹🩹🩹
“Oh, jadi kalian berdua pernah ketemu, ya?” tanya Keenan setelah mereka tiba di kantin dan memilih tempat duduk bersama. Menoleh pada Fely dan pemuda berambut agak panjang dengan sorot mata tajam itu bergantian.
“Lebih tepatnya, nggak sengaja. Itu pun karena dia hampir nabrak gue,” timpal gadis tersebut dengan ekspresi ketus. Walau bagaimana pun Fely masih kesal dengan sikap pemuda itu kemarin lusa. Kasar sekali melemparkan helm ke arahnya, sampai perutnya terasa sakit. Juga karena nasib buku tugas Akutansi miliknya.
Melihat gelagat tidak bersahabat yang ditunjukkan Fely, Mita kemudian menanggapi—seakan memulai percakapan baru dengan orang itu.
“Tapi, btw, sejak kapan lo masuk sekolah sini? Kok, Keenan nggak ngasih tau?”
“Baru juga hari ini. Iya, kan?” Keenan menyela, mengalihkan tatapan sambil menaikkan kedua alisnya ke arah murid baru tersebut—yang sepertinya masih enggan membuka suara. Sikapnya masih tak acuh, dan tampaknya belum bisa berbaur.
“Kamu juga nggak ngasih tau kalau punya sepupu kayak Rey.” Mita tiba-tiba protes pada Keenan.
“Lho, penting, ya?”
“Penting, dong. Kalau aku tau kamu punya saudara ganteng. Aku, kan, bisa sama Rey aja bukan sama kamu.”
“Ih, dasar, ya! Masih aja centil dan jelalatan sama cowok lain,” gerutu Keenan seraya menarik Mita dalam rangkulannya, sehingga gadis itu kesulitan untuk bergerak.
“Eh, udah, deh. Jangan mengumbar kemesraan di depan para jomblowan dan jomblowati,” komentar Manda, hendak melerai kekacauan yang mungkin saja akan terjadi.
“Di sini yang jomblo cuma lo ya?” sahut Mita tidak mau kalah, langsung menunjuk wajah Manda. “Eh, tapi. Rey masih jomblo, kah? Apa udah taken?”
“Ih!” Keenan kembali protes sambil menyeka wajah Mita. “Jaga, tuh, mata sama senyumnya. Genit banget.”
“Ya ampun, Keenan! Posesif banget, sih! Gue, kan, cuma nanya!” Suara menggelegar seperti jeritan lumba-lumba itu langsung menggema di seluruh ruangan kantin SMA Cakrawala. Membuat murid-murid yang ada di sana langsung menoleh ke arahnya.
Kontan Manda tertawa, lalu berkata, “Bisa-bisanya, Ken, lo masih betah sama Mita.”
“Ya, gimana, dong. Cewek kayak dia langka, sih.” Keenan berusaha merayu sambil mencubit gemas pipi bulat Mita.
Fely yang masih tidak nyaman di depan orang baru itu hanya bisa diam. Ekspresi yang kentara sekali, walaupun cuma menunduk memainkan sedotan minuman jus mangga yang tadi dipesannya.
“Eh, tapi, Rey. Lo pasti anak pintar, ya?”
“Kenapa gitu?” jawab Keenan menyerobot.
“Ih, bisa nggak, sih, diem dulu? Aku itu nanyanya sama Rey.”
“Ya udah, silakan.” Keenan menoleh pada pemuda bernama Rey tersebut. “Ayo, Rey. Jawab.”
Namun, Mita kembali memperjelas pertanyaannya. “Lo, kan, anak IPA. Udah pasti pinter, dong?”
“Bukan berarti anak IPS juga nggak pinter.” Manda yang sedang menyantap nasi goreng dengan tambahan potongan tomat itu menyela, seakan sengaja lebih memancing emosi Mita. “Kecuali elo, sih.”
“Manda, ya Allah ... nggak usah buka kartu juga kali.”
“Ken, gue ke toilet dulu, ya.” Tiba-tiba Rey berkata membuat semua mata yang ada di meja itu mengarah padanya—merasa heran. Akan tetapi, dia tidak memedulikan dan tetap berdiri lalu melangkah pergi.
“Ih, sepupu lo, kok, sombong banget, sih? Irit banget ngomongnya? Kenapa? Nggak suka, ya, bergaul sama kita?” Mita mulai melayangkan banyak pertanyaan yang sejak tadi mengganggu di kepala. Pasalnya, Rey sama sekali tidak bersahabat. Padahal ia sudah berusaha bersikap ramah dan welcome.
“Dia memang kayak gitu. Udahlah, nanti juga kalau udah kenal lama, bakalan berubah sikapnya.”
“Oh ....” Mita mangut-mangut. “Eh, tapi cowok tipe cool dan cuek kayak Rey menantang banget buat diluluhin hatinya.”
Berkata demikian, Keenan langsung memberikan tatapan nyalang. Otomatis Mita segera tersenyum cengengesan. Memberi kesan kalau yang tadi ia ucapkan hanya candaan.
“Enggak, sayang. Aku, kan, setia sama kamu,” pungkas Mita dengan ekspresi dibuat manja. Melingkarkan tangan di lengan Keenan, lalu menyandarkan kepala di bahunya.
“Aduh! Mata gue tercemar,” sahut Manda.
“Huh! So polos lo!” sentak Mita seraya memercik air jus sirsak dengan ujung sedotannya ke arah wajah Manda.
Meskipun kedua temannya terus berceloteh dan membuat suasana ceria, Fely sama sekali tidak tertarik untuk ikut bergabung. Ia masih membayangkan buku tugasnya yang jadi lecek dan rusak. Habis terkena semprot guru Ekonomi itu memang bisa menghilangkan mood sepenuhnya.
🩹🩹🩹
“Pokoknya Ibu nggak terima buku kayak gini, ya. Kamu pikir Ibu sudi memeriksanya.”
“Tapi, Bu—”
“Pokoknya diganti. Salin ke buku yang lebih bersih dan masih rapi. Ibu tunggu sampai besok pagi.” Setelah berkata demikian, Bu Risma melemparkan kembali buku itu ke hadapan Fely. Bahkan untuk menatap wajahnya saja begitu enggan. Kembali fokus pada buku lain yang sedang diperiksa. Tidak secara langsung, beliau menyuruh Fely untuk segera keluar dari ruangannya.
“Ya udah, Bu. Permisi.” Tidak ada lagi yang bisa Fely lakukan. Sehingga ia memilih pasrah. Mengambil kembali buku tersebut, dan segera melangkah pergi.
Dalam hati, Fely benar-benar gondok pada pemuda itu. Pertemuan mereka selalu memberikan kesan buruk. Bukannya menyesal, bahkan mengatakan maaf pun seperti tidak tulus dari hati.
“Ish, sial.”
[]
Yes. Akhirnya mereka ketemu lagi.
Gimana nih? Ada yang menunggu cowok yang hampir nabrak Fely waktu itu?
Namanya, Rey, ya, gaes.
Ayok, dicatet.
Komen dan votenya jangan lupa.
Biar aku nulisnya makin semangat. Ehehe.
Bye Gaes!
20 September 2021.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro