50 • Gemintang Tidak Pernah Tahu Apa Itu Rembulan
Remuk sudah punggung laki-laki itu, setelah berkelahi habis-habisan dengan saudaranya sendiri, ia harus tetap memanggul berkarung-karung beras--demi beberapa uang, oleh sebab itu dia berbaring di kasurnya yang hangat dengan selimut menutupi tubuh dari dinginnya dunia. Menggigil, dia demam meski selalu menampik akan kenyataan.
"Abang Tatang sakit?"
Gemintang melihat bocah di hadapannya yang mulai mencoba memegang jidatnya, namun sebelum itu terjadi--remaja itu mengenggam tangan kecil itu untuk tidak menyentuh apapun yang ada di tubuhnya.
Pemuda yang berbaring itu menggeleng, harga dirinya begitu tinggi. Apa yang akan dikatakan bocah yang paling ia sayang kalau ia tahu Gemintang itu lemah? Dia ingin berbicara, namun mengapa rasanya sulit?
"Kata siapa? Abang sehat kok."
"Bohong, ya?"
Gemintang menggeleng. Masih meringkuk di ranjangnya yang hangat.
"Kata Kakaknya Bintang, bohong itu dosa. Nanti masuk neraka."
"Abang juga tahu. Memangnya siapa yang bilang bakal masuk warung?"
Kemudian Bintang menunjukkan sebuah gambar. Di sana tergambar gajah dan kuda buatannya dengan pensil warna. Bintang memberi tahu.
"Gambar aku bagus, nggak?"
Gemintang mengangguk. Terlihat lesu. Namun dia tetap berusaha untuk menjawab. "Bagus, ini kudanya lagi lari."
"Ini macan tau!"
"Loh kok mirip kuda?" Serius, Gemintang tidak berbohong kali ini. Tetapi mengapa rasanya ingin tertawa, ya?
"Warnanya aja oren, udah pasti macan lah."
Gemintang mengangguk.
"Aku lagi gambar kebun binatang, tau, Bang."
Gemintang mengangguk. Mendengarkan cerita adik kecilnya, hingga didera kantuk yang berat, bukan karena bosan tetapi rasanya energi itu mulai hilang malam ini.
"Jadi nanti ada gajah, macan, sapi, ayam...."
Tidak terhiraukan oleh Gemintang kata-kata setelahnya. Hingga ia bertanya. "Kamu mau pergi ke kebun binatang?"
...
Saat pemuda itu membuka mata, dua pasang mata memperhatikannya. Tersenyum--salah satunya--bocah laki-laki ompong. Namun tidak dengan sepasang mata lainnya. Wajahnya terlihat mengerikan, Gemintang mau meneriakinya mengapa dia melihatnya tampak seperti mengajak berkelahi, namun rupanya badan yang ada tidak sepenuhnya kuat. Dia masih hanya terbaring di ranjangnya--kedinginan. Batuk menyerang.
"Kan aku udah bilang, istirahat, Gemintang," katanya seperti nenek-nenek. "Sekarang kalau begini siapa yang susah? Kamu juga 'kan? Besok ujian tengah semester. Kamu sehat aja nilai kamu masih seadanya, gimana kalau sakit kayak begini?"
Wah, apa-apaan ini? Dia menghina Gemintang? Namun Gemintang hanya bergumam mengiyakan. Tidak ingin berkelahi, tenaganya habis. Mau kembali tertidur.
"Ini jam berapa?"
"Jam sembilan malam."
Gemintang kembali memejamkan matanya, mencoba tidur. Namun sebelum itu, Bulan memanggilnya, menyuruhnya makan--semangkuk bubur kacang hijau.
"Makan dulu."
Gemintang tidak peduli.
Bulan mengetuk kepalanya menggunakan sendok. Kembali menyuruhnya duduk dan memakan bubur kacang di tangannya. Gemintang mengaduh, mau tidak mau, supaya hidupnya lebih tenang. Dia menuruti perintah Kuda Nil kali ini.
"Enak?" tanyanya. "Untung aku masih ada kacang ijo sisa aku buat kue."
Tidak ada jawaban.
"Habis ini minum obat."
"Iya."
Dingin di sini. Meski rasanya tidak terasa, hangat dari bubur kacang ijo membuatnya lebih baik. Sudah berapa lama dia tidak makan bubur kacang ijo? Terakhir kali kala ia sedang sakit juga, saat Bunda membuatkannya juga kala kecil dahulu. Mengapa dia jadi mengingat hal menyedihkan itu?
Kuda Nil kurus itu memperhatikannya yang sedang mencoba menelan, sementara Bintang--dia masih asik menggambar sedari lama. Mengapa rasanya menyenangkan, ya? Dipedulikan?
"Gemintang?"
Laki-laki itu bergumam. Bertanya ada apa.
"Apa cita-cita kamu?"
Hujan tiba-tiba turun di luar. Suaranya dapat terdengar. Cita-cita? Gemintang bahkan tidak dapat mengingatnya.
"Lupa."
"Coba inget-inget," katanya antusias.
"Astronot." Kata bodoh itu lepas begitu saja. Cita-cita yang sudah lama ia lupakan.
Kuda Nil dihadapannya tampak terkejut. Jelas saja, cita-cita itu teralalu muluk. Terlalu mustahil rasanya untuk bocah tolol semacam Gemintang. Bahkan rumput yang bergoyang pun akan tertawa mendengarnya.
"Kenapa?" Namun dia malah bertanya mengapa. "Kenapa kamu mau jadi astronot?"
Supaya dia bisa membawa Bundanya pergi, membuat rumah di atas bintang-bintang dan hidup bahagia selamanya. Gemintang cuman mau bahagia. Dia meletakkan sendok yang ia pegang di mangkuk. Berhenti menelan makanannya. "Pertama, gue mau jadi orang kaya."
"Bahkan sekarang ini pun kamu udah jadi orang kaya, 'kan?"
Gemintang tidak menjawab. Jawaban itu hanya alasan. Jadi dia kebingungan, Gemintang marah-marah seperti biasanya. "Terserah gue lah, kenapa lu yang sewot, sih?!"
"Kenapa tiba-tiba jadi sehat begini?"
"Karena lu bikin gue emosi."
"Kalau begitu, apa alasan kedua kamu?"
Gemintang memberi mangkuk bubur yang tidak ia habiskan pada Bulan. Rebahan di kasurnya, menutupi wajahnya dengan selimut. Malu. Namun tanpa dikontrol, kalimat itu keluar. "Gue mau buat rumah di bintang. Hidup di sana, kalau itu bisa bikin gue bahagia."
Bulan tertegun. Dia seperti menghina Gemintang dengan senyumannya. Memangnya mengapa kalau dia ingin hidup di bintang? Apa itu masalah bagi gadis yang satu ini?
"Ngayal," katanya mengejek. "Tapi aku doain supaya kamu bisa hidup bahagia, meski enggak di bintang sana." Dia tersenyum. Darah mengalir lancar menuju hati dan pikiran Gemintang kala ia melihat senyuman itu, doa tulus itu. Pikirannya salah rupanya.
Sudah berapa lama ia tidak berbicara dengan orang lain seperti ini? Berbicara tentang hal-hal kecil yang terlihat biasa namun begitu berarti? Hah, Gemintang pasti bercanda, mana mungkin hatinya ikut tersenyum sekarang?
"Kalau cita-cita lu apaan, Kuda Nil?"
"Buka toko kue."
"Cuman itu?"
Kuda Nil mengangguk. Memberikan obat panas pada Gemintang. Laki-laki itu menerimanya. Menelan pil pahit yang ia berikan. Hujan di luar masih bersuara. "Cuman itu cita-cita realistis aku sekarang. Setidaknya aku bisa hidupin Bintang dengan lebih layak, iya, 'kan?"
"Kalau begitu gue bakal sering-sering ke toko kue lu nanti," katanya. Sekarang yang ia tahu, Kuda Nil di hadapannya bukan hanya terlihat cantik dari punggungnya saja. Perempuan itu terlihat berbeda. Hujan membasahi perasaannya yang selama ini membara.
"Janji?"
Untuk apa pakai janji-janji segala? Memangnya dia tidak tahu Gemintang itu orang yang selalu menepati janji?
"Janji kamu bakal sering mampir setiap kamu kembali dari langit?" Kuda Nil tertawa. Dia tahu ini hanya candaan. Mana mungkin ada seseorang yang membangun rumah di bintang? Untuk ukuran orang paling jenius dalam sejarah saja rasanya tidak mungkin. Bagaimana hanya seorang Gemintang?--Bocah bodoh yang kerjanya hanya bisa membuat masalah seperti yang orang-orang katakan.
"Iya. Lu berisik banget, sih, Kuda Nil."
Maka Gemintang mengangguk. Menyetujui sebuah janji.
...
a.n
Halooo! Percaya enggak percaya, dua bab terakhir ini kayaknya diupdate sebulan sekali. Astaga! (gebukin penulisnya rame-rame)
Kabur...!
Salam,
Penulisan Termalas Yang Pernah Ada Dalam Sejarah Wattpad
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro