Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

82 • Bulan Mulai Lelah Dengan Sinarnya Sendiri

Gadis itu turun dari jok motor besar milik pangeran seantero sekolah, ia berikan kasar helm itu pada Gemintang. Tatapan iri, dengki dan hinaan sudah biasa ia lihat setiap pagi sekarang. Lagipula siapa yang tidak iri melihat pagar yang suka makan tanaman ini diantar oleh pemuda paling dicari gadis-gadis tolol seluruh sekolah?

Bulan pergi berjalan meninggalkan laki-laki itu di parkiran. Harus segera ke kelas—belajar—mengingat apa yang ia pelajari tadi malam—sebelum ujian pertama dimulai. Lagipula jantungnya berdebar setiap kali di dekat Gemintang sekarang. Bulan yakin dia sudah gila.

"Sama-sama!" teriaknya.

Perempuan itu menoleh.

"Gua kira cewek baik sama bego tambah nafsuan kayak lo enggak bakal lupa bilang terimakasih." Dia mendekat.

"Terimakasih." Menatap iris tajam yang membuat hatinya kebingungan. "Maksud kamu nafsuan?"

Tawanya kemudian. "Sama-sama sekali lagi, Kuda Nil yang cantik." Pria itu menarik tas yang gadis itu bawa di punggungnya dengan mudah. Lalu ia kenakan di pundaknya. "Pertama, semua orang tau kalo lo baik dan bego. Kedua, lo nafsuan karena obsesi lo sama cowok. Apalagi namanya kalo bukan nafsu?"

"Gemintang."

"Kuda Nil."

"Yang harus kamu tau, satu, aku enggak pernah jadi orang baik. Enggak pernah ada orang baik yang nyakitin orang yang dia sayang. Dua, aku enggak pernah nafsu sama cowok—kamu enggak pernah tahu rasanya hati aku—karena kamu enggak pernah jadi kecoa yang diinjak-injak, Tang,

"Tiga, balikin tas aku sekarang!"

Bulan mencoba menarik kembali tasnya yang ada di pundak Gemintang sekarang. Laki-laki itu menghindar—tertawa.

"Eits, ini gua bawain, Kuda Nil! Lo cuman harus fokus sama ujian. Gua enggak mau pundak sama punggung lo kecapekan dan bikin lo enggak fokus. Demi Bintang,

"Demi gua juga."

Kemudian Gemintang rangkul dirinya, berjalan bersama ke arah gedung sekolah. Lengannya yang besar rasanya seperti mendekap dirinya—melindungi dari mara bahaya. aneh.

"Enggak usah sok peduli."

"Siapa yang peduli?"

Bulan menginjak kaki laki-laki di sebelahnya. Dia kesakitan. Saat itu juga ia ambil balik tas miliknya, pergi meinggalkan Gemintang.

Mengaduh kesakitan. "Kuda Nil tungguin!"

...

"Makin deket sama Gemintang, nih, gua liat-liat."

"Udah diapain aja, manis?"

Tawa jayus mereka memekakan telinga. Harusnya Rangga tahu suara tawa dia seperti kentut sapi bahkan bau mulutnya pun tidak kalah mematikan. Bersama dua anak buahnya yang setia menemani—Bulan tahu Rangga itu pengecut—maka gadis ini cuman menatap mereka tanpa kata. Menghina dengan mata.

"Minggir," katanya datar. Tidak ingin berkelahi di depan pintu kamar mandi.

"Kalo gua enggak mau?"

"Berarti kamu binatang."

"Kalo gitu lo juga."

"Kalo kamu manusia, harusnya ngerti kalimat aku. Minggir, Rang, aku mau pulang. Besok masih ada ujian."

"Jawab dulu pertanyaan gua, cantik." Rangga tersenyum. "Lo udah ngapain aja sama Gemintang?

"Udah ciuman, kah? Bercinta, kah?"

Nata menimpali. "Bercinta enggak tuh!"

"Lo penasaran, 'kan, Nata, Mario?!"

"Banget, Rang!" tawa Nata.

Rangga mendesah. Menghina Bulan di depannya. Suara desahan itu makin kencang, tepat di depan muka Bulan, laki-laki itu dengan tidak tahu dirinya membuat semua memori pelecehan dari Pak Galang terlintas di pikirannya.

"Ah, ah, ah, ah, ah."

Wajahnya tersenyum. Licik. Satu tetes air mata turun dari gadis itu, tangannya mengepal—menampar Rangga di pipi. Ia tidak peduli bahkan bila pipi itu memerah.

"Lu beneran udah mulai berani, ya, Kuda Nil?!"

"Kamu beneran gila, Rang." Bulan menabrak pundak-pundak lebar mereka. "Minggir!"

Namun Nata memegangi lengan Bulan. Tidak membiarkan gadis itu pergi. Cengkramannya tidak bisa ia lepaskan hingga ketua mereka tersenyum licik, merentangkan tangannya—memeluk Bulan begitu saja.

Ia dekap tubuh gadis itu erat. Tidak akan melepaskan. Tangannya mulai menggerayangi bokong Bulan. Meremas. Bulan terdiam—ingin menjerit—menangis. Namun dia tidak bisa, dia tidak punya kekuatan untuk menepis tangan laki-laki itu di bokongnya atau melepaskan dekapan bajingan di depannya. Tidak bisa sama sekali.

"Cewek murahan kayak lo jangan banyak gaya, Kuda Nil.

"Gua tau lo udah dipake Pak Galang, habis itu Samudra, dan sekarang Gemintang.

"Tapi sekarang lo harus jauhin Gemintang, ya, Cantik.

"Lo sayang sama cowok pengkhianat itu, 'kan?" Masih meremas area vital gadis itu. Pelan. Ia bawa dan dorong Bulan ke dinding kamar mandi sambil mendekap dirinya.

"Kalo lo sayang, jauhin dia, oke?

"Lo enggak mau gua ancurin hidupnya, 'kan? Termasuk lo juga?"

Rangga menoleh ke arah luar. "Nata, aman, 'kan?!"

"Aman!"

Dia menyentuh hidung Bulan pelan. "Untung sekolah sepi, karena cuman anak kelas tiga yang ujian, ya, Kuda Nil?

"Gua masih pengen lama-lama sama lo, tapi kayaknya enggak bisa deh, soalnya lo baik, sih. Lo pasti nurutin mau gua, 'kan?

"Jauhin Gemintang."

Rangga tersenyum, melepaskan dekapan menyakitkannya, Bulan menteskan air mata itu lagi dan lagi, tidak bisa bicara, tidak bisa melawan laki-laki di depannya lagi. Rasa jijik dan takut bercampur di hatinya—dia geli dengan dirinya sendiri sekarang, dia harusnya memaki laki-laki tolol ini, harusnya ia tinju pipi tiga orang idiot di hadapannya, namun dia beneran enggak bisa.

Bulan sadar dia masih lemah, tidak bisa berdiri sendiri. Tidak bisa seperti Cahaya, Gemintang atau Samudra. Dia sayang mereka semua, dengan semua kebaikan yang Samudra lakukan meski itu menyakiti hatinya, dengan semua rasa kenyamanan dari Cahaya yang membuat Bulan memiliki rumah, dan dengan semua kepedulian Gemintang. Bulan enggak pernah mau menyakiti mereka bertiga.

Maka ia cuman bisa mengepal tangannya, berharap tangan itu bisa meninju semua orang yang menyakiti hati. Namanya Bulan, namun ia tidak bersinar, ia hanya bisa mengelilingi planet, beredar pada porosnya. Tidak seperti kumpulan bintang atau lautan luas apalagi sinar semua planet yang memiliki kekuatan.

Senyuman itu datang lagi, menyakitkan. "Gua tinggal ya, Kuda Nil!

"Dadah!"

Tanpa balasan. Hingga sekali lagi laki-laki itu tersenyum.

"Ngomong-ngomong, pantat lu enak juga."

...

a.n

bab ini beneran sakit jiwa. aku udah bilang, masih banyak badai yang bakalan dateng menuju akhir cerita. dan semua badai itu enggak pernah enggak menyakitkan. aku harus banget nyakitin mereka, karena aku jahat, karena aku juga mau kita semua belajar dari mereka.

udah lama enggak nulis, diksi aku pun aku rasa harus aku latih lagi.

omong-omong, mohon maaf lahir dan batin semua, maaf kalo aku lama banget updatenya, maaf banget kalo aku enggak bisa bales semua komentar kalian semua. mulai hari ini aku udah janji sama diri aku sendiri untuk enggak males-malesan.

salam,

laki-laki yang masih menanti

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro