68 • Gemintang Mau Cahaya
Bisik-bisik tetangga menguar di udara. Katanya, Gemintang sudah tidak punya urat ketika ia duduk di kantin--depan Kuda Nil murahan yang orang-orang katakan.
Dia yang menamai perempuan besar itu hewan gemuk nan menjijikkan, tapi setelahnya--dia malah berduaan bersama hewan itu--menjilat air liurnya sendiri yang berada di dinding toilet sekolah. Entah sang hewan memang menjijikkan atau mungkin hewan itu terlihat menggemaskan bagi hati kecilnya.
"Gemintang ngapain duduk di sana?" Suara-suara itu.
"Gemintang mana mungkin mau duduk berdua sama Kuda Nil itu kalau enggak ada apa-apa." Cekikikkan.
"Pasti itu cewek main dukun!" Penuh emosi.
Gemintang menahan semua amarahnya saat ini. Dia hanya fokus melihat Kuda Nil di depannya memakan bakso tusuk kesukaannya--itu yang paling ia suka. Yang paling ia senangi sejak dulu. Pantas saja badannya jadi bulat. Namun lihat kini, badannya sudah kecil, wajahnya terurus dengan baik--hanya karena satu laki-laki. Cinta membawa perubahan? Cih! Itu cuman dongeng. Katakan pada Gemintang hal paling bodoh di seluruh dunia--tidak ada yang kedunguan yang bisa mengalahkan cinta.
"Cepet makan yang banyak! Balikin badan lo kayak dulu!" perintahnya. "Berubah kok karena cowok?! Cih! Kuda Nil-Kuda Nil.
"Lagian berubah tuh buat diri sendiri, buat nyenengin keluarga, buat semua orang bahagia. Kalo cuman karena cowok, itu napsu namanya!"
Gemintang itu tidak punya otak. Semua kalimat yang keluar dari mulutnya tidak pernah ia pikirkan. Hanya masalah yang selalu datang saat bibir itu berbicara. Mengapa Tuhan tidak meninju mulutnya saja?!
Namum Kuda Nil di depannya tampak tidak peduli. Dia cuman terus memakan makanannya dengan lahap. Persetan dengan Gemintang--mungkin itu yang ada di dalam hati Kuda Nil. Gemintang cuman angin yang lewat di sarang burung paling tinggi.
"Kata siapa gue suka sama lu?"
Pemuda itu membuka pembicaraan lagi. Siapa yang tidak melihat kejadian tadi pagi saat Kuda Nil ini melawan mantan pacarnya yang masih mengejar-ngejar Gemintang sampai ke alam lain? Dan dia berkata bahwa Gemintang menyukai Kuda Nil ini! Mengapa rasanya lucu sekali ya? Mengapa dia percaya diri sekali?
Gemintang menahan semua kupu-kupu di paru-parunya agar tidak keluar lewat hidung kala Bulan mengatakan itu semua.
Mengapa gadis ini tambah keren saja?
"Denger, ya, Kuda Nil yang cantik. Lu tuh kepede'an tau, nggak?" Suara penggorengan nasi goreng. "Gue enggak mungkin suka sama lu! Selera gue tinggi.
"Gue cuman suka sama cewe yang keren.
"Emangnya lu pikir lu keren, Kuda Nil? Cinta mati kok sama cowok orang?" tawanya kencang. "Itu yang namanya keren, Kuda Nil?" Pita tertawa laki-laki itu mau putus.
Gadis itu menggebrak meja. Menghentikan acara makannya. "Mending kamu pergi Gemintang! Sebelum aku kerokin bibir kamu yang masuk angin itu!"
"Takut," godanya.
"Kamu sadar semua orang ngomongin kita?"
"Terus?"
"Kamu mau jadi bahan pembicaraan?"
"Udah dari dulu," katanya. "Gue, 'kan ganteng." Makin tertawa.
Kuda Nil terlihat tidak percaya dengan omongan gila ini. Gemintang menang. Melanjutkan memakan mi goreng kemasannya kali ini.
"Seharusnya kamu bawa bekel makanan dari rumah."
"Bekel?"
"Daripada kamu habisin uang kamu buat jajan sembarangan, lebih bagus makan makanan rumah, 'kan?" Embusan angin. "Lebih hemat juga."
"Boleh! Yes, dibawain bekel sama Kuda Nil!" Semangat perjuangan.
"Siapa yang bilang aku bakal bawain kamu bekel?"
"Bukannya lu ngomong gitu karena mau bawain gue bekel? Gue enggak bisa masak, Kuda Nil!"
"Buat apa aku mau, Gemintang?!" Seperti batu di sungai. "Dasar, cowok gratisan!"
...
"Enak banget, Kuda Nil!" kata Gemintang tidak menyangka bahwa Kuda Nil yang gemas ini membawakannya bekal makanan hari ini. Lantas mengapa ia marah-marah kemarin saat Gemintang berharap bahwa dia membawakannya bekal makan siang? Gengsi Kuda Nil ini tinggi sekali, kalau suka sama Gemintang tuh bilang saja! Mengapa laki-laki tolol ini tidak mengaca, ya?
"Jangan berisik, Tang," katanya. "Dimakan."
Cahaya matahari menyinari ruang kelasnya, suara teriakan di lapangan menyadarkan Gemintang--kalau dia masih di sekolah ketika ia lupa akibat mencium aroma nasi goreng buatan Kuda Nil yang selalu enak di hidungnya--seperti makanan rumahnya--ketika kakaknya yang membuat. Mengapa dia jadi ingat nasi goreng buatan Samudra dulu, ya? Sialan, dia harus mengenyahkan pikiran tentang si Bangsat yang satu itu.
"Ini apaan, Kuda Nil?"
"Nasi."
"Kalo ini?" Pertanyaan bodoh.
"Telor goreng."
"Telor apa?"
"Badak!" Bulan gemas. Mau memaki Gemintang. "Kamu kenapa kaya Bintang, sih?! Muka kamu enggak ada lucu-lucunya, tau, nggak?!"
Tapi yang dibentak cuman tertawa kuda. Cengengesan saja melihat gadis yang ia kerjai marah-marah tidak jelas.
Hingga sahabat-sahabat dari sang pria datang ke ruang kelas--mengheningkan suasana. Membuat senyum itu menipis sekarang.
"Asik! Ada yang lagi makan, nih." Rangga berceletuk dari kejauahan. Kemudian menarik kursi ke meja mereka. Duduk di sana--memperhatikan. "Lanjutin aja makannya."
Tawa Gemintang pada Bulan dan amarah Bulan pada Gemintang menghilang--mereka memakan makanan mereka tanpa suara kali ini--tidak ingin meladeni Rangga dan Nata serta Mario yang terus melihat mereka berdua--menonton mereka layaknya sinetron di layar.
"Santai aja kali, Tang," sambungnya. "Gue liat-liat makanan lu kurang kuah, Tang. Emangnya enggak seret?"
"Gue lebih seret liat muka lu, Rang." Nata meledek.
"Bisa aja lu, Kadal!" tawa Rangga bersama Nata. Mario cuman diam saja--sama seperti kekasihnya--Gemintang--tidak secara harfiah tentunya.
Maka Rangga menuangkan air putih miliknya ke kotak bekal Gemintang--nasi goreng buatan Kuda Nil. Agar nasi goreng itu berkuah--agar Gemintang tidak serat, katanya. Pelan-pelan menuangnya, penuh cekikikkan. Sahabatnya itu tersenyum ke arahnya.
Mempertanyakan keadaan.
"Nah, kalau gini, 'kan udah enak makannya, enggak seret lagi." Rangga tertawa melihat laki-laki yang ia kerjai.
Melihat nasi goreng berkuah itu membuat api yang belum padam di kayu hatinya tersulut. Gemintang meremas udara, tangannya terkepal kencang. Mau meninju sekali lagi--namun bukan yang terakhir--bibir sialan itu.
Dia mengelus-elus pipi Gemintang. "Tang-Tang," panggilnya. "Bahagia banget sama si Kuda Nil, sampe-sampe kita dilupain gitu aja, ya, nggak, Nat, Yo?"
Nata menimpali. "Wah, parah banget sih lu, Tang. Enggak nyangka gue."
Mario terlihat sudah lelah--dia sama seperti Gemintang. Sinarnya sudah menghilang.
Namun tiba-tiba Kuda Nil itu menyeruduk Rangga--mendorong laki-laki itu dari kursinya. "MAU KAMU APA SIH RANG?!"
Jatuh. Laki-laki tolol itu jatuh dari tempatnya dengan bodoh. Dia biarkan saja dirinya terjatuh di sana, kemudian bangkit di tolong oleh Nata. Mendekat ke arah Bulan--menatapnya penuh amarah.
"GUE GAK ADA MASALAH SAMA LO YA KUDA NIL GILA!"
"ADA! KAMU RUSAK MAKANAN AKU! DAN KAMU JELAS CUPU, RANG!" Air mata itu turun begitu saja dari mata.
Rangga mendorong-dorong Bulan. "CEWEK MURAHAN KAYAK LO GA PANTES NGOMONG CUPU KE ORANG LAIN!" Dia menoleh ke Gemintang. "TANG! JAGAIN NIH PACAR MURAHAN LO!
"Jagain dia supaya enggak ngerebut kebahagiaan sahabatnya sendiri." Rangga tersenyum ke Bulan. Menyunggingkan senyum liciknya. "Dasar, cewek murahan!"
Maka suara botol berisi air di banting ke lantai, membuat basah pijakan. Gemintang mendorong leher Rangga dengan sikutnya. Membuat cowok itu tertahan di dinding oleh Gemintang. Lehernya panas, api itu menjalar--tidak mau berhenti--bahkan kala ia ingat ia harus mencoba bersabar--agar tidak ada lagi masalah yang ia perbuat.
Namun tangisan di hatinya tidak bisa ditahan. Tangisan di relung terdalamnya yang tidak bisa ia bagikan. Dia mencoba bertahan. Sekali lagi.
"Gue capek, Rang," bisiknya.
"Tolong."
...
a.n
Si Rangga emang bener-bener minta dicekek ya! Awas lu, Rang! Tapi seriusan deh, pasti ada aja kan orang--cowok modelan kayak Rangga gini. Merasa punya harga diri tinggi--jadi saat harga dirinya terusik, dia bakal gila! (Ini sekalian curhat sebenernya).
Besok bab nya Samudra, kalian enjoy enggak sih baca bab nya dia yang penuh dengan RACUN? Buku selanjutnya bakal banyak bahas tentang dia soalnya. Hahahaha.
Salam,
Bukan Buaya, beneran
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro