Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

72 • Samudra Tahu Dia Laut Yang Mengerikan

Gemintang itu kumpulan bintang yang mungkin bakal jatuh ke bumi, membakar semua tumbuhan dan manusia yang tidak pernah salah padanya. Namun itu hanya kemungkinan, jauh di atas sana--kumpulan bintang itu cantik, dia membuat langit terasa lebih menarik di mata seluruh makhluk yang memiliki mata di dalam hati. Tidak seperti samudra yang kerap kali menelan korban tidak bersalah padanya, lautan luas itu selalu menerjang semua makhluk dengan ombak besar yang terus terkumpul dan tertahan di hati lautan luas nan tenang itu. Hingga retakan demi retakan terasa begitu sakit di dada. Sudah berapa kali ia menyakiti makhluk lain? Sudah berapa kali ia mengahancurkan hati yang lain?

Samudra mendapati seseorang duduk tertidur di kursi belajarnya, mendengkur--keras sekali. Laki-laki itu kelelahan--akibat membantunya berjalan ke rumah sakit--kemudian pulang--menunggu Samudra yang kesakitan di kamarnya--sampai tertidur. Maka Samudra ambilkan bantal miliknya, menaruh bantal di punuk Gemintang agar bocah ini tidak kesakitan saat tidur--meski ia harus berusaha bangkit dari kasurnya--meski harus menahan rasa sakit di kakinya--dan meski ia berjalan dengan pincang ke kursinya.

Namun sebelum Samudra menaruh bantal itu di punuk adiknya, Gemintang terbangun, gelagapan. Nyawanya belum terkumpul. Samudra yang sadar, mengurungkan niatnya, langsung melempari bantal ke wajah Gemintang.

Tidak ada amarah dari yang dilempari bantal, dia masih belum sadar, terlihat jelas di raut mukanya yang datar seperti dadanya.

"Bangun! Tidur di kamar lu sana!"

"Hah?" Kebingungan. Mengelap mukanya yang habis di timpuki bantal.

"Bangun!"

"Lu kenapa, sih?!"

Tidak ada jawaban. Samudra kembali ke kasurnya, menidurkan tubuhnya, mencoba kembali tertidur di malam ini. Malam yang selalu terasa sama, dingin--namun di dalam sana api itu menyala begitu besar.

"Kaki lu masih sakit, enggak?" tanyanya. Mengapa dia tiba-tiba peduli?

"Enggak. Cuman keselo aja, 'kan?" Ringan. "Kenapa lu tiba-tiba sok peduli gini?" Samudra terkekeh.

"Keseleo? Gigi lu tuh keseleo. Tulang kaki lu retak ya. Butuh tiga bulan buat sembuh."

"Lebay."

"Terserah lu dah."

"Iya, Mah."

"Kalo dibilangin, jangan ngeyel, kenapa!"

Mengapa sekarang jiwa mereka seperti tertukar, ya? Ini halusinasi Samudra saja atau dia memang harus ke rumah sakit jiwa sekarang?

Samudra tertawa kecil. Akhirnya Gemintang pulang ke rumah ini. Tempat di mana Bunda menantinya. Apa memang Samudra perlu meretakkan kakinya? Atau memang harus Samudra tidak bisa berjalan agar adik kembarnya tetap ada disini?--bersamanya--bersama bunda?

"Terimakasih, ngomong-ngomong." Samudra melirik sekilas Gemintang. Tidak mempedulikan lagi laki-laki itu di kursinya.

Yang dilirik tetap duduk di tempatnya. Memejamkam matanya lagi. Berdehem. Mencoba tertidur kembali. "Iya."

...

"Bagus. Setelah bikin kaki saudaramu pincang, kamu baru pulang ke rumah."

Entah mengapa laki-laki ini pulang begitu saja tadi malam. Apa dia tidak tahu dia sama saja seperti apa yang ia bicarakan barusan?

"Setelah ini kamu mau ngapain lagi, Gemintang?" tanyanya. Memakan roti cokelat mesis itu. "Bunuh kakak kamu?

"Yang jauh lebih baik dari kamu?" tersenyum. Licik sekali.

Tidak ada tanggapan dari dua orang kembar ini. Mereka tidak mau membuat konflik di pagi hari. Karena hanya pagi--waktu mereka seharusnya tenang. Waktu di mana mereka bisa memakan nasi goreng dengan nyaman. Namun mengapa nasi ini tidak bisa tertelan ya? Menyangkut di kerongkongannya yang terisi banyak teriakan.

"Harusnya kamu enggak usah pulang sekalian ke rumah ini kalau kamu mau kabur selama itu."

Roti cokelatnya habis. Ia berbicara lagi. "Ambilin kopi Ayah, Tang, di meja dapur."

Yang disuru iya saja. Samudra hanya bisa memandangi Ayahnya di meja makan. Ingin memakinya, ingin mengatakan bahwa dirinya bahkan lebih hina daripada yang ia pikir, jika memang dia punya pikiran.

Gemintang datang, membawa kopi itu. Menaruhnya di atas meja--menatapnya. Yang meminta kopi hanya melirik sekilas, dia hanya berkata oke saja. Gemintang seperti menanti satu kata berarti yang mungkin saja keluar dari mulut kotor itu. Namun tidak ada satu kata pun disana.

"Saya pulang dan enggak pulang, enggak ada urusannya dengan Ayah. Ayah enggak bisa usir saya, karena ini bukan rumah Ayah. Ini rumah Bunda," katanya. "Ayah cuman numpang, Ayah tahu itu, 'kan?"

...

a.n

Halo apa kabar?! Ada yang kangen sama buaya yang paling kesepian ini?! (Enggaaakkkk!)

Omong-omong, perasaan saya enggak pernah bilang kalau cerita ini bakal ending kayak apa. Tapi kenapa kalian mikirnya endingnya bakalan sedih? Sejahat itu kah diriku di mata kalian? :(

Lagi, Jangan lupa buat follow akun wattad ini sama instagram saya yoooo!

Salam,

Makhluk Yang Tidak Sadar Betapa Jahatnya Dia


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro