84 • Samudra Memendam Bangkai Kapal di Palung Hatinya
Rumahnya seringkali panas, lebih panas dari kobaran api di ujung bumi. Ini bukan api pertama, api itu selalu ada setiap malam—di malam-malam yang selalu menyedihkan. Dia benci pulang—ke rumah—di mana tempat ia tidak bisa padamkan kobarannya.
Bunda tolol karena suka sama laki-laki bajingan seperti ayah, bunda tolol karena rela harga dirinya diinjak oleh laki-laki yang bahkan engga cinta sama dia, tapi Samudra lebih tolol karena dia tidak bisa benci dengan wanita itu—Samudra tolol karena selalu membela bunda meski wanita itu tidak pernah berpihak padanya—dan Samudra beneran tolol karena berusaha menjadi anak yang selalu diinginkan dua orang yang sama tololnya—hanya agar mereka tidak berkelahi. Sudah jelas otak cowok itu ada di ketiak.
Harusnya ia biarkan saja mereka berkelahi sampai mampus, harusnya ia biarkan saja ayah memukuli bunda, dan harusnya ia biarkan saja dirinya sendiri mati tenggelam di lautan.
Tapi apa yang lautan lakukan? Dia terus berusaha menjadi baik bagi mereka, berusaha memendam semua oksigen di hatinya, berusaha untuk tetap bernapas hanya demi menyelematkan para nelayan penghacur hatinya.
"Udah pernah saya bilang, kalau masak tuh dicobain dulu asin atau enggak!" Hanya perkara asin.
Terdengar suara kompor yang sedang menyala, karena perempuan bodoh itu langsung pergi ke dapur dan memasak ulang masakan untuk kekasihnya. Bunda beneran biarkan ombak itu menyerang karang di hatinya, tanpa perlawanan.
"Kamu tau ga sih?! Istri-istri temen aku tuh jago masak! Mereka cantik saat suaminya pulang, enggak kayak kamu.
"Ini salah satu dari banyaknya alasan, aku enggak betah di rumah.
"Ini salah satu dari banyaknya alasan, seharusnya aku enggak nikahin kamu."
Samudra kesakitan, remuk di kaki seperti tidak ada apa-apa dibandingkan remuk di tulang rusuknya. Dia duduk di meja makan, mendengarkan ocehan ayahnya—menahan agar tidak memukuli bibirnya sampai berdarah. Dia melihat ayam goreng yang ayah bilang asin tiada tara hingga seisi dunia berhak tahu kalau ayam goreng itu beneran asin.
Laki-laki itu mengambil nasi, letakkan di piring, kemudian ayam goreng, sayur oyong dan sambal merah. Bukankah ini enak? Bukankah semua makanan ini dapat masuk tertelan di kerongkongan?
Samudra menyuap demi suapan makanan masakan bunda di ke mulutnya, memang asin, Samudra akui itu. Namun bukan berarti ayahnya berhak mencaci maki bundanya. Bahkan dia tidak berhak atas cinta dari bunda.
Sang wanita datang membawa kembali sepiring ayam goreng, sang laki-laki masih tampak tak senang.
Tanganya terlipat di dada, mencibir. "Lihat anak kamu tuh, makan makanan asin dari kamu. Pantes goblok-goblok kayak mamahnya."
Samudra menatap pria di depannya, bahkan Samudra tidak ingin menganggapnya seorang pria.
"Samudra, makan yang baru aja, sayang. Yang itu asin."
Bunda mengambil ayam goreng di piring Samudra, menukarnya dengan yang baru. Bunda masih terlihat tersenyum, cih. Lihat perempuan itu masih saja buta dengan cintanya! Tahi kucing!
Kekeh laki-laki itu lagi.
Gemintang belum pulang juga. Sudah saatnya ayah akan mengoceh lagi. Pasti. Seperti setiap malam. Seperti malam-malam lainnya. Seperti dirinya pulang setiap malam saja. Mengapa dia tidak mengaca ya?
"Anak kamu yang satu lagi kemaren udah pulang, sekarang kok ga pulang lagi?"
"Aku akan hubungin dia, Yah." Bunda mengecek gawainya, mencari nomor Gemintang. Menuruti semua keinginan ayah.
"Haduh lagi-lagi pasti buat masalah, sama kayak bundanya."
"Maaf, Yah." Suara wanita itu.
"Iya, saya 'kan emang selalu maafin kamu."
Samudra jadi tidak tahu, apakah bunda mengkhawatirkan Gemintang dan mencarinya saat ia tidak pulang dan pergi kemarin karena dia memang sayang dengan Gemintang. Atau hanya menuruti keinginan cinta butanya.
Lautan itu enggak pernah tahu, seluruh nelayan dan ikan serta para pujangga memang peduli dengan dirinya, atau hanya membutuhkan lautan dengan seluruh kehidupan yang dia berikan.
Lautan enggak pernah tahu, seberapa dalam ia dapat memendam bangkai kapal di hatinya.
...
a.n
udah empat bulan beneran enggak kerasa, dan baru mulai udah banyak kata umpatan di narasi hiperbola saya. astaga, maaf ya, tapi cerita ini memang harus begitu.
dan maafin saya lagi, harusnya kalian enggak perlu percaya sama catetan saya terakhir yang bilang saya enggak seharusnya jadi orang mager, karena semua itu emang cuman janji-janji manis laki-laki. tapi enggak semua laki-laki kayak gitu, contohnya penulis satu ini.
salam,
lautan yang menunggu cintanya datang melihat matahari terbenam
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro