56 • Gemintang Yakin Dia Bukan Susunan Bintang-Bintang
"Berita panas!" Mario berteriak di telinganya. Rasanya mau Gemintang tarik mulut besar milik teman bodohnya yang satu ini.
"Apa?!"
Mario membisiki telinga sahabatnya sembari berjalan menuju kelas. "Samudra pacaran sama perempuan paling manis satu sekolah."
Laki-laki itu terkekeh. "Cahaya? Udah tau dari dulu!"
"Kok lu nggak bilang-bilang gue kalau kembaran lo pacaran sama Cahaya?! Mana hampir mau tiga tahun lagi dari kelas satu," Dia menghela napas. "Tau gitu gue enggak deketin Aya mulu!"
"Apa peduli gue?"
"Wah, gila! Itu kembaran lo pacaran sama cewek paling cantik di sini, Tang!"
"Terus?"
"Cuman sahabat-sahabatnya yang tau kalau mereka pacaran diem-diem. Terus semuanya jadi kebongkar karena salah satu sahabatnya itu suka dan nembak Samudra setelah ujian kemarin! Gila gak lu?!
"Lebih gilanya lagi, itu si Kuda Nil!" sambung Mario antusias, tetapi ia tidak peduli dengan yang Mario katakan saat ini, karena matanya fokus melihat sebuah adegan yang memanasi empedu dan kantong empedunya sekarang.
Lihat saja di sana, seorang perempuan yang terjatuh, laki-laki yang mengulurkan tangannya untuk membantu perempuan itu, dua orang gadis yang menonton dengan wajah kesalnya dan seorang perempuan yang melihat kekasihnya menolong seseorang yang telah membuatnya mengamuk kemarin di depan matanya.
Apa dia tidak waras? Atau Samudra memang sudah setolol itu sampai tidak mengerti keadaan saat ini? Memangnya dia tidak mengerti bahwa gadis itu dikerjai oleh teman-teman kekasihnya kemarin karena dirinya! Apa dia mau menambahkan rasa benci mereka semua pada gadis bodoh itu?!
Maka Gemintang berjalan menghampiri laki-laki dan perempuan di depannya, meninggalkan Mario yang sedari tadi mengoceh sendirian.
Mario meneriakinya, namun Gemintang tidak peduli. Dia tetap berjalan ke depan dengan tegap, mengenyahkan tangan yang mengulur itu--menepuk kasar tangan Samudra. Mencoba menghentikan tindakan saudaranya yang bisa membuat keadaan semakin memburuk.
Samudra menatapnya dengan wajah itu, wajah paling tidak berdosanya. Gemintang menyunggingkan bibirnya--terkekeh saat melihat Salma, Audrey, dan Cahaya masih di sana menyaksikan hal ini.
Gadis yang terjatuh itu belum juga bangkit dari jatuhnya.
"Bangun, Kuda Nil, nggak usah manja! Badan lu juga udah enggak gede, 'kan?"
Saat itu juga Bulan bangun, berdiri membetulkan pakaiannya terlebih dahulu kemudian pergi meninggalkannya--berlawanan dengan arah kelas. Gemintang tidak tahu. Yang ia tahu, ada suara tangis dari sesorang yang pergi meninggalkannya barusan. Ia harus menyelesaikan ini semua dahulu dengan Bajingan di hadapannya.
"Bulan?" panggil Samudra, mencoba menyusul.
Gemintang menghalangi. "Mau ke mana?"
"Bukan urusan lu."
"Lu enggak liat pacar lu di belakang?" Lirik Gemintang sembari terkekeh sekali lagi, Samudra ikut menoleh membuat tiga gadis itu pergi--masuk ke dalam kelas. Hanya ada Gemintang dan Samudra sekarang. Mario juga, di belakangnya, seperti tokoh pohon di tugas drama seni dan budaya.
"Lu mau nambah-nambahin masalah buat dia?!"
"Bukan urusan lu." Dia kembali ingin mengejar Kuda Nil itu--entah apa yang ingin ia perbuat.
Maka sekali lagi Gemintang menghadang. Mendorong tubuh Samudra. "Sekarang jadi urusan gue."
...
Melihat gadis idiot itu terlihat lebih lemah daripada biasanya membuat Gemintang gemas sendirian. Bisa-bisanya dia mencari masalah dengan perempuan paling dicintai semua orang di sini? Memangnya Gemintang sendiri kurang untuk menjadi masalah untuk dirinya? Apa semua yang sudah terjadi selama ini masih kurang untuknya?
Sekarang, dia hanya bisa melihat punggung gadis itu yang fokus belajar di mejanya tanpa keluar kelas saat jam istirahat seperti ini, tanpa teman--layaknya Gemintang. Bagus, memang lebih baik dia hanya harus terus berkonsentrasi pada hal seperti itu, bukan pada obsesinya pada laki-laki.
"Lu suka sama Bulan?" Pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Mario.
Gemintang tidak peduli. Dia berhenti memandangi punggung gadis itu, mencoba tidur dengan bantalan tangannya.
"Tuh, 'kan, udah gue bilang dari awal. Lu sekarang yang khilaf, 'kan?" Mario tertawa. Menghina. "Seorang Gemintang yang udah bikin satu perempuan dipanggil pakai nama jelek selama tiga tahun, akhirnya kena karma juga!"
"Ngomong sekali lagi, gue tonjok pipi lu, Yo!"
"Galak," ejeknya. "Iya deh, yang belain pacar barunya...," tawanya kemudian. Mario benar-benar minta diinjak batang lehernya.
Lalu Gemintang yang kesal pun menyekik leher Mario dengan jepitan sikunya. Membuat Mario meminta ampun, tapi laki-laki itu tidak akan membiarkan sahabatnya lepas begitu saja.
Hingga mantan sahabatnya datang, merusak suasana. "Mario, kantin lah! Gue laper...." ajak Rangga dan Nata, tanpa mengajak Gemintang.
Gemintang melepaskan Mario. Menghela napas. Memperhatikan dua orang itu sambil tertawa.
"Tang?" tanya Mario, seperti meminta izin.
Gemintang tersenyum asam, menyuruh Mario pergi dengan menggerakan tangannya--mengusir.
Sahabatnya berdiri, mau pergi ke kantin--membeli makan. Gemintang memanggil. "Gue titip susu!"
"Beli sendiri!" Mario tertawa.
Gemintang ikut tertawa.
Rangga menimpali. "Abis istirahat jangan lupa dateng ke sidang lu, Tang!"
"Semoga gak di keluarin dari sekolah, ya, Tang!" doa Nata padanya. Rangga tertawa lantang--menghinanya tentu saja.
Gemintang mengacungkan jempolnya sembari melihat tiga orang sahabatnya pergi saling merangkul satu sama lain tanpanya. Cih! Jadi begini saja kisah pertemanannya?!
...
"Mana orangtua kamu, Gemintang?" tanya Pak Hari--kepala sekolah.
"Nggak datang," katanya enteng. Gemintang tidak memberi tahu Bunda atau Ayah. Lagipula untuk apa? Memangnya mereka peduli? Untuk apa juga anak sialan seperti Gemintang dipedulikan?
"Surat panggilan yang sekolah kasih, kamu kasih orangtua kamu, 'kan?" tanya Bu Dini, walikelasnya, gurunya yang ia sayang.
"Enggak. Buat apa?"
"Gemintang...," Ibu Dini memohon. "Apapun yang terjadi sama kamu, orangtua kamu harus tahu."
"Kamu bisa dikeluarin loh, kalau begini caranya." Salah satu anggota komite sekolah.
Pak Hari menyuruh Ibu Dini menelepon orangtuanya, Pak Abraham yang kemarin menampar Gemintang dan Samudra--dan Ketua komite sekolah--Ayah Cahaya, hanya memandanginya, sementara Bunda dari Rangga selaku salah satu anggota komite sekolah memandangi Gemintang dengan wajah kesal sekarang.
Senangnya bila seorang ibu membela anaknya seperti Bundanya Rangga. Gemintang mungkin akan memeluknya jika itu Bundanya dengan erat, sangat erat, terlalu erat. Ha! Gemintang berpikir apa sih? Mana mungkin Bunda akan membelanya?!
Kemudian pintu itu terbuka, seorang wanita datang seperti rasa sayur asam yang Gemintang suka. Ia membawa sebungkus kantung besar yang berisi roti-roti. Kemudian dia memberinya pada semua orang yang ada di sana. Wanita itu mengucapkan salamnya dan meminta maaf karena terlambat, lalu ia tersenyum menatap Gemintang--duduk di sebelahnya
Semuanya dimulai, orang-orang di hadapannya mulai membicarakan Gemintang dengan Bunda di sampingnya. Mengatakan betapa menyedihkannya bocah yang satu ini.
"Bolos, pakaian tidak rapih, tidur saat jam pelajaran, merusak fasilitas sekolah, berkelahi...."
"Gemintang sudah dapat seratus poin pelanggaran. Itu berarti dia bisa kami keluarkan dari sekolah."
Bunda berdiri. "Saya meminta maaf pada bapak kepala sekolah, ibu guru, pak guru, dan bapak-ibu yang lainnya atas apa yang Gemintang lakukan. Tapi ini semua bukan sepenuhnya salahnya, ini salah saya--salah saya yang enggak pernah bisa mendidiknya, saya berharap pada sekolah untuk kebaikan Gemintang.
"Tolong berikan dia hukuman atas kesalahannya, tapi tolong jangan keluarkan anak saya. Saya mohon...." Wanita itu meremas pundak Gemintang erat. Mencoba kuat.
Gemintang hanya bisa menunduk sedari tadi setelah bundanya hadir. Dia tidak menyangka akan jadi seperti ini. Samudra pasti yang memberitahunya. Gemintang kebingungan.
"Lalu hukuman apa yang pantas untuknya?" Mamahnya Rangga melipat tangannya di dada. "Bukannya sekolah sudah sering memberinya hukuman? Hukuman seperti apa lagi untuk seorang anak mengerikan seperti itu?"
Anak mengerikan?
"Anak saya enggak mengerikan."
"Lantas?"
"Maaf, Bu. Apa ibu akan terima anak ibu dihina seperti barusan?"
"Kenapa? Anak saya enggak mengerikan seperti dia."
Bunda tidak bisa berkata apa-apa. Dia mencoba untuk tidak menangis, dan Gemintang hanya bisa mendengkus dan menahan seluruh emosinya saat ini.
Pak Hari mencoba menenangkan. Namun seberapapun Pak Hari mencoba, mamahnya Rangga tidak henti-hentinya mengoceh, Gemintang bisa saja menarik mulutnya itu hingga lepas dari tempatnya, tapi apapun itu dia tidak mau Bunda meminta maaf atas apa yang Bunda tidak lakukan. Biarkan saja Gemintang!
"Saya mau dia dikeluarkan dia dari sekolah, dia meresahkan siswa-siswa di sekolah. Dia berbahaya!"
Bunda memukul dadanya, Gemintang yang melihat itu membuat hatinya terluka, membuat udara di sekitarnya menyakiti hatinya.
Ibu Dini yang hanya memperhatikan sedari tadi, bersuara dengan lantang. "Gemintang memang nakal, dia memang anak yang sulit di mengerti. Namun dia punya hati yang hangat, yang tidak di mengerti oleh banyak orang. Dia sayang keluarganya, dia sayang temannya, dia sayang semua orang.
"Dia cuman seorang pelajar yang belajar, bukankah tugas sekolah adalah mendidik murid-muridnya? lantas siapa yang salah kalau sudah begini?"
Wanita itu berdiri. "Kenapa ibu bela Gemintang ya? Apa karena dia udah nolongin ibu saat ibu mau dilecehkan saat itu? Oh iya, lagipula ngapain ya guru dan murid naik motor di malam hari? Memangnya itu pantas?
"Apa karena Ibu suka sama murid ibu sendiri?"
Ibu Dini kehabisan kata-katanya. Gemintang tidak mengerti lagi jalan pikiran wanita tua yang satu ini. Memangnya mengapa? Ada masalah dengan cinta seperti itu?
"Saya guru! Saya orangtua dari siswa. Untuk seorang anggota komite sekolah, perkataan ibu sangat rendah ya?"
"Lalu apa yang akan Ibu guru lakukan? Apa Ibu mau bertanggungjawab?!" Nadanya mulai keras. Ia membentak guru yang ia sayang. Gemintang tidak terima.
"Saya akan bertanggungjawab jika Gemintang melakukan pelanggaran kembali." Lantang.
"Dengan apa?"
Ibu Dini tersenyum dengan cantik ke arah Gemintang. Laki-laki muda itu sulit bernapas karenanya, suara tawa teman-temannya di lapangan ketika pelajaran olahraga membuatnya terdiam.
"Saya akan berhenti menjadi guru, kalau Gemintang mengecewakan saya." Lagi-lagi tersenyum. Ibu Dini mengangguk, percaya pada anak laki-laki yang ia tatap. Hatinya berdegup kencang.
...
a.n
Saya paling enggak bisa nulis kalau enggak kerasa di hati saya. Makanya kenapa akhir-akhir ini updatenya lama sekali. (menangis di bawah pohon jambu)
Kira-kira visualisasi perlu enggak, ya?
Coba kasih tau ke saya sama yang lain di imajinasi kalian bayangin siapa tokoh-tokoh di sini. XD
Salam,
Bintang Penyendiri di Atas Sana
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro