Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

93 • Samudra Bukan Lagi Lautan

an

halooooo, aku tahu, cerita ini udah 5 tahun lebih, dan belum selesai-selesai. tapi beneran, 8 bab lagi cerita ini selesai di bab ke 99 + 1 epilog. aku minta maaf banget, karena beberapa bulan terakhir ini ada beberapa hal yang buat aku kepikiran, hidup aku ga tenang, aku enggak bisa nulis cerita sialan ini lagi. ini kenapa jadi kayak klarifikasi?

btw karena udah mau ending, aku mau adain GIVEAWAY sampai bab terakhir. jadi mulai bab 93 sampai epilog nanti, aku akan milih 2 orang pemenang di setiap bab.

nah, cara pemenangnya ini sifatnya subjektif dari diri aku tanpa campur tangan orang lain.

1. PEMENANG, pemenang pertama, yaitu akun yang paling rame! maksudnya dia yang komentarnya banyak, heboh, lucu, masuk akal di bab itu.

kedua, komentar terbaik! satu komentar yang paling aku suka, bisa itu komentarnya lucu, kritikan buat aku, review, atau curhat sekalipun. pokoknya yang aku suka.

jadi, pada intinya kalian komentar minimal satu aja deh biar siapa tau orang ganteng kayak aku ini notice dan kalian dapet hadiah dari aku tanpa capek-capek jungkir balik atau kayang sekalipun.

2. HADIAH giveaway dari aku berupa uang jajan 50k masing-masing pemenang di SETIAP BAB, lumayan banget buat beli kuota atau basreng di tiktok atau bisa juga buat tabungan liburan ke phuket.

oh ya, pemenang di setiap bab itu 2 akun dan keduanya bisa dimenangkan oleh akun yang sama. misal dia menang di akun yang paling rame, bisa juga dia ikut menang juga di komentar terbaik, nah jadi satu orang ini bisa dapet 2 kali hadiah dari aku.

nah misalnya lagi, di bab 93 dia menang di komentar terbaik, dia boleh ikut lagi di bab 94 dan seterusnya. ga ada batas kemenangan! kalian bisa ikut terus!

nah, sebelum aku dihujat, aku tekenin ya, aku enggak punya akun fake buat menangin diri aku sendiri :"((( tolong aku ga seculas itu. dan aku ga punya temen deket atau real life aku buat aku menangin, karena mereka aja ga tau aku punya wattpad! bayangin cowok yang badannya kaya security ini yang hobinya marah-marah ternyata suka nulis sok puitis di wattpad!

pemenang akan aku umumin di bab selanjutnya, jadi stay tune sama cerita sialan ini!

kalo ada pertanyaan, tolong tanya di line ini ya! biar semuanya bisa baca hehe.

dahlah, selemat membaca dongeng beracun ini!

...

"Liat tuh perek! Makin mesra sama cowo barunya."

"Abis dari Samudra, Gemintang terus Rangga, bener-bener tuh cewek gatel."

"Kok dia enggak kapok-kapok gatelin semua cowok, sih, Cahaya?"

Yang ditanya hanya diam, menyisir rambutnya dengan jemarinya yang manis—bak seorang ratu. Samudra tatap mata itu yang melihat pemandangan di depannya—kursi di bawah pohon besar—laki-laki yang memegangi paha sang perempuan lalu bisikkan sesuatu di telinganya, beserta kacung si laki-laki yang setia menemani.

Laki-laki sialan itu berbisik di telinga si gadis—mengendus wangi rambutnya, sang gadis terlihat risih—namun apa yang bisa Samudra buat saat ia memandangi dua manusia yang saling mengasihi? Namun, Samudra tahu itu mereka tidak saling mencintai, perempuan itu tidak akan menangis jika ia mencintai bangsat di sebelahnya.

Panas menyengat menusuk hati, walau hanya seorang diri. Setelah pendalaman materi terakhir untuk ujian nasional sebelum hari tenang—hanya ini yang bisa pria ini lakukan—menunggu dan menonton Romeo bermain sepak bola sampai matahari menusuk di kulit dan anak-anak di sekolah sudah pulang sedari tadi. Betapa gemasnya Samudra yang menunggui sahabatnya yang bodoh itu bermain. Mengapa dia seperti pacarnya?

Bendera di tiang sekolah berkibar, suaranya saat di tiup angin seharusnya menenangkan hati. Namun pria bodoh ini tidak bisa menenangkan sang hati. Panasnya matahari kian menyengati, panas itu munculkan keringat yang ia tidak sukai. Ia seka keringat itu, sekali lagi. Mengamati sang gadis yang terjahili oleh sang laki-laki.

Air mata itu jatuh di pipi si gadis, meski jauh—mata pemuda itu bisa melihat kilauannya.

"Minum, Samudra." Sodor sang kekasih, tersenyum kala ia berikan botol minuman air mineral.

"Makasih, Ya."

Cahaya tersenyum, manis sekali. Kemudian ia sandarkan pipinya di bahu sang kekasih.

"Perasaan gua yang main bola." Iri. "Jadi mau punya pacar," ejek Romeo.

"Lah makanya tuh si Ratna, ditembak!" Salma menimpali Romeo.

"Ga jelas lo!"

"Semua sekolah kayaknya tahu lo gantungin anak orang!"

Romeo dan Salma berkelahi. Samudra mengembalikan botol air pemberian sang kekasih. Tidak mempedulikan dua orang yang berkelahi. Ia jauhkan kepala Cahaya yang ada di bahunya.

Bangkit, berjalan dengan kaki yang tertatih menuju tiga pengecut yang menyakiti hati. Dua laki-laki yang duduk bersama satelit—mengelilingi satelit—menyakiti satelit.

"Kamu mau kemana, Dra?"

...

"Ayo, main!"

"Duel?"

"Bisa jadi."

"Kaki lo kan pincang!"

"Kaki kanan gua enggak."

"Kalah, push up?"

Datar, layaknya Samudra. "Nurutin apapun kata yang menang."

"Kayak bukan lo, pak ketu." Rangga tersenyum.

"Emang iya?" Tatapan itu menuju gadis di sebelah bajingan di depannya. Matanya itu terlihat menyedihkan, ia tidak tega, bagaimana bisa Bulan memacari laki-laki sialan ini?!

Samudra tahu ada sesuatu yang terjadi, dan tak akan ia biarkan hal ini. Meski sang kaki mulai bisa menyembuhkan diri sendiri, meski rasa nyeri itu masih di kaki—meski rasa nyeri itu mengakar di hati. Tidak akan ia biarkan Bulan dilecehkan oleh sialan satu ini.

Romeo datang berlari mengahampiri. "Ada apaan nih?"

"Temen lo ngajak gua tanding," ucap Rangga.

"Samudra? Lu enggak liat kaki lu pincang?!" Matanya tajam.

"Aman."

"Gigimu."

...

Dua lawan dua. Romeo yang andal bermain sepakbola pun berlari ke sana ke mari mengoper dan menendang bola ke arah teman satu tim nya—Samudra. Romeo andal, Samudra pun begitu namun kakinya yang masih dalam penyembuhan membuat larinya tak terampil dan tendangannya selalu menepi.

Makan ia jadikan dirinya samsak di depan gawang, ia jaga gawang itu bagaikan anaknya sendiri. Seorang ayah demi menjaga gadis kecilnya. Meski sakit rasa yang harus ia tahan. Ia tetap menghalau bola itu mengenai badan dan kakinya.

"Lu sakit enggak, Samudra?"

Ia jawab pertanyaan itu dengan acungan jempolnya. Permainan kembali. Rangga mengoper pada Mario, laki-laki itu menggiring bola dari sayap kiri dengan cepat, dibohonginya Romeo dengan teknik di kaki. Saat itu pula ia tendang ke arah gawang Samudra, ksatria itu menangkisnya dengan dada—memantul kembali ke kaki Rangga—kemudian tendangan itu lagi ke arah gawang—tepat mengenai wajah Samudra—perih, bola kotor itu mengenai wajah sang laki-laki.

Rangga terkekeh, ia mendapat hiburan selucu ini. Seharusnya seorang laki-laki malu jika bola mengenai wajah, namun Samudra lihat gadis kesepian dengan tangan di pahanya tengah mengusap air matanya yang turun. Mungkin ini yang harus dilakukan pria tolol ini, menjaga semuanya aman, meski dia yang harus tersakiti.

"Jangan kenceng-kenceng dong nendangnya!" teriakan sang kekasih dari arah lain menyoraki Rangga. Itu Aya, ia tampak kesal.

Rangga menjulurkan lidahnya ke atas, meledek. Memasang wajah jelek—padahal dia sudah jelek.

Bola itu bergulir lagi. Romeo mengendalikan permainan, ia berlari dengan cantik melewati Rangga dan Mario, telat dekat gawang ia tendang itu ke arah lawan—lalu cetakkan gol pertama. Romeo berlari menuju Samudra karna ia tahu laki-laki itu pincang—bahkan butuh kursi roda kalau perlu.

"Ini kenapa enggak ada yang ngundang gua masuk tim nasional, sih?" Pertanyaan ini muncul setelah mereka berpelukan—seperti di televisi. "Kan, kalau gua masuk tim nasional pasti banyak cewek yang suka sama gua."

"Niat lu aja udah jelek, kambing."

"Ya, kan, namanya juga usaha."

Sudah hampir lima belas menit, dan baru satu gol yang tercetak membuat Rangga dan kawanannya marah. Samudra tahu laki-laki tolol seperti mereka tidak suka kata kalah di hidupnya—itu sama saja merendahkan martabat mereka.

Maka kini mereka benar-benar bermain kotor, saat di depan gawang Samudra—mereka terang-terangan mendorong Samudra atau bahkan menyandung kakinya yang terluka. Namun Samudra tahan demi membela seseorang. Ia relakan tubuh dan kakinya tersakiti, ia biarkan dirinya menjadi samsak orang lain hanya demi membela seseorang yang selalu menyakiti sang hati—atau mungkin sang hati yang menyakitinya.

Tembok pertahanan itu tidak pernah terjebol meski tendangan seribu tahun, matahari yang menyengati tidak pernah mencairkan hatinya—teriakan sang hati yang mengkhawatirkannya mengalun di udara yang panas.

"Woi! Jangan kasar-kasar mainnya!" teriak sang pujaan hati kala laki-lakinya memegangi kaki yang tertendang.

"Jablay lu noh berisik."

Samudra yang mendengar itu bangkit. Ia taruh bola di kakinya lalu tendangkan ke wajah sialan ity.

"Cantik sih, tapi masih bohay jablay gu—" terkejut. "Berengsek! Lo nendang muka gua?! Maksud lo apaan?!" Ia berjalan maju, memegangi kerah baju Samudra.

"Harusnya gua yang tanya, maksud lo apa ngomong jablay?"

"Emang jablay bukan?"

Satu pukulan melayang di pipinya. Mengapa laki-laki ini tidak pernah merasa puas dengan semua pukulan yang ada di wajah sialannya itu?!

Cahaya, Shania dan Audrey berteriak dari pinggir lapangan, mereka berjalan ke depan gawang Samudra. "Apa-apaan sih?!"

Bulan ada di sana, namun ia tetap berdiri di tempatnya.

"Jaga mulut sialan lo itu!"

"Sialan! Cewek lo emang jablay!"

Shania dan Jesika yang sudah mendekat dan mendengar itu tidak terima, maka mereka berdua yang sekarang mendorong Rangga.

"Maksud lo apa?!" Shania tidak diam.

"Lo semua jablay!"

Shania menampar Rangga. Sekali lagi ia tampar pipi itu.

"Jablay."

Satu tamparan lagi. Berbunyi di telinga.

"Kalo kita jablay, cewek lo apa? Perek?!"

Rangga terkekeh. Ia tertawa senang. Siapa?" Dia berpikir. "Oh ... maksud lo Bulan?" Ia teriakkan nama itu, memanggil perempuan yang disebut namanya.

Perempuan itu datang mendekat. Ke arah Rangga. "Maksud lo dia?" Ia rangkul gadis itu. "Dia emang perek gua."

Samudra lihat mata gadis itu berair, ada yang ia tahan, ketakutan. Bulan tangisi dirinya sendiri bersebelahan dengan setan yang tiba-tiba mengendus bau rambutnya. Geram, sang kekasih—Cahaya mengenggam tangannya—memastikan segalanya baik-baik saja.

Namun tidak ada yang pernah baik-baik saja.

"Lo pengecut tau, enggak?"

"Atas dasar apa?"

Samudra memandang sinis. "Lo cuman berani sama perempuan."

"Lo iri sama gua?" Mario mengoceh. "Gua pacaran sama orang yang disukain lo sama adek tolol lo itu?"

"Kasihan gua sama lo."

Romeo bersuara. "Omong-omong Samudra menang, telatin janji lo."

"Lo mau apa sih emang Pak Ketua?" Mario meledek. "Jangan bilang lo mau perek gua?" Sambil ia ciumi rambutnya. "'Kan lo udah punya."

Samudra maju ingin meninju wajah itu sekali lagi, namun kini Aya ada di depannya lebih dulu, menampar bibir sialan itu. Menamparnya lagi dan lagi. Kali ini Aya menangis, kedua sahabatnya—Shania dan Audrey ikut mendorong dan menampar Rangga, Shania yang atlet bela diri dengan mudah membuatnya jatuh—namun sebagaimana perempuan—Tuhan menciptakan laki-laki memiliki kekuatan jauh lebih besar. Namun mengapa kekuatan itu digunakan untuk menyakiti perempuan?

Ia dorong Shania sampai terjatuh dan terluka.

"Lo enggak punya hak untuk ngatain kita pelacur, Rang." Aya menangis. "Lo tahu lo sampah, lo nggak bisa ngendaliin orang semau lo seperti ayah lo yang di pemerintahan itu. Lo enggak berbakat seperti ayah lo, lo ditakdirin buat jadi bawahan terus Rang." Menusuk di hati. "Gua tau dia ngebully lo di rumah, mana anaknya yang bisa ngendaliin orang lain?

"Yang lo bisa cuman ngatain orang pelacur.

"Gua yakin semua isi yang ada di otak lo cuman selangkangan, makanya ayah lo yang duduk di pemerintahan itu kecewa punya anak tolol kayak lo."

Tangan itu melayang tepat di pipi sang gadis. Rangga tunjuk wajah itu dengan jemarinya, panas menyakiti hati, suara burung tidak pernah terdengar lagi karenanya.

"Emang lo siapa tau kehidupan gua, hah?!

"Lo cuman perek yang berharap cinta sama cowok lo itu!

"Udah berapa lama lu di pake sama cowok lo?!"

Satu pukulan di hati, Samudra menerjang bajingan di depannya. Ia buat mereka berguling di lapangan, Samudra pukul wajah itu sekali lagi saat di atas menahan tubuh pria tolol ini. Ia pukuli sekali lagi.

Namun Mario menarik Samudra yang menindihi Rangga, Mario dorong Samudra hingga terjatuh.

"Bulan, tolongin gua!"

Bulan membantu Rangga berdiri. Ia merangkul sang gadis.

"Enggak nyangka ternyata lo udah sebar-bar ini, Pak.

"Lo urus pekcun lo sendiri, gua urus pekcun gua sendiri."

Samudra memandang, cahaya matahari memantulkan wajah sialan itu, ia rangkul sang gadis yang bersedih, tangannya ada di payudaranya, memegangi. Rembulan mempengaruhi pasang surut air laut ketika malam hari, ia biarkan nelayan berlayar ketika malam tiba.

Saat itu juga, detik itu juga, Samudra terjang kembali. Ia tonjoki wajah itu terus menerus sampai mati.

Mario datang menendang tubuh sang pangeran, saat Samudra tersungkur ia tendangi badannya, Romeo tidak tinggal diam—dia terjang Mario dan memeluknya hingga jatuh bersamaan.

Rangga yang sudah bangkit, menyeka hidungnya yang mengeluarkan darah, saat itu juga ia menyerang Samudra yang masih kesakitan. Ia tindih Samudra, ia pukuli wajahnya.

Empat perempuan yang ada di sana hanya berteriak, Audrey berlari mencari bantuan.

"Lihat cewek lo, kasian dia lo masih mikirin cewek lain."

"Bukan urusan lo!"

Rangga tertawa, ia mengarahkan wajah Samudra untuk melihat Cahaya dan Bulan secara bergantian. Ia lihat Bulan, yang wajahnya akhir-akhir terlihat lebih menyedihkan. Lalu ia lihat sang kekasih yang membawa sapu lidi sekolah tanpa diketahui Rangga.

"Jadi lo pilih siapa? Pilih pacar lo atau pacar gua?" katanya. "Eh bukan, maksudnya perek lo atau perek gu—"

Cahaya memukul wajah Rangga dengan sapu lidi milik penjaga kantin.

...

a.n

oke, ini kepanjangan. dahlah.

salam,

cowok stres

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro