Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

80 • Gemintang Tahu Ada Satelit di Sana

Ia tidak pernah menyangka bahwa laki-laki tampan seperti dirinya selalu memikirkan perempuan tolol itu setiap waktu. Aneh, laki-laki itu ingin mencopot kepalanya sekarang juga daripada harus melihat gadis aneh itu terus berlari di dalam perutnya yang kotak-kotak ini.

Astaga, mengapa bisa, ya? Lihat saja sekarang, dia termenung di atas balkon sekolah—melihat lapangan yang diisi teman-teman futsalnya tengah berkeringat, namun matanya terus menatap ke arah gadis yang duduk sendirian di bawah pohon besar paling keramat. Dia membaca buku sambil sesekali meminum jus jambu sendirian.

Gemintang mau ada di sana juga, menemani—duduk bersebelahan—kemudian mengusap rambut halus itu dengan pelan bak orangtua yang sayang anaknya. Gemintang sudah gila tentunya sejak lama karena memikirkan Kuda Nil itu terus-terusan.

"Udah buruan tembak aja."

Laki-laki itu terkejut bukan main, dia berani sumpah kalau Romeo benar-benar minta dijitak karena mengejutkannya dari belakang.

"Tembak burung lo?!"

"Jangan dong, kasian Ratna."

"Iya, kasian bakalan nikah sama cowok kayak lo."

"Tang, tang. Kayaknya lu kena karma sih."

"Mitos."

"Makanya jangan suka ngehina orang, jadi suka kan lu."

Gemintang pusing mendengar ocehan Romeo. "Gua enggak pernah suka sama orang," katanya. "Orang yang suka sama gua."

"Yang bener?"

"Bener lah, gua 'kan ganteng!" Masih narsis.

"Ga usah pake emosi kali." Kalimat sindirian. Romeo tertawa, seperti tahu perasaan Gemintang.

Namun Romeo salah, karena memang Gemintang tidak ada perasaan pada perempuan manapun apalagi sama Kuda Nil. Mana mungkin? Tidak akan pernah, percaya pada dirinya. Namun matahari menyilaukan pandangan.

...

"Nih, makan." Gemintang menaruh sekotak sosis dan bakso goreng di meja. "Belajar mulu, enggak meledak tuh otak?"

"Enggak, soalnya otak aku enggak kecil kayak kamu."

"Mulut lu kadang kejam, ya, Kuda Nil."

"Kalo kamu bisa baca pikiran, otak aku selalu ngatain kamu lebih parah dari mulut aku."

Gemintang terkekeh kecil, mengembuskan napas, menarik udara kelas yang panas dari matahari dan angin dari pepohonan yang selalu melegakan panca indra. Jam istirahat kedua, sepi, orang-orang biasanya pergi sembahyang, beberapa makan di kantin atau belajar di kelas seperti ibu bendahara kelas ini yang sembari memakan mi goreng di kursinya atau Kuda Nil di depannya yang cuman diam tanpa mengunyah apa-apa.

"Contohnya?"

"Kamu ari-ari Samudra yang hidup."

"Sialan."

"Udah aku bilang."

"Lu jauh berubah, Kuda Nil."

"Kurus?"

"Bukan itu."

"Apa?"

"Berani."

Gadis itu cuman tertawa. Ada air di matanya.

"Itu bukan muji, jangan kepedean."

"Aku tau."

"Bagus."

"Karena itu hinaan, kan?"

"Maksud lu?"

"Aku enggak pernah berani, kamu tau itu, 'kan, Tang?"

"Gua enggak ngehina juga," sanggahnya. "Aneh lu, Kuda Nil."

Ia tutup buku biologi yang sedari tadi menganga seperti lubang di hati. "Bener kok, aku enggak pernah berani terima kenyataan. Aku kehilangan orang yang aku sayang, cuman karena aku mau wujudin dongeng aku sendiri.

"Aku enggak pernah jadi berani karena memang aku terlahir bukan jadi berani. Aku cuman bulan jelek, kamu tau itu, makanya nama aku jadi Kuda Nil di pikiran kamu, di pikiran semua orang."

"Lu ngomong apaan sih?" Gemintang tiba-tiba kesal. "Lu enggak inget pas lu ngelawan Rangga dan temen-temen gua? Cuman buat belain gua." Gemintang jadi ingat. "Lu keren, lu berani, bahkan lu udah enggak takut sama gua lagi, 'kan?"

Gemintang mengedipkan satu matanya. "Lagi juga ngapain takut sama gua? Orang gua ganteng gini."

"Enggak ada orang ganteng yang ngaku dirinya ganteng."

"Ada."

"Siapa?"

"Gua."

"Narsis."

Kemudian mereka tertawa bersama. Kecil, tidak ada tawa besar di sekeliling, hanya tawa sederhana mereka berdua. Gemintang tersengat belut listrik, ginjalnya mengaduh kesakitan. Namun mengapa rasanya nyaman sekali?

Gemintang mau menangis, sudah berapa lama ia sudah tidak tertawa seperti ini?

"Dimakan nih, udah gua beliin juga."

"Iya, makasih ya, Tang."

"Sama-sama, Kuda Nil." Tersenyum lebar.

Gadis di depannya ikut tersenyum kecil, namun matanya memandang arah pintu kelas, hingga senyuman itu memudar kala ia lihat Cahaya memasuki kelas bersama dayang-dayangnya.

Ternyata Gemintang tidak sepenuhnya benar. Kuda Nil ini tidak akan pernah berani pada satu hal. Bukan pada ombak di lautan atau burung di cakrawala, namun pada iblis cantik yang selalu ada di hatinya.

"Enggak usah dilihat."

"Lihat apa?"

"Gua tau."

"Kamu enggak tau apa-apa."

"Lupain Aya, pendem rasa sayang lu sama dia. Jangan pernah berharap dia bakalan jadi temen lu lagi dengan semua yang lu lakuin sama dia, atau yang dia lakuin sama lu." Gemintang menekankan. "Gua ngomong gini karena realitanya memang pahit, Kuda Nil."

"Iya, aku tau kok," nadanya pelan, tidak ada ketulusan.

"Bagus." Namun Gemintang senang.

"Sekarang Kamu diem, aku lagi fokus belajar." Tangan kecil itu kembali membuka buku yang tadi ia tutup. "Ujian sekolah sebentar lagi, aku cuman harus fokus sama ujian ini."

"Supaya?"

"Aku bisa dapet beasiswa di perguruan tinggi, bahagiain Bintang, dan bahagia sama diri aku sendiri," katanya. "Itu yang harus lakuin supaya aku bisa lupa."

"Lupain Samudra atau Cahaya?"

"Lupain apapun yang bikin aku sedih."

"Orang ganteng kayak gua, enggak, 'kan?"

"Mending kamu juga belajar!"

"Sama lu?" Pupil di matanya membesar. "Oke kalo maksa."

...

a.n

bulan pernah bilang sama gemintang, "cinta bagi kamu itu dangkal banget, ya?"

aku cinta mamah aku, ayah aku, aku cinta semua temen aku, aku juga cinta bos aku di kantor, aku cinta sama kalian yang selalu baca cerita menyakitkan ini, apalagi sama pasangan aku sendiri suatu saat nanti. Karena cinta emang enggak sedangkal otak aku.

salam,

laki-laki yang sering menangis di depan ikan cupang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro