92 • Gemintang Itu Selalu Menangis Sendirian
Gemintang itu berarti kumpulan bintang di langit, kumpulan bintang yang akan mengeluarkan sinar terang bagi orang yang melihatnya, dan kumpulan cahaya terang bagi orang-orang yang tidak memiliki pilihan hiburan. Namun lihat sekarang, laki-laki pemilik nama itu bahkan tidak dilihat bundanya sendiri. Menyedihkan sekali.
"Sekarang kamu lihat? Memang dia peduli sama kamu?! Lihat sekarang dia megang tangan siapa? Tangan sialan kamu itu?!" cibiran dari bibir hitam sang ayah.
Ia lihat tangan bunda mengenggam tangan kekasihnya yang telah memukuli Gemintang. Laki-laki itu terlihat menyedihkan bahkan bagi pluto yang tidak pernah dianggap. Harusnya ia sadar kali ini jua, dia cuman anak laki-laki yang tidak diinginkan, tidak menjadi prioritas bagi siapapun—bahkan bagi wanita yang melahirkannya.
"Bunda?" panggilnya sekali lagi, meski perih di wajah tidak terobati.
Ayah terkekeh, menang telak setelah meninju Gemintang serta Bunda yang selalu berada dipihaknya.
"Ini ayah kamu, Tang. Kamu harus minta maaf."
Gemintang masih beneran enggak mengerti, memangnya dia bocah tolol tujuh tahun? Gemintang tolol karena tidak menutup mata pada sang ayah? Haruskah Gemintang biarkan ia berselingkuh di hadapan bunda? Haruskan Gemintang hanya menonton saja kala ayah memaki dan memukuli bunda setiap hari? Iya, seharusnya Gemintang tutup mata, harusnya ia biarkan saja seperti semestinya bak anjing yang selalu setia pada majikannya meski berulang kali dihardik dengan kayu.
Gemintang rendahkan harga dirinya kali ini hanya untuk bundanya, orang yang selalu ia cinta—meski cinta itu selalu bertepuk sebelah tangan. Badut di pesta ulangtahun bahkan tidak akan semenyedihkan ini. "Sekali saja, Bunda, kali ini saja, Bun. Gemintang mohon," pintanya.
"Ini bukan di sisi siapa atau siapa. Ini ayah kamu, Gemintang."
"Bahkan sampai pundak bunda membiru atau bahkan sampai mata Gemintang menghitam, Bunda masih belain laki-laki sialan ini?!"
"Ini ayah kamu, Gemintang!"
Gemintang bangkit—berdiri—menarik lengannya yang sedari tadi tertahan oleh Samudra—abangnya yang bodoh—yang selalu di sampingnya, bahkan bila dirinya dilempari kotoran oleh semua orang. Gemintang yakin sekali jika laki-laki tolol itu pasti tetap akan di sebelahnya—menemaninya—meski rasanya Gemintang akan memukuli wajah tenang seperti lautan itu. Gemintang menuju bundanya, mencoba mencari jawaban.
"Seorang anak enggak seharusnya mukulin ayahnya." Bunda masih terus membela sang kekasih.
"Lalu seorang suami boleh memukuli istrinya?" Menatap mata itu lekat. "Atau seorang ayah berhak meninju rahang anaknya berkali-kali?" Ia tunjukkan gelap di wajahnya, ia tunjukki itu tepat di mata wanita cantik di depannya yang begitu menyedihkan, mencari jawaban yang pria ini inginkan. "Dia lakuin ini sama Gemintang, Bunda!
"Bunda bisa lihat, 'kan?!
"Bunda sekali ini aja lihat Gemintang," menangis, sekali lagi najis.
Namun jawaban yang Gemintang cari tidak kunjung ia dapatkan, hanya air mata yang turun melewati bibir yang perih.
Air mata itu turun juga dari mata wanita di hadapannya, tidak bisa berkata—yang hanya ada bibir yang menganga—tidak bisa berkata apa-apa. Bahkan rasanya hujan bisa terdengar dari luar, namun tidak bisa mendinginkan perasaan.
Ia benci Ayah yang selalu manyakiti Bunda, ia benci Samudra yang selalu disayangi Bunda, ia benci Bunda karena tidak pernah menyayanginya dan ia benci Gemintang karena begitu bodoh percaya bahwa suatu saat nanti ia akan dapat rasa yang ia cari itu.
Pria itu cekikikan. "Kamu bodoh, Tang, kalau masih berharap ada seseorang di sisi kamu.
"Kamu tahu karena apa? Karena kamu enggak berguna. Ayah harus bilang ini karena itu benar, semua orang di sini benci sama kamu. Tapi kamu tahu apa? Ayah tetap peduli sama kamu, ayah banting tulang, ayah kerja, ayah lindungin kamu dari guru-guru sialan kamu itu!
"Dan satu lagi, ayah enggak pernah ninggalin kamu meski kamu buat banyak masalah, meski kamu bunuh orang sekalipun! Enggak seperti bunda kamu yang kamu sayang itu.
"Dia cuman wanita tolol yang lahirin kamu," cengirnya. Mata itu menusuk hati.
Gemintang menatap lekat mata itu, ia tatap mata sialan itu hingga petir mengilatkan pandangan, sampai satu pukulan bersarang di sana. Pria itu terjatuh lagi di lantai.
"JANGAN PERNAH BILANG BUNDA TOLOL KAYA AYAH!"
"GEMINTANG!" Bunda berteriak. "JANGAN KURANG AJAR!"
Ia tuju pujaannya, membantunya berdiri. Tidak seperti kala Gemintang terjatuh, wanita itu tidak pernah langsung berlari ke arahnya—sekalipun. Tahi kucing.
Ternyata benar, rasa sayang ini tidak ada gunanya.
...
Ia tangisi dirinya di jalanan gelap bersama motor hitam kesayangannya. Ia lawan angin malam yang menerjang dirinya, bahkan ia tidak peduli pada dirinya sendiri meski dia dan motornya terbang menabrak pembatas jalan.
Ia sampai di rumah kontrakannya yang sudah dibasahi hujan, basah juga kaos hitam yang ia kenakan, namun hatinya terlalu panas untuk menyadari bahwa hujan dan malam kali ini begitu cantik bagi seseorang.
Itu bocah kecil kematian. Bintang. Ada di balkon rumahnya. Wajahnya asam. Namun Gemintang tidak peduli. Ia melengos masuk ke dalam rumahnya. Mengunci pintu agar tidak ada yang masuk. Agar tidak ada yang tahu bahwa keringat sialan keluar dari matanya.
Namun suara ketukan di pintu dan hujan menerpa gendang telinga, di tambah suara cempreng di baliknya.
"Abang Tatang!"
Ketukan pintu.
"Abang Tatang!"
Pria kesepian itu masih meringkuk di ranjangnya yang hangat—yang selalu bisa menemaninya, ia basahi bantal dengan air mata lemahnya itu. Sialan sekali air mata ini. Bisa tidak sih mata tolol ini berhenti menangis?! Memangnya kalau dia menangis dunia akan sayang pada dirinya? Bunda akan peduli dengannya? Cih, najis.
Tapi ksatria ini tetap menangis, ia tangisi sendiri hidupnya yang menyedihkan. Ia tidak bisa menahan seluruh keringat yang terjatuh dari matanya, ia seka air mata itu—meski semakin ia seka semakin tangis itu membesar.
Mengapa tangis itu tidak ingin berhenti? Mengapa orang yang ia cinta menyakitinya? Gemintang cuman mau bertanya, mengapa Bunda tidak peduli dengannya?
"Abang Tatang!"
Ketukan di pintu.
"Abang Tatang!"
Ia seka air mata itu.
"BUKA PINTUNYA!"
Suara rintik hujan dan dobrakan pintu kayu.
"Lu ngapain sih, anak kecil?!"
Tidak bicara. Mukanya beneran kecut. Apa Gemintang colok saja matanya?
Gemintang tidak peduli, ia kembali tutup pintunya, namun bocah laki-laki itu menahan dengan tangan—terjepit.
"Aduh!"
"Nah!"
"Sakit."
Ia tiupi jari kelingking itu.
"Abang Tatang nangis?"
"Kata siapa?"
"Itu basah." Tunjuknya di mata.
"Ini air hujan."
"Tapi kok suaranya kaya orang nangis?"
"Mana ada."
"Cemen banget, katanya cowok enggak boleh nangis?"
"Gua gak nangis!" Kesal.
"Udah gede enggak boleh bohong."
"Dasar, bocah!"
Lalu kemudian ia tutup pintu itu, tangisannya berhenti, hujan ikut berhenti menangisi laki-laki ini.
Bocah kecil yang masih di luar, kembali mendobrak pintu kayu itu. Tidak ada tenaga. Gemintang biarkan itu, ia tinggalkan pintu yang ingin didobrak dan kali ini sang hati ingin makan mi rebus yang hangat. Namun suara itu menghentikan.
"Abang Tatang curang punya mamah!"
Ia buka pintu itu, menatap Bintang.
"Kata siapa aku punya mamah?"
Hujan itu kembali turun, membasahi hati dan perasaan. Anak kecil itu tidak tahu apa-apa.
"Kata siapa aku punya mamah?" tanyanya menyedihkan. "Aku enggak pernah punya mamah."
...
a.n
cinta itu buta, kamu bahkan rela nyakitin orang yang sayang sama kamu demi cinta tolol kamu itu.
salam,
laki-laki menyedihkan yang selalu mengejar cinta sepihaknya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro