Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

47 • Gemintang Hanya Ingin Pulang

"Jangan nangis mulu!" Gemintang berhenti berjalan, membalikkan badannya untuk mengawasi perempuan yang menangis tanpa suara di belakangnya. Gemintang bisa merasakannya. Dia mendekat ke arah Kuda Nil, mendekatkan tubuhnya, menatap tajam mata gadis itu. Mata mereka bertemu.

"Lu tau? Gue paling benci cewek lemah!" bisiknya. Kemudian melihat mata berair miliknya. Mata indah itu. Canggung--Gemintang melepas tas yang ia pakai dan melemper dengan kasar pada gadis di hadapannya. "Bawa tas gue daripada nangis mulu! Lagipula enggak ada yang peduli juga lu mau nangis kayak apa," katanya.

Ia kembali berjalan mendahului Kuda Nil. Ada apa sih dengan gadis itu? Mengapa dia tidak pernah melawan?! Memangnya kalau seperti itu agar dibilang apa? Entah dia yang memang benar-benar tidak bisa melawan atau dia memang gadis tolol yang pernah Gemintang temukan.

Lihat saja sekarang, dia menangis di belakang Gemintang dengan membawa tasnya, seolah-olah Gemintang yang membuatnya menangis! Astaga.

Harusnya Gemintang pulang naik motornya sekarang, namun apa daya--bensin di kendaraannya habis, Gemintang harus bekerja hari ini di toko beras lagi agar kebutuhannya tetap terjaga. Gaji dari manggung di kafe milik Rangga masih nanti di awal bulan. Gemintang masih punya kehormatan untuk tidak meminta, dia tidak suka dikasihini.

Aduh, mengapa dia malah berjalan bersama Kuda Nil ini, sih?!

Jalannya lambat sekali, benar-benar mirip kuda nil. Dia jauh tertinggal di belakang. Gemintang kesal, dia berteriak.

Dia masih terus berjalan, memeluk tas milik pemuda itu--mendekat.

"Maaf."

Gemintang terkekeh. Maaf buat apa coba? Aish, dia tidak boleh salah paham dengan yang barusan. Gemintang menjaga martabatnya. "Oh, iya. Gue paling nggak suka nama gue dipake jadi alasan, jadi jangan pikir gue belain lu tadi, ya. Denger, nggak?!" katanya.

"Enak ya punya temen, Gemintang?" Tiba-tiba dia bertanya.

"Biasa aja."

"Aku cuman mau punya temen doang, nggak usah banyak-banyak," katanya. Menyeka air mata. "Kenapa itu susah banget, ya?"

"Buat apa punya temen?"

"Kamu bahkan nggak bersyukur akan itu?"

"Punya temen cuman bikin repot." Matanya tajam. "Lagian buat apa doa kayak gitu? Lo kesepian?"

"Kamu tau apa soal kesepian?"

Gemintang terkekeh. Meninggalkan Bulan di belakang kembali.

Dia mengejar Gemintang, masih memeluk tas pemuda itu di dekapannya. "Kalau aku kesepian, emangnya kenapa?!"

"Perasaan lu di sini berdua sama gue, dah, di mana letak kesepiannya?" Gemintang bercanda. "Udah gila lo ya?" Memangnya tahu apa soal kesepian? Gadis itu meremehkan Gemintang. Memangnya dia tidak tahu kalau Gemintang itu ahlinya kesepian? Dia cuman satu bintang yang ingin diperhatikan.

"Denger ya, arti seorang temen yang cewek lemah kayak lu nggak akan tahu. Mereka cuman dateng saat ada butuhnya, tapi kalau sudah tercapai--lu cuman perlu balas lambain tangan mereka yang pergi ninggalin lu."

"Jadi maksud kamu temen itu enggak penting?"

Gemintang mengangguk. "Cuman bikin susah."

Sekarang matanya melotot. Menatap Gemintang penuh emosi. "Omongan kamu nyakitin tau, nggak?"

"Emang itu kenyataannya."

"Kalau aku jadi temen kamu, aku bakal sakit hati, Tang."

"Lo serius banget, sih?"

"Karena orang populer yang semacam kamu itu enggak akan tau--apa arti temen di hidup kamu. Kamu udah punya banyak temen, kamu enggak akan pernah ngerasa kesepian karena itu. Kamu nggak bakal tau rasanya semua temen kamu menjauh ketika kamu udah punya semua itu." Dia melempar tas Gemintang yang sedari ia dekap kembali pada si pemilik. Gemintang menangkapnya.

"Aku cuman mau pulang," katanya menyeka air mata yang jatuh di pipinya.

Gemintang melihat punggung itu lagi. Apa dia berlebihan lagi kali ini? Mengapa punggung perempuan yang satu ini cepat sekali menjauh?

Sampai gadis itu berhenti dari langkah kakinya meninggalkan Gemintang--laki-laki itu juga diam melihat apa yang ada di hadapannya. Wanita yang selalu Gemintang sayang membuat waktu berhenti. Bunda ada di hadapannya sekarang--menunggu Gemintang pulang sedari tadi--meski Gemintang sudah memperlambat pulangnya melalui tidur siang di kelas barusan.

"Bunda masak sayur asem, kamu pulang, ya?" katanya, baju dengan motif kembang itu selalu Gemintang ingat.

Angin itu datang dari arahnya. Di depan Gemintang--dia tidak tahu harus melakukan apa. Gemintang mau pulang--tapi bukan ke rumah. Dia harus pergi--melupakan. Maka Gemintang berjalan mendahului Bulan dan Bunda, tidak peduli.

Wanita itu mengenggam lengan anaknya. Kuat. "Gemintang...."

Gemintang sayang Bunda sampai sakit rasanya untuk melihatnya. Gemintang benci ibundanya sampai tidak ingin melihat perempuan ini lagi. Serius, dengan kasar Gemintang mengenyahkan tangan Bunda dari lengannya.

Lagi-lagi perempuan itu mengenggam lengannya, terus sampai Gemintang muak dan terus menepis tangan itu lagi dengan keras.

Bunda tidak menyerah rupanya, dia mengenggam tangan Gemintang--dan memberikannya gulungan uang kertas bewarna biru. "Kalau kamu nggak mau pulang, seengaknya bawa uang ini. Bunda khawatir."

Cih, khawatir? Omong kosong macam apa ini? Mengapa baru sekarang dia khawatir? Mengapa rasanya sedih sekali, ya?

Gemintang tidak menerima. Dia tidak meminta apapun itu. Gemintang menarik tangannya yang Bunda genggam--kasar--hingga Bunda terjatuh di jalanan. Gemintang membuang uang itu.

Kuda Nil yang masih ada di sana mencoba membangunkan Bunda, dan meneriaki dirinya. "GEMINTANG!"

Hari menuju sore--matahari masih terlihat seperempatnya di langit. Burung-burung memanasi hari--berkata bahwa dia baik-baik saja meski nyatanya tidak demikian. "Saya harus pulang," katanya.

"KAMU HARUSNYA MINTA MAAF!" Kuda Nil satu ini masih meneriakinya. Sampai kuping Gemintang mau berdarah.

"NGGAK USAH IKUT CAMPUR!"

Bunda mengumpulkan uang-uang itu lagi yang tersebar di jalanan--yang Gemintang buang. Gemintang terkekeh, keringat mau menetes dari matanya. Dan saat ia melihat Samudra berdiri memperhatikannya dengan mata itu dari kejauahan, Gemintang berjalan pergi meninggalkan perempuan yang paling ia sayang dengan peluh dari mata membasahi pipi Gemintang.

...

"Sehat, Sob?" Laki-laki itu menepuk pundak Gemintang. Tertawa setalahnya.

"Lo?"

"Gue?" tanyanya. "Lo bisa liat sendiri pipi gue biru." Terkekeh kemudian.

Gemintang mengikatkan helm di stang motornya--kemudian dengan jelas melihat biru di pipi Rangga akibat tangan Gemintang kemarin--saat ia memukulinya untuk membela gadis itu. Ralat, karena Rangga yang berisik menganggu tidurnya.

"Minggir." Dia mengelak. Gemintang mau masuk ke kelas--mau tidur di pagi ini. Dia lelah. "Mau gue tambahin tuh birunya?" canda Gemintang. Ia merangkul pundak Rangga.

"Lo nggak perlu tampil lagi, Tang, besok malem."

"Maksud lo?" Gemintang melepas rangkulannya.

"Tampil di kafe."

Hah? Apa maksudnya? Apa yang bocah satu ini bicarakan? Dia memecat Gemintang dari kafe? Dia dendam karena Gemintang memukulinya? Astaga, kekananak-kanakan sekali sahabatnya yang satu ini. Gemintang tertawa.

"Lo ngeluarin gue?"

"Lo mukulin sahabat-sahabat lo sendiri karena itu jablay, Tang?"

Gemintang melotot. "Maksudlu apa?"

"Wah, wah, wah, Gemintang ngebela cewek yang dulunya suka dikerjain karena sekarang dia udah jadi cakep, ya, Tang?" Rangga tertawa.

Gemintang tidak punya urusan meladeni laki-laki yang satu ini di pagi-pagi begini. Lagipula sekarang Gemintang tahu bagaimana sahabatnya yang satu ini bertindak kalau terjadi masalah seperti ini. Dia meninggalkan Rangga di belakang--toh,  dia masih bisa mencari pekerjaan yang lain untuk kebutuhannya sendiri. Gemintang tidak sudi menjilat kaki itu.

"Omong-omong, lo mesti bayar jasa gue bulan ini."

Rangga terkekeh. "Nomor rekening lo masih sama 'kan?"

Gemintang mengangguk. Tersenyum.

"Dan satu lagi, kalau lo punya masalah sama temen lo. Mending lo tonjok mukanya sekalian!" katanya. Gemintang muak.

...

Ini hari terakhir hukuman untuk Gemintang dan temen-teman sekelasnya--yang ikut perkelahian--karena kejadian dua hari yang lalu. Dan Senin depan ujian sudah dimulai. Gemintang mengambil kain pel dan pergi ke kamar mandi untuk mengisi embernya--setelah Shania, Jesika dan Mario selesai menyapu lobi lantai dua, setelah pulang sekolah.

Kemudian ia mulai melakukan pekerjaannya bersama Samudra, Nata dan Cahaya--mengepel lantai. Ah, mengapa dia harus melihat Berengsek yang satu ini, coba? Melihat wajah Samudra membuat Gemintang mual--ingin memakinya.

Gemintang memegang gagang pelnya dan Samudra mulai memeras. Bersama-sama tanpa suara. Setelahnya, dia mengepel lantai itu dengan terpaksa, Gemintang lelah. Punggungnya sakit akibat membawa berkarung-karung beras setiap hari dan tambah sakit saat bersama dengan seseorang di hadapannya.

"Niat nggak sih ngepelnya?"

"Enggak."

"Kalo males, nggak usah dilakuin. Cuman bikin capek." Samudra merebut gagang pel yang Gemintang pegang. Namun dia menolaknya.

"Nggak usah."

Akhirnya Gemintang terus mengepel lantai koridor, kemudian membasahi kain pel itu lagi dan diperas kembali oleh Samudra. Gemintang tidak melihat wajah Samudra, meski dia tahu--kembarannya itu menatap wajahnya terus-menerus. Bau karbol tercium--hinggap di hidungnya.

"Lu kerja?"

"Bukan urusan lo." Gemintang memasukkan kain pelnya ke dalam ember karbol dengan kencang--airnya memuncrati baju dan wajah Samudra. Gemintang tertawa.

Samudra hanya mendesah. Apa dia tidak marah? Gemintang terkekeh.

"Di mana?"

Gemintang tidak menjawab.

"Sampe malem?"

"Anjing, nanya mulu lo kayak pembantu baru."

Samudra berdiri dari jongkoknya karena telah selesai memeras--air di dalamnya sudah kotor. Gemintang berkata. "Ganti airnya, udah kotor tuh."

Samudra tidak menjawab. Tidak bertanya lagi. Gemintang kembali melanjutkan tugasnya, tidak mau melihat orang itu lebih lama.

"Kalau enggak mau pulang, itu terserah, Tang! Itu hak lu."

Gemintang berhenti dari pekerjannya, mencerna apa kata laki-laki di belakangnya bilang.

"Tapi jangan pernah kasar sama Bunda gue."

Pemuda itu terkekeh, terdiam. Bunda gue? Jadi maksudnya dia bukan ibunya Gemintang? Oh, jelas saja. Setelah sekian lama dia menutup mata karena Bunda lebih cinta sama dia, sekarang dia sadar rupanya.

"Iya, dia Bunda lo, bukan Bunda gue!" ketusnya. "Lo tau, Dra? Dia bahkan enggak pernah anggap gue kayak anaknya!" Gemintang melempar gagang pel dengan keras.

"Jadi dengan alasan itu, lu bisa kasar sama Bunda?" tanyanya. "Lu nggak akan pernah dianggap, karena lu tau lu apa? Lu cuman sampah, Tang. Lu enggak berguna sedikit pun di hidup seseorang!" sambungnya. "Dengan semua kebobrokan yang ada di diri lu, nggak akan ada orangtua satupun yang bakal anggap lu anaknya."

"LO MAU MATI, HAH?!" teriaknya.

"Nah, ini, lu harusnya koreksi diri lu sendiri! Lu udah bisa belom dianggep sebagai manusia?!"

Gemintang menendang ember berisi air bewarna hitam itu, mengalir membasahi lantai--mengotori. Amarahnya membesar, keringat menetes di dahinya.

Nata datang karena keributan ini. "Wah, ada apaan, nih?" cengengesnya.

"Lu bisa salahin gue karena kebobrokan lu, tapi lu nggak bisa salahin Bunda gue."

Bunda siapa?! Bunda apanya?! Mengapa dia terus menyebut bahwa itu ibunya seorang?!  Hah, astaga. Gemintang mau tertawa. Oksigen sepertinya habis sekarang juga. Tangannya terkepal, urat di lehernya tidak bisa ditahan sekarang juga.

"Lu nggak berguna, Tang," katanya lagi. "Pergi yang jauh, dan jangan pernah liatin muka lu di depan Bunda!"

"Anjing." Bom meledak detik itu juga. Ia meninju wajah laki-laki di hadapannya. Gemintang jengah. Nata berteriak memanggil orang-orang dari lantai dua.

Samudra mengelus pipinya. Dia menyeruduk Gemintang--mendorongnya sampai menyundutkannya di tembok luar kelas. Gemintang tidak mau kalah, apinya terus menyala selama ini. Maka ia menyikut punggung Samudra terus-menerus yang menyundutkannya.

"SAMUDRA! GEMINTANG!" Aya yang ada di sana selain Nata--berteriak, mencoba mendekat--namun Nata menghalaunya.

Samudra terjatuh. Gemintang mau mengahajarnya, namun Samudra lebih dahulu menendangnya dalam posisi tidur. Samudra bangkit, meninju Gemintang--Gemintang menyerang balik dengan menyekik Samudra--membawanya ke dalam kelas, kemudian menendang Abangnya itu sampai ia terjatuh lagi. Samudra berteriak. Kata-kata kasar terlontar dari bibirnya.

"NATA, TUTUP PINTUNYA!"

...

a.n

Makasih buat semua yang sudah bertahan sampai sini. Cerita ini beneran enggak selesai-selesai, kenapa, ya?

Salam,

Laki-Laki Bodoh Dengan Mimpi Setinggi Langit

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro