
01. Seseorang Yang Tidak Diketahui, tapi Mengenalnya
Seseorang bilang, apa yang sedang terjadi? Bagaimana bisa di dunia ini kau bertemu seseorang yang sangat berlawanan darimu.
Blue Orangeade
Tomorrow X Together
🩹🩹🩹
“Kayaknya udah lengkap, deh. Ada Aspirin, Parasetamol, Polysilane, antiseptik, Betadine, perban, obat sembelit, dan Salonpas Koyo.”
Gadis yang mengenakan switer jumpsuit celana pendek berwarna abu itu mendikte perlengkapan obat P3K, yang ada di dalam kantung plastik belanjaan. Ia baru saja membelinya di apotek. Sementara tangan kanan memegang handphone—dengan layar tepat menghadap ke muka.
“Semoga nggak ada yang kurang, deh. Soalnya aku males kalau sampai disuruh balik lagi,” lanjutnya terdengar mengeluh.
Seorang gadis yang ada di seberang layar sana mulai menanggapi, setelah hanya sibuk mengenakan krim pelembab di seluruh wajah.
“Anggap jalan-jalan sore, Fel. Mayan sambil cuci mata.” Lalu menyeringai yang dibalas tatapan mengintai dengan sudut bibir ditarik ke samping.
“Sori, ya, Mit. Gue udah punya cowok. Ngapain jelalatan sama yang lain. Gue, kan, bukan elo,” timpalnya terdengar sadis.
Diperjelas seperti itu, gadis bernama Mita kembali terbahak. Sekarang ia tampak sibuk menapuk bedak di seluruh wajah. Sejak memutuskan untuk melakukan panggilan video, dia memang belum bertanya sedang apa dan hendak ke mana temannya tersebut. Tapi, jika sudah berdandan seperti itu, ia sendiri sudah yakin pasti Mita akan pergi ke luar malam minggu ini.
“Emang lo nggak bosen pacaran sama Ansel?” tanyanya seraya membulatkan mata menghadap ke layar. “Cuma seputar buku dan percakapan kaku?”
Gadis yang membiarkan rambut sepunggungnya terurai, dan hanya bagian depan dijepit ke belakang itu terdiam sejenak—memikirkan kata-kata Mita. Memang jika dipikir-pikir, satu tahun sudah berlalu. Seharusnya selama itu banyak momen menyenangkan, yang indah, memicu adrenalin, dan tidak bisa terlupakan bersama pacar yang sudah terjadi. Namun, yang dirinya rasakan selama berpacaran dengan Ansel hanya keluar masuk perpustakaan. Belajar lalu makan di rumah. Sekalinya jalan keluar, itu pun pagi-pagi buta, untuk mengajaknya berolahraga.
“Walaupun cuma di perpustakaan, rumah, dan lapangan olahraga, tapi banyak terselip percakapan manis yang bikin baper, kok.”
Kendati begitu, ia tetap membela pacarnya itu. Setidaknya agar tidak malu-malu banget dan kehilangan muka. Secara setiap hari di sekolah, Mita selalu memamerkan kemesraannya dengan sang pacar. Keenan inilah, itulah. Beliin inilah, itulah. Sampai ia rasanya ingin menutup telinga merasa iri—karena kenapa Ansel tidak bisa seperti pacar orang lain.
Akan tetapi, sanggahannya itu tidak seratus persen salah. Toh, memang benar. Terkadang Ansel bersikap sangat manis sampai membuatnya tersenyum dengan perasaan hati berbunga-bunga. Walau terkadang ia sendiri merasa heran, kenapa masih bisa bertahan selama itu?
Hanya wanita mana yang lebih beruntung selain memacari cowok tampan, pintar, kaya, dan bercita-cita tinggi? Meskipun Ansel jarang punya waktu, karena setiap hari disibukkan dengan belajar dan belajar, ia tetap bersyukur. Setidaknya Ansel memiliki masa depan yang sangat cerah.
“Ya, iya, deh. Gue percaya, tapi masih kurang yakin. Secara mukanya datar banget kayak kayu jembatan.” Sekali lagi Mita tertawa mengejek, dan kali ini membuatnya semakin tidak tahan menahan kesal.
“Ya udahlah, sampai ketemu hari senin. Bye!”
Mood-nya jadi jelek, sehingga ia buru-buru mengakhiri video call tersebut tanpa menunggu respons dari Mita. Padahal maksud gadis itu menghubungi temannya, agar tidak merasa terlalu bosan berjalan kaki sendirian. Namun, lagi-lagi Mita membuatnya keki. Tidak puas rasanya jika tidak mengejek, apalagi tentang hubungannya dengan Ansel. Tahu begitu, seharusnya tadi ia menghubungi Manda saja. Setidaknya teman lainnya itu masih bisa bersikap netral dan terpenting tidak membuatnya kesal.
Jangan lupakan bagaimana tadi Mita sedang berdandan. Untung dia tidak memutuskan untuk bertanya. Akan tambah sakit hati jika jawabannya sesuai ekspetasi. Palingan besok telinganya akan kepanasan lagi mendengarkan ocehan Mita tentang malam minggu yang menyenangkan bersama Keenan. Mulai sekarang ia seharusnya mempersiapkan tisu di dalam tas, untuk menyumpal lubang telinga jika Mita mengoceh lagi.
Sedangkan langit menjelang malam itu, daripada terpancar gelap, ia tampak begitu kebiruan. Merefleksikan semburat warna jingga, kuning, ungu dan merah muda. Fenomena cuaca yang biasa bertahan selama dua puluh sampai empat puluh menit. Biasanya, orang menyebutnya Blue Hour. Sejujurnya ia sangat menyukai kondisi langit tersebut. Daripada mengabadikannya lewat lensa kamera, gadis itu lebih suka memandangnya langsung—dengan mata telanjang. Sangat indah dan cantik.
“Hai, Felysia!” sapaan yang tiba-tiba terdengar itu sontak membuat ia segera menurunkan pandangan.
Dilihatnya seorang laki-laki berambut ikal berdiri di hadapannya, menghentikan langkah. Tersenyum lebar dengan mata berbinar. Entah kenapa, sinyal kecurigaan langsung mentransfer ke otaknya. Ia merasa belum pernah melihat sosoknya di manapun, lalu kemudian muncul menyebut namanya.
“Ma-maaf, kamu manggil saya?” kata Fely untuk mengkonfirmasi. Nadanya terdengar gugup, sebab tatapan lelaki itu lumayan mengintimidasi.
“Iya. Memangnya siapa lagi? Bukannya di sini cuma ada kita berdua?”
Panik, ia refleks menoleh ke sana kemari. Dan, memang tidak terlihat siapa pun di sekitar mereka, selain jalanan panjang yang sepi juga rumah-rumah berpagar tinggi. Pikiran Fely makin menjadi-jadi, ia mulai takut sekarang, tapi berusaha untuk terlihat tenang—walau sebenarnya pasti tidak akan berhasil.
“Saya nggak kenal kamu, tapi kenapa kamu tau nama saya?” Fely mencoba mencari tahu, di antara detak jantungnya yang mulai memburu.
Seringai tipis itu terukur jelas. Menggelengkan kepala seakan memaklumi ketidaktahuan Fely.
“Aku kenal kamu, lebih dari yang kamu tau.”
Terasa bulu kuduk Fely langsung berdiri. Desiran di dadanya bahkan semakin menjadi—mencubit ulu hati. Kenapa orang itu begitu menyeramkan di matanya? Kesan pertama sangat tidak baik, sehingga Fely yakin jika dia pasti berbahaya.
“Maaf, tapi saya nggak punya waktu untuk berbasa-basi. Permisi!” Buru-buru gadis tersebut mengambil langkah untuk segera pergi. Namun, lelaki berhidung mancung, dengan warna kulit agak gelap itu malah segera menghalangi membuat Fely semakin sulit untuk bergerak.
Kedua matanya tajam menatap pria itu. “Mau kamu apa, ya?”
Tanpa ragu, dia menjawab, “Kamu.”
Tentu saja jawaban tersebut menjadikan sinyal ancaman di dalam kepalanya bertambah kuat. Fely tidak boleh lengah, ia harus mengambil kesempatan untuk kabur. Sehingga ia mulai berteriak memanggil orang lain untuk sekedar berpura-pura, membuat fokus orang itu teralihkan. Di saat itulah Fely mengambil langkah seribu, segera lari kencang untuk menghindar.
Ternyata, lari setiap hari libur bersama Ansel berkeliling lapangan bukanlah hal buruk. Otot kakinya jadi terlatih dan sudah terbiasa, sampai tidak kaget lagi begitu memutuskan untuk berlari sekuat tenaga. Meskipun debaran jantungnya semakin menggila ditambah rasa takut yang menggebu-gebu. Napasnya terasa tercekik saat menoleh ke belakang. Melihat bagaimana orang asing itu berusaha mengejarnya dengan satu kaki yang diseret—terpincang-pincang. Fely merasa bersyukur melihat kondisinya, yang memungkin ia untuk mengambil jarak lebih jauh.
Akan tetapi, langkah Fely tersentak saat mendengar suara klakson motor yang begitu nyaring. Saking tiba-tibanya, gadis itu sampai tidak bisa berkutik ketika sorot lampu mengarah ke wajahnya dan sebuah motor bergerak semakin mendekat. Dalam ingatan dan detak jantung yang masih bergema sampai terdengar ke telinga, gadis itu hanya bisa memekik menyebutkan nama, “Mama!”
[]
Vote dan comment.
Sangat ditunggu untuk reaksinya.
Semoga suka dan masukin reading list juga.
[]
Aku yang masih bingung nentuin visual tokoh.
Ada saran?
16 September 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro