02. Selamat dari Orang Asing, setelah Hampir Tertabrak
Suara-suara memanggilku, aku dalam kekacauan sekarang.
Aku dalam kebingungan yang dipimpin oleh sebuah nama.
Frost
Tomorrow X Together
🩹🩹🩹
Fely segera membuka mata saat indra pendengarannya tidak lagi menangkap suara gesekan keras antara badan motor dan aspal jalanan. Ia benar-benar syok bagaimana tadi, setelah tersandung dan terjerembap jatuh ke belakang demi menghindar, motor yang melaju kencang itu membanting setir ke arah lain. Namun, karena begitu kencang, si pengendara dan motornya langsung terguling, berputar beberapa kali sampai timbul percikan api.
Kejadian barusan sungguh menyeramkan dan begitu cepat. Fely bahkan tidak berpikir dirinya akan selamat. Tersenggol sedikitpun tidak. Hanya luka di pergelangan kaki dan goresan di tangan, yang membuatnya kesulitan untuk berdiri.
“Sialan!” umpat seseorang yang wajahnya masih terhalang kaca helm.
Fely menjadi panik. Sebelah lengan jaket orang itu robek-robek, begitu pun dengan celana bagian lututnya. Sudah dipastikan, jika dia juga mengalami luka-luka, tapi masih berusaha untuk berdiri dan menahan rasa sakitnya.
“Ka-kamu, apa perlu aku panggilin ambulans?”
Mendengar pertanyaan tersebut, dia langsung menoleh. Melepas cepat helm yang dikenakan, dan tanpa terduga melemparkan dengan keras tepat ke pelukan Fely. Gadis itu tersentak, tapi refleks menangkap meskipun menggerakkan tangan rasanya sangat sulit.
“Heh!”
“Apaan, sih? Sakit kali, nggak bisa lebih santai apa?!” Melihat peringainya yang kasar, hilang sudah simpati gadis itu.
Belum sempat pemuda yang mengenakan celana abu khas anak SMA itu melanjutkan kata, dari jauh sudah terdengar kembali suara gerungan motor seperti hendak mengamuk dalam jumlah lebih dari tiga. Sontak dia membangunkan motornya, berwajah panik dan langsung pergi begitu saja. Memacunya sangat cepat.
“E-eh! Helmnya!” pekiknya, tapi percuma.
Fely yang masih terperangah di tempat, semakin dibuat tidak berkutik ketika gerombolan geng motor itu melaju melewatinya. Angin kencang yang ditimbulkan kontan mengibas rambutnya yang terurai.
“Dasar para berandal!” cercanya setelah motor-motor itu jauh dari pandangan.
Namun, kemudian Fely kembali teringat sesuatu. Ia segera menoleh ke sana kemari, tapi tidak menemukan orang asing yang tadi berusaha mengejarnya. Tanpa diundang, bulu kuduknya langsung berdiri. Matahari pun mulai tenggelam, Fely harus cepat-cepat pulang. Ia hanya berharap semoga orang itu tidak muncul lagi.
🩹🩹🩹
“Untung aja ada motor yang hampir nabrak Fely, Ma. Coba kalau nggak, mungkin Fely udah diculik sama laki-laki itu.”
Bukannya kata simpati yang ia dapatkan setelah melontarkan kalimat tersebut, ketukan di kening dengan ujung sendok langsung Fely terima saat itu juga.
“Aduh, Mama. Sakit ...,” keluhnya tentu saja protes karena wanita yang mengenakan daster cokelat tua berlengan pendek itu malah menambah rasa sakit di tubuhnya, setelah apa yang terjadi pada sikunya yang lecet tergores aspal.
“Apanya yang untung? Kamu hampir aja celaka. Nyawa itu bukan untung-untungan, Felysia Gianina.” Jika sudah menyebutkan namanya secara jelas dan lengkap, sudah dapat dipastikan jika mamanya itu memang benar-benar kesal.
Bagaimana mungkin wanita itu tidak panik ketika mendengar penuturan Fely setelah tiba di rumah dalam keadaan terluka? Bahkan dengan tertatih karena pergelangan kaki kirinya terkilir. Terkadang rasa ingin mengomel seorang ibu sama besar dengan tindakan khawatirnya. Menutup kecemasan dengan kemarahan, padahal hatinya juga benar-benar sedang tegang.
“Fely bersyukur, Ma.” Sang ibu masih telaten membersihkan luka itu dengan cairan antiseptik, lantas memberikan betadine, lalu menutupnya dengan plester luka. Ternyata memang sangat-sangat bermanfaat menyetok obat-obatan dalam kotak P3K. Pantas saja mamanya itu selalu rewel jika persediaan sudah menipis. “Cowok itu jago juga ngendaliin motornya, walau Fely yakin dia nggak dalam keadaan baik-baik aja. Ya, salah sendiri pake kebut-kebutan di jalanan? Mana jalanan kompleks lagi. Gimana kalau ada anak kecil? Kan, bahaya.”
“Kalau Mama sampe ketemu anak itu, Mama jewer kupingnya,” tukasnya agak geregetan.
“Siapa, Ma?” sahutan dari seseorang yang baru saja tiba di rumah langsung mengalihkan perhatian ibu dan anak tersebut. Menoleh kompak pada pemuda yang kemudian memilih duduk mengisi kursi meja makan yang masih kosong—tepat di sebelah Fely. Belum sempat mereka menjawab, dia kembali berkomentar, “Eh, tangan lo kenapa, tuh?”
Bukan bermaksud untuk iseng, tapi jari telunjuknya benar-benar refleks menekan luka di siku Fely, sampai gadis itu meringis menahan sakit.
“Weh, weh, weh. Sakit, ya? Sori-sori!” Ekspresi wajahnya tergambar panik, tapi Fely keburu dongkol sampai tepukan keras langsung mendarat di lengannya.
“Udah ... jangan ribut,” timpal wanita itu agak geram, segera mengambil sendok dan mengetuk dahi kedua anaknya bergantian. Fely sampai mengusap-usap dengan gaya kejang. “Mau Mama panggilin tukang urut nggak? Takutnya kaki kamu ada salah urat.”
“Hah? Enggak, ah, Ma, enggak!” Belum apa-apa, Fely sudah panik duluan. Masalahnya ia beneran tidak bisa menahan sakit. Rasanya trauma saat masa kecil dulu setelah jatuh dari sepeda masih lekat diingatan. “Kaki Fely udah nggak apa-apa, kok. Cuma keseleo biasa, besok juga sembuh.” Buru-buru gadis itu berdiri. Berjingkrak-jingkrak untuk membuktikan. “Nih, nggak kenapa-napa, kan?” Padahal dalam hati ia menahan rasa nyeri, sehingga tidak berlama-lama, ia cepat duduk kembali.
“Tunggu-tunggu! Sebenarnya Fely abis kenapa, sih?” Pemuda itu yang masih belum tahu duduk masalahnya kembali bertanya.
“Gue hampir aja mau ditabrak motor, Kak Gara ... ih.”
“What?! Serius lo?” pekiknya mulai cemas. Fely menjawab dengan anggukan.
“Terus itu orang tanggung jawab nggak?” Kali ini gadis itu menggeleng dengan takut-takut.
“Sialan! Siapa, sih, orangnya? Berani banget. Biar gue hajar sekalian!” Gara melonjak. Baik Fely dan mama mereka sampai terhenyak. Sontak saja gadis itu menahan tangannya.
“Ih, apaan, sih? Orangnya udah pergi, udah!”
“Awas aja kalau ketemu, gue hajar!” ancamnya yang kembali duduk seraya menghantam kepalan tangan pada telapak tangannya sendiri. Sedangkan Fely hanya menanggapi dengan senyum datar. Walaupun kakaknya itu sangat usil dan menyebalkan, tapi dia akan maju paling depan jika ada orang yang berani mengganggu dan menyakitinya. Maklum, sebagai pria satu-satunya yang ada di rumah itu, Gara merasa sangat bertanggung jawab. “Lo inget nggak, Dek, mukanya kayak gimana? Atau plat nomor motornya, deh. Biar gue lacak sekalian.”
Fely terdiam sejenak. Bukan ia tidak mau dibela, tapi mengungkapkan kebenaran yang ia ketahui hanya akan menambah masalah. Gara tidak akan segan menghajar jika sudah ketemu orangnya. Ia tidak ingin kejadian semasa SMP dulu terulang lagi.
“Gue nggak inget, Kak. Kejadiannya cepet banget,” jawab Fely tanpa menatap wajah Gara. Sikapnya itu justru agak mencurigakan.
“Jangan bohong!” Lagi Gara mendesak dengan tatapan penuh selidik.
“Iya ....”
“Udah Gar, nggak usah diperpanjang. Yang penting sekarang adik kamu baik-baik aja dan bisa pulang dengan selamat.” Untung saja wanita yang masih terlihat segar di usia empat puluh dua tahun itu mengerti kondisi Fely, membuatnya merasa tertolong. “Sekarang mendingan kalian ke kamar masing-masing, bersih-bersih, terus turun lagi. Kita makan malam, oke?”
Fely mengangguk dan tanpa berkata lagi segera beranjak menuju kamarnya di lantai dua. Sebenarnya masih ada yang mengganjal di hati dan pikiran Gara, tapi ia memilih untuk diam sementara menghormati titah mamanya.
[]
Vote dan comment-nya, ya.
Gomawo.
Btw, rencananya cerita ini mau aku update tiap hari.
Doakan semoga lancar-lancar aja.
Semangat pagi, dari bucinnya Soobin. Haha.
18 September 2021.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro