
03. Aku dan Kamu Seperti Bebek dan Angsa
Ketika kita bersebelahan.
Aroma shampo yang menggelitik di ujung hidung (aku ingin menyentuh rambutmu).
Aku mendongak.
Menghitung jumlah bulu matamu.
Seperti berdasarkan pada rumus matematika.
Aku ingin mengingat setiap detailnya.
20 cm
Tomorrow X Together
🩹🩹🩹
“Pokoknya kamu harus istirahat seharian ini. Jangan ngelakuin aktifitas yang berat-berat kalau mau cepet sembuh.” Perintah mamanya itu setelah selesai mengompres pergelangan kaki Fely yang keseleo menggunakan air dingin. Bahkan sebelumnya ia memberikan obat parasetamol untuk menghilangkan nyeri.
Siapa sangka, kakinya yang keseleo karena kejadian kemarin itu membengkak di pagi hari. Fely sampai tidak bisa berjalan kalau tidak tertatih dan dibantu mamanya sampai ke sofa ruang televisi. Benar-benar hari minggu yang menyebalkan dan membosankan. Seharusnya hari itu ia pergi ke rumah Manda untuk mengerjakan tugas Akutansi, membuat Laporan Laba Rugi. Kalau begini, ia bisa tertinggal. Mana besok harus sudah dikumpulkan. Sementara baik Mita dan Manda, tidak ada yang bisa dihubungi.
“Hah ... bete!” decaknya seraya melempar ponsel ke samping kiri di mana ia duduk saat ini. Melipat kedua tangan di depan dada dengan bibir cemberut. “Bahkan Ansel aja nggak ngasih kabar dari semalem. Apa sesibuk itu? Padahal, kan, hari libur.”
Tidak ingin kegundahan hati dan pikiran yang sekarang ia rasakan semakin membuat emosi, ditambah kakinya yang terus berdenyut, Fely akhirnya membaringkan diri. Memutar badan seratus delapan puluh derajat, hingga betis bagian belakang bersandar pada sandaran sofa. Sementara telapak kakinya terangkat lurus menghadap langit-langit—begitupun wajahnya. Di mana rambutnya menjuntai ke bawah hampir menyentuh lantai.
Mengangkat pergelangan kaki lebih tinggi dari dada biasanya efektif membuat tubuh lebih mudah mengalirkan cairan berlebih pada pergelangan kaki yang keseleo, begitupun untuk orang yang seharian berdiri. Ilmu pengetahuan itu Fely dapat langsung dari sang mama. Dahulu, sebelum memutuskan untuk menikah di usia dua puluh dua tahun, mamanya adalah seorang perawatan yang bekerja di rumah sakit.
“Enak banget rasanya,” gumamnya. Udara yang berembus masuk dari pintu geser yang terbuka di ruangan tersebut setidaknya membuat suasana menjadi sejuk. Sayup-sayup angin seakan menggelitik bulu matanya untuk segera terpejam.
Di antara setengah sisa kewarasan, sebelum mimpi benar-benar datang, jauh dalam pendengaran, Fely mendengar samar suara Mita dan Manda memanggil namanya. Terus begitu sampai dirinya merasa risi dan akhirnya susah payah membuka mata.
“Ya ampun Fel. Lo tidurnya kebo banget, sih. Gue panggilin dari tadi nggak bangun-bangun,” protes Mita yang ternyata bukan hanya bunga tidur. Dua sahabatnya itu benar-benar ada di dalam rumahnya. Di hadapannya. Tengah berdiri di antara kedua kakinya yang mengacung.
Akan tetapi, bukan presensi kedua gadis itu yang kini mengalihkan fokus dan keterkejutannya. Melainkan seorang pemuda yang berdiri tepat di sebelah Manda. Menyunggingkan senyum dengan tatapan meneduhkan.
Setelah semakin sadar, matanya refleks membulat sempurna dengan mulut menganga. Lantas bergerak cepat menurunkan kaki, sampai ia lupa tengah berada dalam posisi terbalik. Alhasil, ia pun melorot jatuh ke lantai—yang ditutupi permadani—dengan kepala dan punggung lebih dulu.
“Aww!” rengeknya memekik sampai Mita, Manda, dan pemuda itu menjadi panik.
“Astaga, Fel-Fel! Lo nggak apa-apa?” teriak Mita refleks menghampiri, begitu juga Manda yang bermaksud untuk membantunya bangun. Namun, gadis itu langsung bangun dengan sendirinya—berharap kejadian memalukan itu tidak pernah terjadi.
“Fel, hati-hati, dong.” Manda melanjutkan, yang masih duduk si sebelah Fely.
Gadis itu sama sekali tidak mengacuhkan kekhawatiran temannya. Ia buru-buru berdiri—seakan rasa sakit di kakinya langsung hilang karena rasa malu. Ingin menatap laki-laki yang kini berdiri di hadapannya, tapi ragu-ragu dan akhirnya cuma bisa menunduk dengan gerakan tidak tenang.
“Ka-kamu di sini?” ucapnya kemudian mengeluarkan suara. Wajahnya pasti sudah semerah tomat karena berpenampilan kucel di hadapan pacarnya sendiri.
“Iya. Aku diberitahu dan diajak Mita,” jawabnya masih dengan sikap yang tenang. “Kaki kamu bagaimana? Masih sakit?”
“Hah? Oh—” perkataannya tidak sempurna karena Fely benar-benar gugup sekarang. Menilik pada kaki yang terluka yang seperti sihir, kedatangan Ansel membuat sakitnya tiba-tiba hilang. “Udah lebih baik, kok, sekarang.”
“Syukurlah. Aku khawatir sekali mendengarnya.”
“Nah, lo harus berterima kasih sama gue!” Tiba-tiba Mita menyela dengan nada tinggi sambil menepuk pundak Fely. Ia merasa bangga saat ini. “Kalau bukan karena gue, Ansel nggak mungkin, kan, ada di sini sekarang? Itu keinginan lo dari dulu, bawa Ansel ke rumah?”
Tingkah gadis itu jujur saja malah semakin membuat pipi Fely kepanasan. Malu banget, sampai harus dikatakan seperti itu di depan Ansel langsung. Sementara pemuda itu terkekeh merasa lucu. Dia ingin menjepit bibir Mita, tapi apa daya harus jaga image di depan pacarnya itu. Mana tidak spill dulu kalau mau mengajak Ansel ke rumahnya.
Memang benar, selama satu tahun berpacaran, Ansel belum pernah ada waktu untuk main ke rumah atau sekedar berkenalan dengan mama dan kakaknya. Alasannya selalu sama, karena sibuk belajar dari sekolah, tempat les, sampai ke rumah pun masih berkutat dengan buku.
Namun, Fely baru sadar kalau saat ini penampilannya benar-benar tidak layak untuk dipandang. Kumal sekali karena belum mandi. Mana rambut berantakan dan wajah yang pucat pasi. Masih pakai baju tidur pula. Sehingga ia rasanya ingin kabur ke kamar—setidaknya untuk mencuci muka dan berganti pakaian—sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan, menghindari tatapan Ansel.
“Fel!” Ansel tiba-tiba menahan tangan Fely. Menurunkan dari wajahnya. Sehingga ia bisa menatap wajah gadis itu dengan jelas. “Tidak perlu malu. Kamu tetap cantik meskipun belum mandi.”
Fely terkesiap mendengar Ansel berkata demikian. Sangat jarang dilakukan dan begitu langka. Apalagi ketika tatapan mereka bertemu. Gadis itu berhasil menemukan ketulusan di dalam kedua bola matanya. Tidak jauh dengan Mita dan Manda, yang langsung saling menatap dengan tampang tidak percaya.
Sampai satu detik kemudian, Mita kembali menggodanya, “Aduh, aduh, aduh ... gue meleyot, Man.”
“Mari kita hitung getaran detak jantung Fely,” sela Manda malah tambah menggoda Fely yang tengah tersenyum malu-malu. Tatapannya tertuju pada Ansel—King of Math.
Lalu dengan polosnya Mita merespons, “Eh, emang ada, ya, rumus ngitung getaran jantung?”
“Ada, cuma kalau lagi deket my crush biasanya, sih, rumusnya makin ribet. Soalnya getarannya nggak karuan,” jelas Manda yang langsung tertawa, di susul Ansel dan Fely yang paham. Sedangkan Mita malah mengernyitkan dahi, masih tidak mengerti.
🩹🩹🩹
“Kalau Tante tau bakalan ada tamu, tadi pasti dibuatin puding mangga kesukaan Manda sama Mita,” tukas wanita yang hari ini terlihat cantik dengan dress panjang selutut motif bunga-bunga, sembari meletakkan empat gelas jus jeruk di atas meja.
“Makanya nggak bilang karena nggak mau ngerepotin Tante Inggrit.” Manda langsung menimpali.
Inggrit termasuk yang baik dan royal jika teman anak-anaknya akan datang ke rumah. Bahkan tamunya dilarang pulang jika belum makan di satu meja yang sama.
“Ish, Tante nggak tepot, kok. Malah seneng kalau rumah rame,” responsnya kemudian mengalihkan pandangan pada satu-satunya laki-laki yang ada di sana. Masih diam saja, tapi terus melayangkan senyuman. Duduk tepat di sebelah Fely. “Oh, iya. Kalau yang ini siapa? Sepertinya Tante baru lihat?”
“Pacarnya Fely, Tante!” terang Mita yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari Fely. Sehingga karena takut, ia buru-buru meralatnya. “Eh, maksudnya temen, Tante.”
“Oh ... gitu.” Inggrit mengangguk pura-pura mengerti, meskipun masih ragu.
“Perkenalkan Tante, nama saya Ansel.”
“Ansel?” Kedua alisnya terangkat, isyarat memastikan. “Oh, iya, Nak. Salam kenal.” Inggrit tanpa segan membalas senyuman penuh sopan satun dari Ansel. Dari sikap dan tutur katanya saja ia sudah yakin jika Ansel anak baik-baik. “Ya udah, kalian lanjutin ngobrolnya, Tante tinggal ke belakang dulu, ya.”
“Tante, jangan siapin apa pun!” sambung Manda agak berteriak karena Inggrit sudah berlalu ke belakang. “Kita udah makan, kok, sebelum ke sini!”
“Iya, Tante! Jangan ngerepotin!” timpal Mita. Namun, Inggrit hanya mengangkat tangan tanpa menoleh. Baik Manda dan Mita tidak yakin jika ucapannya akan didengarkan.
“Mama kamu selain cantik, ramah, ternyata baik juga, ya,” kata Ansel khusus mengarahkan tatapannya pada Fely.
“Hmm, makasih,” respons Fely tersenyum malu, tapi merasa senang dengan pujian tersebut.
Melihat dua sejoli itu yang seperti lupa dengan kehadiran mereka, Mita pun melayangkan suara. “Btw, karena sekarang ada murid paling pintar di SMA Cakrawala. Gimana kalau kita minta bantuan Ansel buat ngerjain tugas Akutansi ini?”
“Lho, Ansel, kan, anak IPA. Beda jurusan, lah!” sergah Manda merasa permintaan Mita sudah mengada-ngada.
Akan tetapi, kedua gadis itu terkejut—tidak termasuk Fely—saat Ansel justru menanggapi, “Aku belajar Akutansi juga, kok, di tempat les. Jadi akan aku coba.”
“Woy, lah, serius?!” Kedua mata Mita sampai membulat. Menepuk tangannya memandang kagum. “Gila Fel, pacar lo pinter gitu. Kok, lo nggak pinter-pinter, sih?”
Mita mengatakannya spontanitas, tapi lumayan mengusik perasaan Fely. Memang jika dibandingkan, Ansel dan Fely seperti bumi dan langit. Bebek dan Angsa. Jauh sekali .... Fely saja sampai insecure setiap kali ada gadis cantik dan pintar dekat dengan Ansel. Dan, perkataan Mita barusan semakin membuatnya krisis kepercayaan diri.
“Kalau gitu, lo bisa dong jadi pembimbing kita di club belajar Akutansi?” tukas Manda yang takjub juga. “Jujur gue udah capek ajarin mereka berdua yang nggak ngerti-ngerti.”
Ansel terkekeh. Sontak mengelus pundak Fely yang merasa tersindir. Memang temannya yang sedikit lebih pintar dari mereka itu sering direpotkan.
“Aku mau aja. Padahal setiap ketemu, aku selalu ajarin juga ke Fely.”
“Maaf, ya. Karena aku nggak bisa menyerap pelajaran yang kamu terangin dengan baik,” sahut Fely kemudian merasa kecewa dan malu pada diri sendiri.
Memang benar, Ansel selalu mengajarkan apa yang Fely tanyakan dan tidak mengerti setiap kali ada waktu untuk bertemu. Namun, gadis itu selalu gagal paham. Bukan cuma karena otaknya yang lambat bekerja, tapi ketampanan Ansel selalu sukses membuatnya tidak fokus.
“Bukan masalah, ayo semangat lagi!” Seperti biasa, dengan sabarnya Ansel berkata demikian.
Manda dan Mita jadi diam. Merasa tidak enak hati dan agaknya menjadi nyamuk juga.
“Ya udah, nggak apa-apa. Mulai, yuk, mulai!” timpal Manda mulai membuka buku pelajarannya yang sudah berserakan di atas meja.
Fely dan Ansel saling menoleh sebelum memulai. Gadis itu tersenyum manis lalu berkata, “Terima kasih.”
Dan, Ansel hanya mengangguk sebagai jawaban.
[]
Waduh, ga kerasa sampai 1600 kata. Wkwk.
Semoga masih betah, ya.
Tunggu besok juga.
[]
Btw, aku udah nentuin visual tokohnya. Sesuai yang tertera di cover. Kalau nggak suka boleh skip, aja.
Felysia Gianina
Ansel Narayaka
Reiki Altezza Savian
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro