85 • Bulan Ingat Betapa Gelapnya Angkasa
Bulan hanya perlu bertahan selama tiga bulan di gelapnya gugusan semesta, tidak pernah ada kilauan sinar terang di sana, tidak pernah ada kata-kata indah bak sebutan benda-benda angkasa.
Setiap kali bulan bersinar, matahari seperti enggan memberi kesempatan. Dia tidak pernah membiarkan dirinya bersinar sendirian, dia selalu meredupkan sinar itu, selalu menghalangi sinar rembulan di sebelahnya. Mengapa harus begitu?! Sialan sekali matahari!
Dia hanya ingin lulus, mencari pekerjaan yang layak setelahnya, demi adiknya, demi mamah, dan demi dirinya sendiri. Mengapa rasanya bertahan sesulit ini?
Rasa peduli itu juga tidak pernah hilang, ia melihat laki-laki yang pernah menjadi ksatria berkudanya kesulitan, sapu yang ia gunakan sulit menjangkau bagian-bagian bawah meja kelas karena kakinya yang kesakitan. Maka Bulan bantu dorong meja-meja agar Samudra dapat membersihkan lantai kotor yang tidak pernah terjamah oleh siapapun kecuali Samudra dan Bulan, mungkin juga Romeo.
"Terimakasih," katanya.
"Sama-sama."
"Gemintang lagi main bola di lapangan."
Bulan tidak peduli.
"Aya udah pulang daritadi. Dia ikut rapat ayahnya."
Sekali lagi Bulan enggak pernah peduli. Lagi.
"Aku kasih tau ini, karena aku tau kamu sayang sama mereka."
Pantulan sinar matahari di papan tulis membuat matanya sakit. Suara dedaunan jatuh sepulang sekolah adalah yang paling indah. Romeo datang sembari berteriak dan membawa es teh kesukaannya.
Panas. Lehernya berkeringat, mengipasi dengan buku yang ada. Es teh dari Romeo sudah habis, menyisakan es batu di gelasnya. Mereka bertiga duduk di depan kelas. Diam, memandangi awan yang bergerak dari balkon tempatnya.
"Kalo kamu lulus nanti, kamu mau kemana?"
Pergi yang jauh. Mencari uang. Bahagia. Namun Bulan tidak mengatakan itu pada Samudra di sebelahnya ataupun Romeo yang duduk di depan sembari bermain gawai.
"Kamu tau? Aku bakalan pergi jauh. Cari rumah yang aku mau." Samudra memberitahunya.
Sama. Itu kemiripannya. Tujuan akhirnya hanya ingin lulus. Itu saja. Bulan tidak pernah meminta lebih untuk kali ini. Ia sadar, setiap kali dirinya meminta lebih, bumi selalu menyakiti hatinya.
Romeo mencibir. "Rumah lu 'kan gede. Enak. Nyaman."
"Enggak sama isinya."
"Enak kok, gua makan tahu krispi 'kan di rumah lu."
Setelahnya dua cowok itu berkelahi.
Bulan sudah tidak ada tenaga, biarkan ia dicibir oleh semua orang di sekolah, biarkan ia sendiri berbicara dengan kotak bekalnya, dia tidak bisa melawan lagi, bukan hanya pada Cahaya—juga pada seluruh benda di langit. Namun rasa pedih itu selalu muncul kala Rangga dan yang lainnya datang, mereka tertawa—tanpa beban di hati mereka. Bulan benci melihat mereka tertawa—bahagia.
"Eh, ada Samudra sama Rembulan tercinta." Rangga menggoda. Disusul tawa Nata kemudian. Mereka datang sambil berkeringat.
Bulan beneran hanya diam. Tidak bisa berkata apa-apa. Semua bayangan menyedihkan itu melintasi pikirannya. Tangan bajingan itu di bagian privasinya, suara napas itu terngiang di telinga, dan matanya—menatap Bulan—tersenyum—menggoda—menjahili. Gadis itu sesak napas, air mata menetes tiba-tiba di matanya.
"Kita pulang dulu ya, Bapak ketua, Romeo!" sambungnya, "aku pulang ya, Kuda Nil!"
Oksigen hilang begitu saja, Bulan enggak bisa bernapas secara normal, detik itu juga debu menyakiti mata dan hati, Samudra dan Romeo melihat itu.
"Lo oke, Lan?" Romeo bertanya.
Bulan berdiri, mengambil tasnya, mau pulang. Dia keluar dari kelas, Samudra berdiri di depan kelas. Gadis itu menunduk, tidak ingin menunjukan air matanya pada laki-laki tolol ini. Ia menabrak dada bidang laki-laki di depannya, tidak ada perlawanan dari sang pria.
a.n
enggak nyangka 15 bab lagi, cerita ini selesai. udah pernah aku bilang di sinopsis, ini bukan cerita itik buruk rupa yang terbang jadi angsa putih demi sang pangeran. aku juga udah pernah bilang untuk kalian jangan lanjut baca ke bab-bab berikutnya.
jadi jangan pernah salahin aku atas semua kalo kalian ikutan jadi jahat di cerita ini.
salam,
anak laki-laki yang mau jadi astronot
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro