91 • Bulan Salah Jika Ia Hanyalah Satelit
"Kenapa Abang Tatang enggak pernah kelihatan lagi?"
"Dia harus pulang ke rumahnya."
"Rumahnya, 'kan di sebelah."
"Maksud aku pulang ke rumah ayah sama mamahnya."
"Abang Tatang masih punya mamah?"
Perempuan itu mengangguk, berusaha tersenyum. Mencoba memandangi langit—mencoba mencari bintang di langit—mencoba mencair kembali pada ksatrianya.
"Kok Abang Tatang enggak cerita ya kalau dia masih punya mamah?" Cowok kecil itu tiba-tiba ngambek. "Curang!"
"Kenapa?" tanyanya.
"Soalnya aku enggak punya."
"Tapi kamu masih punya aku, kan?" Getir. Bulan mencoba merasakan manis dari sang adik, namun kepedihan itu terus berada di bibir murahannya.
"Kakak galak." Gerakan tangannya mengatakan bahwa kakak galak banget.
"Emang iya?"
"Mending Bang Tatang tau, dia beliin aku baso terus," celotehnya tanpa rasa bersalah.
Harusnya Bulan jawab kalau dia tidak akan memasakkan mi goreng kesukaannya, harusnya Bulan jawab saja ia tidak akan menemani bermain petak umpet lagi, dan harusnya Bulan katakan saja jika dia tidak mau lagi mengantar adiknya ke sekolah—dan Bintang kemudian merengek padanya—semua yang harus ia katakan seharusnya menjadi sebuah dialog lucu yang selalu menghibur hati kecilnya. Karena seharusnya memang itu—karena memang Bulan sayang bintang kecilnya.
Namun yang sekarang dia lakukan malah kembali menatap langit, tidak mengizinkan matanya melihat laki-laki kecil itu. Deru kendaraan terdengar silih berganti—menemani malam dengan polutan di udara kota. Rembulan mencoba menikmati pahitnya. Perempuan itu tiba-tiba menangis kembali karena rasa bibir sialan itu. Semua ciuman terasa terus berada di bibir murahannya, ia tidak tahan. Maka satu tetes berada di pipinya—lagi.
"Jangan bahas Bang Gemintang lagi."
"Kenapa?" tanyanya dengan sedikit suara.
"Dia jahat. Jauhin dia."
Gerakan tangan tidak mengerti. "Kakak enggak suka aku bilang gitu?"
"Dia jahat, Bintang," tegasnya.
"Jahat kenapa?" Masih mengotot.
"Karena dia jahat. Kamu tahu arti kata jahat, 'kan?
"Iya. Tapi kenapa? Jahat itu, 'kan kalau misal ada yang ngatain aku tuli.
Bang Tatang baik. Dia ajarin aku naik sepeda." Masih kekeh dengan pertanyaannya.
Bisa tidak sih anak ini mengiyakan saja. Bulan lelah. Ia keluarkan seluruh emosi di dalamnya. "Pokoknya dia jahat! Kamu paham, enggak, sih? Kamu bisa denger kakak, enggak, sih?!" Berteriak. Amarah yang tidak diperlukan.
"Aku enggak bisa dengar, kakak tau itu, 'kan?" Sedih.
Maka tembakan kembang api mengenai hati. Terdengar meski ada di atas langit. Entah siapa yang menyalakan petasan malam ini, namun suara dan keindahannya memandangi gadis yang tidak hanya murahan. Satu gadis yang bukan cuman pengkhianat. Ia juga jahat, bahkan untuk hati yang tidak pernah menyakiti.
Ia rengkuh sang ksatria kecil, meneteskan air mata di pundak ksatrianya. Memeluknya, angin itu berada di sekitar leher, menjaga agar tetap hangat—dari malam yang sedih dan tembakan kembang api.
"Berhenti mikirin Gemintang, ya."
"Abang Tatang?"
"Iya."
"Kenapa?"
Karena bulan harus menjaga seluruh bintangnya. Karena bulan tidak ingin melihat bintang itu menangis sendirian. Karena bulan menyanyangi rasi bintang kali ini.
...
"Anggep gua Gemintang."
Gadis itu menggeleng.
"Dia mukulin Nata sampai masuk rumah sakit. Masih mending ayah gua enggak keluarin dia sebelum ujian nasional," sambungnya. "Sekarang gua jadi pacar lo.
"Makanya anggep aja gua Gemintang," tegasnya. "Baik, 'kan gua? Gua tetap menghargai cowok lo yang goblok itu."
Rangga merendahkan gadis di hadapannya. Yang direndahkan tidak bisa apa-apa. Gemetar. Ia berjanji ia akan berani pada siapapun bahkan dengan Cahaya sekali pun. Namun kali ini, ciuman itu melenyapkan segalanya.
Bulan, gadis tolol ini sekarang jadi pacar bajingan yang menyakiti orang yang ia sayang. Cih, murahan sekali.
...
"Sumpah, itu orang beneran murahan banget."
"Abis dari Samudra, Gemintang, sekarang Rangga."
"Semua cowok kaya dipacarin semua."
"Udah mau ujian nasional, masih gatel aja."
"Dasar Perek."
Genggaman tangan itu membuat makian semakin menjadi. Semua umpatan murahan itu sudah terbiasa bagi gadis ini. Ia sudah tidak peduli lagi. Maka saat dirinya berjalan di lorong sekolah dengan Rangga yang menggenggam tangannya, ia hanya perlu berdoa pada langit—turunkan meteor di bumi—bakar mulut-mulut sialan mereka dengan kobarannya.
Aya dan teman-temannya ada di sana, mereka bersorak memaki—kecuali Aya tentunya—ia lihat tangan itu berpegangan erat pada laki-laki di sebelahnya—seperti cerita cinta di buku perpustakaan nasional—Samudra. Bulan tidak memandangi mereka, tidak peduli lagi pada mereka.
Namun ada satu bintang yang kali ini ia pedulikan, satu bintang yang membuat semua ciuman yang menyakiti hatinya tidak terasa perih kemudian bila memikirkannya, satu bintang yang ingin menjadi astronot di luar angkasa.
Gemintang menatapnya lekat, memberi tatapan menyakitkan. Gadis itu akan tahu apa yang laki-laki itu akan lakukan. Gadis itu tahu saat sang pria berlari—ingin menerjang laki-laki di sebelahnya.
"Woi Gemintang!" Rangga tersenyum menunjukkan tangannya yang mengenggam tangan Bulan. Ia tersenyum menunjukkan bahwa dia menang. Ia tunjukkan kemenangannya di antara banyaknya riuh nan gaduh lorong sekolah.
Tetapi satu pukulan itu mengenai pipi, kulit dan hati. Satu pukulan itu mendarat tepat di kepala si babi. Satu pukulan yang akan dibalas dengan sakit hati.
"Gemintang! Kamu gila!"
Mata elang itu ingin memukuli sekali lagi. "ANJING!"
"Gemintang!"
Gadis itu tarik lengan sang pria, ia tatap lekat mata elang dan hirup aroma sabun cuci lavender di seragamnya. Saat itu juga ia tampar pipi tidak bersalah itu.
Satu tamparan di pipi ksatria yang membelanya. Hatinya perih. Namun ini untuk sang ksatrianya. Hanya ini yang bisa putri itu lakukan untuk menyelamatkan pangerannya, ia korbankan ini semua hanya untuk pangeran. Sekarang sang putri yang harus selamatkan pangerannya.
Satu tamparan yang menyakitkan hati.
"Kuda Nil?"
...
a.n
siapa yang bisa tebak endingnya akan kayak apa?
aku kasih goceng yang bisa tebak. (yeee aku juga punya segitu, bang/ditabok tim gemintang)
percayalah kalau kalian baca ini ngeluarin air mata, yang nulis udah berdarah-darah.
salam,
pemandang lautan di ujung jawa
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro