52 • Bulan Tersadar Selama Ini Dia Bukanlah Satelit
"Tangkep, Kuda Nil!"
Helm itu tertangkap, mendekap di dadanya. Gadis di hadapan pria itu mengembuskan napas berat--bergerutu. Namun sebelum dia semakin kesal dan mau berteriak--memaki pemuda itu dan bertanya mengapa ia memberikan helm hitam ini, laki-laki yang duduk di atas motor itu terlebih dahulu berbicara.
"Buruan naik! Lu mau telat sampai sekolah? Terus enggak sempet bikin kunci jawaban sebelum ulangan?"
"Itu sih kerjaan kamu sendirian."
"Iya deh yang pinter...." ledeknya.
Bulan masih memegangi helm di gengamannya. Dia bergeming, masih mencerna apa yang terjadi hingga Bintang sudah naik--duduk di belakang laki-laki itu dan mengenakan helm pemberian Gemintang.
"Jangan dipegangin terus!" katanya. "Itu helm gue pinjem dari Bu Tari, yang punya kontrakan." Dia memasang wajah kesal sekarang. "Buruan naik! Gue udah capek-capek bujuk Bu Tari buat pinjemin helmnya, jadi lu mesti bareng gue! Jangan nolak!"
"Ayo naik, Kak!"
"Kasih tau, Bintang!"
Bintang mengadahkan kepalanya, berusaha melihat Bulan karena mata yang tertutup helm kebesaran itu. Mengajak kakak perempuannya untuk berangkat bersama-sama seperti sebelum-sebelumnya. Bulan mengangguk kali ini, ia duduk dan masih mencoba menghapal rumus-rumus matematika.
"Mulai hari ini Kakak kamu bareng sama kita berangkatnya, Bintang!"
"Asik!"
"Pegangan."
Bintang mengangguk, memeluk erat perut Gemintang.
...
Mata bulat itu melihat sebuah tangan yang mengenggam susu kotak stroberi menjulur di hadapanya, tanpa melihat wajahnya--gadis itu tahu siapa pemilik tangan mulus tanpa noda dengan jam tangan merah muda melingkar di pergelangan.
"Nih."
Bulan tersenyum. "Terimakasih." Kemudian melepas sedotan plastik yang menempel di kemasan, namun sebelum itu, Cahaya menahannya untuk tidak meminum.
"Kenapa?"
"Siapa bilang itu buat kamu?"
"Terus kenapa kamu kasih aku?"
Aya tersenyum. Bernapas sejenak. Angin berembus menerpa rambut hitam panjangnya, cantik--jika Bulan laki-laki, pasti dia akan jatuh cinta pada Cahaya. Bukan, Aya bukan hanya cantik di luarnya. Seperti yang sudah pernah Bulan katakan sebelum-sebelumnya, Cahaya itu baik, ramah, mudah bergaul, perempuan mana yang tidak iri dengan Cahaya--laki-laki macam apa yang tidak menyukainya?
Bahkan hanya Aya yang membelanya saat semua orang mengatakan dirinya pelacur, mencari uang dengan menggoda guru-guru dan anak laki-laki. Bulan suka Cahaya, dengan semua kebaikannya. Bulan sangat berterimakasih karena dia mau menjadi temannya. Menjadi teman bicaranya.
"Aku udah enggak sabar mau nonjok cowok yang sok ganteng itu!" katanya. "Kamu bilang bakal ungkapin perasaan kamu itu lagi kalau kamu udah jadi cantik seperti yang orang-orang bilang, 'kan?"
"Maksudnya?"
Cahaya menepuk jidatnya. Dia mengelap air mukanya yang berseri itu. "Astaga, ulangan tengah semester udah selesai hari ini. Sekarang saatnya kamu ungkapin perasaan kamu itu lagi. Kasih dia susu dan bilang kalau kamu suka sama dia.
"Kalau dia terima perasaan kamu, aku jamin pipinya bakalan merah selama satu Minggu. Bisa-bisanya dia nerima perasaan kamu saat kamu udah seperti ini!" Cahaya menarik tangan Bulan di bawah teriknya matahari. "Ayo! Kita tungguin dia!"
"Ya...."
"Enggak apa-apa, Lan."
"Jangan tonjok dia, oke?"
"Jadi, aku harus tonjok siapa?" canda Aya. Ia tertawa kemudian. "Kamu?"
Bulan diam, dia ragu-ragu menjawab. "Aya...," panggilnya.
Genggaman tangan Aya semakin erat. Begitu tulus, rasanya hangat, darah terpompa dari jantung menuju usus besarnya, sekarang ia mual--nasi goreng tadi pagi mau keluar dari perutnya.
"Iya, Lan. Aku enggak bakal tonjok siapa-siapa. Asal kamu bisa bahagia, aku ikut bahagia, kok."
...
Wajahnya memerah, panas akibat sinar matahari yang menyerangnya. Keringat dari dahi ikut menetes, namun gadis itu malah menyeka air yang tengah keluar dari mata. Bulan berjanji ini terakhir kalinya ia menyatakan perasaanya, apapun yang terjadi--gadis itu tetap menyukai laki-laki di hadapannya--selalu. Meski ia ditolak dengan caci maki sekalipun, namun Bulan tahu, Samudra bukan orang seperti itu.
Dia jadi ingat bagaimana Samudra merawat anak burung yang kehilangan ibunya kala itu, memakan kue buatannya dengan lahap, dan tersenyum padanya selalu meski semua orang menatap dan menertawainya seperti monster yang membuat gempa sejak dahulu.
Dia suka Samudra--selalu--setiap hari.
Namun wajah Samudra berubah seketika, dia tersenyum kala Bulan memberikannya susu stroberi, dan saat ini rautnya berteriak. Air mukanya terkejut bukan main. Saat itu juga, punggung gadis itu tertimpuk sekotak susu cokelat. Bulan menoleh--perempuan yang ia lihat memungut kembali susu kotaknya--kembali menyemprotkan susu itu ke wajahnya.
"CAHAYA!" Samudra berteriak.
Dia melemparkan lagi susu kotaknya yang airnya telah habis disiram di wajah Bulan ke dada gadis itu, yang dilempari hanya bisa menahan. Dia tidak mempermasalahkan bila ia dilempari minuman ... tapi tahu kenyataan bahwa itu adalah sahabatnya--dada perempuan itu terasa begitu sakit sekarang.
Aya tersenyum. Bukan lagi manis, tapi senyum penuh penyesalan. "Ternyata bener ya, kata orang-orang?" tanyanya. "Aku selama ini salah."
"Bener apa Ya?! Kamu apa-apaan sih?!" Samudra membersihkan cairan cokelat lengket yang membasahi seragam sekolah Bulan. "Kamu udah gila?!"
"Iya! Aku gila, Samudra!" teriaknya.
Samudra menatap Cahaya penuh ketidakmengertian. Mereka saling bertatapan sekarang--tanpa henti. Suara terompet kerang seperti terdengar di gendang telinga Bulan--dia mau berlari sekarang juga. Mengapa?
"Kamu kenapa, Ya?"
Cahaya melihat dari bawah sampai atas orang yang menanyainya mengapa. "Ternyata bener ya kata orang-orang, Lan. Harusnya aku lebih percaya sama sahabat-sahabat aku, bukan percaya sama orang aneh kayak kamu," katanya.
Orang aneh? Bulan tidak percaya kata itu keluar dari mulut sahabatnya, teman yang paling ia sayang. Tidak! Itu bukan Cahaya. Bulan membantah kenyataan, dia tahu Aya orang seperti apa. Iya, Bulan tahu sekali. Cahaya bukan hanya cantik, Aya lebih dari itu.
"AYA!" bela Samudra. "Enggak ada yang aneh di sini!"
"Emang itu kenyataannya!" Dia berteriak kembali. Menegaskan kalimatnya--kata-katanya yang menyakitkan. "Dia mau berubah karena laki-laki, dia mau jadi cantik karena laki-laki, tujuan hidupnya cuman buat dapetin pacar! Ck, menyedihkan."
"AYA!"
"Kenapa, Dra?! Emang begitu kenyataanya. Ya, 'kan, Lan?!"
Gadis yang menyatakan perasaanya barusan hanya bisa menunduk. Iya, yang dikatakan Aya memang benar. Dia kesepian. Bulan terlalu munafik untuk mengaku bahwa ia memang kesepian. Tapi apa salahnya? Dia hanya menyatakan perasaannya pada laki-laki yang dia sukai. Apa itu salah bagi seorang perempuan aneh macam dirinya?
"Aku enggak perduli mau dia cinta mati sama kamu sampai dia rela keseruduk banteng sekalipun, aku enggak peduli! Aku enggak bakal marah," tegasnya. "Tapi kamu tahu apa? Fakta bahwa kamu nyuruh aku temenin orang aneh kayak gini bikin aku menyesal, Dra!" Cahaya mengusap air yang turun dari iris hitam miliknya. "Aku nyesel bantuin dia, aku nyesel ikutin saran kamu, dan aku nyesel temenan sama dia.
"Tau kenapa aku nyesel?! Tau kenapa?! Karena aku udah ngehabisin waktu aku buat bantuin dia jadi apa yang dia mau! Aku habisin rasa peduli aku cuman buat orang kayak dia! Aku nyakitin sahabat-sahabat aku sendiri demi bela dia! Aku enggak bakal bilang begini kalau dia enggak tahu kalau kamu itu pacar aku, Samudra!
"Masalahnya, dia tahu kenyataannya, Samudra! Dia tahu sejak awal kalau kamu itu pacar aku!"
Aya menangis sejadi-jadinya. Dia melihat Bulan sekarang. Tokoh antagonis di cerita ini. Iya, Bulan, dia tokoh antagonis nyatanya di ceritanya sendiri. Mengapa dia tidak pernah sadar sedari awal kalau dia memang tokoh jahat di sini?!
Dia membantah semua yang ia tahu--bukan!--tapi semua yang ia tidak mau. Dia menyangkal bahwa laki-laki yang ia sukai telah memiliki pacar, ia menyangkal bahwa sahabatnya memacari laki-laki yang ia cintai, ia menyangkal bahwa dirinya orang aneh yang terasingkan oleh lingkungan, dan dia menyangkal bahwa dirinya buruk rupa lebih dari apa yang ia pikirkan. Dia mau minta maaf, benar-benar meminta maaf meski rasanya terasa menyedihkan. Ia tidak berani menatap mata temannya. Teman tersayangnya. Temannya!
"Apa yang aku omongin betul, 'kan, Bulan?"
Tidak ada jawaban.
"Betul, 'kan, Lan?!"
Bukan salah matahari.
"IYA, 'KAN, LAN?!" Aya mendorong Bulan, menyuruhnya menjawab. Terus mendorong hingga tangannya memukuli Bulan secara tidak langsung. Samudra yang tahu lalu memisahkan Aya dengan Bulan. Namun apapun yang laki-laki itu lakukan, emosi perempuan tidak akan pernah kalah begitu saja.
"Kalau kesepian bilang, Lan! Kalau kamu butuh cowok, bilang! Aku bisa cariin kamu cowok yang lebih ganteng dari Samudra! Aku tahu perempuan kayak kamu itu juga cuman suka sama laki-laki ganteng doang!
"Kamu udah tau hal ini dari Salma dan Audrey, 'kan?! Kenapa kamu masih enggak percaya?! Apa karena kamu emang enggak bisa terima kenyataannya dan kembali ke hidup kamu yang menyedihkan itu?!" hinanya. "Kamu emang bener-bener enggak tahu diri, ya, Lan?"
"AYA CUKUP!"
"Kamu masih belain dia, Dra?! Kamu dikasih apa sih sama dia? Kamu dikasih keperawanannya, hah?!"
Samudra terbengong mendengarnya. Bulan juga tidak percaya apa yang dikatakan Cahaya. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Tokoh antagonis kita tidak bisa menahan ini lebih lama lagi. Tangisnya pecah di bawah sinar matahari.
"Iya, Ya! Aku emang kesepian! Aku emang menyedihkan! Aku emang enggak tahu diri! Aku enggak punya teman selain kamu! Aku enggak punya penyemangat selain Samudra! Aku emang enggak punya apa-apa untuk bertahan, aku emang...."
Cahaya tertawa. Dia memotong kalimat menyedihkan Bulan. "Ini balasan yang aku dapetin dari kamu, 'Lan?" tanyanya. "Terimakasih." Cahaya pergi begitu saja tanpa mau mendengar apa-apa. Memunggungi Bulan.
Perempuan itu berteriak memanggil nama temannya. Dia hanya bisa melihat punggung itu menjauh, disusul laki-laki yang ia sukai selama ini. Bulan mau mengejar. Dia masih memanggil nama sahabatnya sampai tenggorokannya tidak mampu berteriak karena air mata yang tertelan. "CAHAYA!" teriaknya. "Aku minta maaf...." lirihnya.
Bulan menyusul sahabat tercintanya--mengejar. Namun ketika ia ingin berlari, lengannya digenggam oleh seseorang.
"Selamat ulangtahun, Bulan!!!"
Salma dan Audrey menumpahkan tepung terigu di kepalanya sampai ke badan dan melemparinya telur hingga pecah mengenai kepala.
"Semoga panjang umur!" Salma tersenyum. Membaluri wajah Bulan dengan adonan terigu bercampur telur.
"Selamat ulangtahun!" Audrey meniup terompet kemudian.
"Selalu bahagia, ya!"
"Eh kamu beneran ulangtahun, 'kan, Lan?" tawanya kemudian.
...
"Awas, Kuda Nil!!!"
Laki-laki idiot itu menyemprotkan air dari selang ke badan dan bajunya yang penuh terigu dan amisnya telur. Dia hanya bisa menangis menuju kamar mandi. Tidak peduli apa-apa lagi. Karena memang tidak ada yang perlu dipikirkan. Basah sudah badannya sekarang.
Bulan melihat wajah bodoh Gemintang.
"Maaf," ucapnya. "Gue pikir Kuda Nil lewat. Eh ternyata mantan Kuda Nil." Kemudian tertawa menggoda.
Layaknya gigitan semut, tindakan Gemintang tidak berarti apa-apa kali ini. Membuat teman satu-satunya marah lebih menyakitkan hatinya.
Bulan masuk ke dalam kamar mandi, dia duduk di atas toilet. Menangis sebisa mungkin dengan keran yang menyala. Memikirkan betapa naifnya dia selama ini. Berpura-pura tidak tahu apa-apa, meski dia tahu keadaan sebenarnya seperti apa. Dia mau menampar dirinya sendiri, mau menghina dirinya sendiri. Dasar, pelacur!
"Gue taroh jaket gue di atas lu nih!" suara laki-laki tolol itu. Bulan melihat jaket pemuda itu di atas sekat kamar mandi. "Dipake!"
Perempuan yang sedari tadi menangis itu akhirnya keluar dengan jaket hitam kebesaran milik anak laki-laki yang tengah bersandar menunggunya di luar kamar mandi. Saat pemuda itu melihat perempuan yang ia tunggu keluar, dia tertawa.
"Gue tadi enggak ngintip! Beneran!"
...
a.n
Seperti sang penulis, cerita ini suka ghosting tiba-tiba.
Salam,
Bocah Stroberi dan Melon.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro