Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46 • Bulan Tidak Tahu Siapa Dirinya Di Atas Sana

Gadis itu menyeret plastik hitam besar berisikan sampah dedaunan dan botol-botol plastik milik Gemintang. Ah, kalau diingat-ingat barusan, mengapa Bulan bisa mengatakan hal bodoh seperti tadi, ya? Ya Tuhan, tolong telan Bulan ke dalam tanah sekarang.

Bodoh, bodoh, bodoh. Mengapa Bulan bilang bahwa dia peduli sama Gemintang?! Mau ditaruh mana mukanya jika bertemu dia lagi? Astaga. Bulan mengacak-acak rambutnya sembari terus menyeret sekarung sampah itu. Mengapa mulutnya tidak bisa dikendalikan, sih?

Namun sebesar apapun rasa benci dia dengan Gemintang atau rasa benci laki-laki itu pada dirinya, Bulan tidak mengerti mengapa mereka terlihat saling memedulikan. Gemintang selalu terlihat peduli padanya.

"Kantong plastiknya bolong, jangan diseret!" Samudra berlari mendekat setelah memungut botol-botol yang berceceran.

"Maaf-maaf, aku enggak tau."

Laki-laki itu kemudian menaruh sampah-sampah yang berserakan tadi di kantong yang Bulan bawa, kemudian mengangkat bagian bawah kantong itu. "Gue bantuin."

Dia membuat ekspresi polos dan tampan, astaga, wangi melonnya tetap tercium meski ada berbagai macam sampah di sini! Ini yang namanya bidadari, tetapi Samudra kan laki-laki, lantas apa namanya? Apapun itu, Bulan tersenyum sendirian. Ia mengangguk, menyetujui bantuan Samudra.

Namun mengapa dia mengganti kata saya menjadi gue pada Bulan?

Hingga mereka mengangkatnya bersama-sama, kemudian membuangnya di bak sampah dekat pintu belakang sekolah. Bulan tidak bisa berhenti tersenyum melewati momen itu.

"Makasih, Dra."

Samudra mengangguk. Tersenyum lagi. Manis sekali. "Duluan ya, mau beli air."

Bulan mengangguk. Rasa sukanya masih tetap sama rupanya. Tapi apa benar dia sudah memiliki Cahaya? Mengapa mereka tidak pernah membicarakannya?

"Samudra!" panggilnya. Bulan harus bertanya, harus! Dia tidak mau menyakiti hati Cahaya--temannya, sungguh. Agar Bulan bisa menahan rasa sukanya.

"Kenapa?"

Namun saat Samudra bertanya ada apa dan menatapnya dengan mata itu dan bau melon yang menusuk hidungnya, Bulan kebingungan. Dia takut akan jawabannya yang menyakitkan.

...

Cahaya matahari menembus kelas melalui jendela kaca, orang-orang sudah pulang sedari tadi--namun Bulan masih berada di tempatnya--mengerjakan tugas--dengan Gemintang yang tertidur sedari tadi di barisan belakang. Ujian tengah semester minggu depan, dan Bulan tidak mau menyia-nyiakan waktunya.

"Punya air, nggak?" tanyanya. "Gue haus."

Bulan memberikan air mineral yang ia bawa dari rumah. "Jangan dihabisin."

Kemudian Gemintang mengambilnya kasar dan minum dengan cepat. Saat ia mengembalikan botol air itu, Bulan sadar air di botolnya telah habis.

Gemintang tertawa dan melebarkan mulutnya. Astaga, kalau bisa, Bulan mau melemparkan botol itu pada mulut Gemintang!

"Makasih, Kuda Nil yang sekarang udah cantik." Dia masih membahasnya. Kemudian mengambil tas nya yang ada di belakang, dan berjalan ingin pergi.

"Mau kemana?" lanjut Bulan. "Beliin aku air yang baru!"

"Beli aja sendiri, emang lu nggak punya kaki?"

"Kamu udah habisin air aku, ya, Tang! Tanggungjawab!"

"Kan lu sendiri yang ngasih, Kuda Nil cantik."

"Tapi aku bilang jangan dihabisin."

"Masalahnya air yang lu kasih cuman sedikit, badan gue enggak sekurus badan lu itu!" katanya mengejek. "Udah, gue mau pulang!"

Bulan berdiri dari duduknya. Dia kesal sekali. Namun sebelum Gemintang pergi, perempuan itu menanyakan hal yang tak seharusnya. "Hidung kamu udah baikkan?"

Gemintang tidak menjawab, dia melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan si gadis di kelas seorang diri.

"Aku bisa tonjok kamu loh, Tatang!" Dia hanya berani pada Gemintang.

...

"Seneng dibelain Gemintang, hah?!"

"Seneng lah, Shan. Siapa yang enggak seneng dibelain pacar kamu yang ganteng itu?" Jesika memanasi.

Telunjuk itu menoyor kepala Bulan. "Licik banget jadi perempuan, nungguin Gemintang yang lagi tidur buat deketin dia," katanya. "Jangan jadi pelacur, tolong, Bulan. Gue tau lo miskin, tapi enggak gini juga kalau lo mau lebih cantik dari sekarang. Jangan deketin Gemintang kalau lo cuman mau manfaatin dia, gue jijik liatnya."

"Kasih tau, Shan!" Salma mendukung Shania sekarang. Dia meminum es tehnya itu kemudian.

"Denger, nggak?" Gadis itu menempeleng kepala itu lagi.

Bulan hanya bisa mendengarkan. Dia mengerti sekarang, benar-benar mengerti. Tidak peduli dia cantik atau tidak, Bulan akan selalu seperti ini. Ini sudah takdirnya. Dia baru paham akan kenyataan itu, bahwa teman hanya angan-angan di pikiran Bulan. Salma dan Audrey--sahabatnya tiba-tiba memusuhi dirinya. Bulan ingin tertawa.

"Besok bikin roti lagi, biar gue beli semua. Biar lo nggak miskin lagi dan jadi jablay lagi, oke?!"

Jesika mengenggam tangan Shania. "Udahlah, Shan, yuk pulang, gue capek liat nih muka yang sok cantik. Dia enggak ada apa-apanya kalau nggak ada Cahaya."

"Kasihan banget, sih, Cahaya, punya temen kayak gini." Salma memandang sinis Bulan begitu juga Audrey. "Berhenti gangguin cowok-cowok, Lan. Itu menjijikan."

Bulan tidak bisa diam melihat temannya sekarang seperti ini. Ada apa? Bulan tidak mengerti. "Apapun itu, Sal. Aku nggak pernah ganggu cowok mana pun, kamu tahu itu."

Salma menghela napasnya. Menatap Bulan kemudian menyiram es teh yang ia punya ke wajah Bulan hingga basah sampai seragamnya. "Jangan ngadu ke Aya, atau gue bener-bener ngebenci lo selamanya!"

Bulan kebingungan, benar-benar kebingungan. Mengapa? Mengapa Salma dan Audrey tidak bercerita? Itu hanya membuat bingung dirinya dengan kesalahan apa yang telah ia buat. Serius.

Dia mengenggam tangan Salma. "Aku minta maaf, meski aku enggak tahu salah aku apa," katanya. "Tapi aku beneran enggak tahu, kenapa Sal...." Air matanya turun, namun ia menyekanya.

Salma melepaskan tangan itu dari lengannya dengan kasar. "Berisik!"

"Kenapa, Sal?!" Bulan tidak tahan. Dia tetap mengenggam tangan Salma.

Salma terkekeh. "Lo tau? Pak Galang masuk penjara gara-gara siapa?"

"Hah?"

"Lo bikin guru nggak bersalah keluar dengan enggak terhormat. Lo tahu itu!"

"Aku enggek ngerti, Sal. Aku korbannya. Aku yang dilecehin dia!" Bulan masih mengingat kejadian itu. Kejadian mengerikan itu.

"Kalo lo nggak godain, lo nggak bakal digituin, Bego!" katanya, Salma muak. "Lo mau godain siapa lagi demi kecantikan murahan lo itu setelah Pak Galang sama Gemintang?! Lo mau godain Samudra?! Lo bener-bener murahan, Lan!" Dia mendorong Bulan ke belakang, mengambil sisa-sisa es batu yang terjatuh di lantai, dan melemparinya.

Audrey tertawa. Jesika dan Shania membantu melempari es batu kotor itu pada Bulan. Bulan hanya bisa menahan dengan tangannya.

Hingga suara meja tertendang terdengar kencang di depan pintu kelas. Mereka semua terdiam, melihat siapa yang datang. Angin itu berembus, cahaya matahari semakin terasa panas di sini. Bulan hanya mau pulang ke rumah.

Tidak ada lagi lemparan es batu, dan kata-kata makian. Semuanya berhenti seketika saat ia datang.

Gemintang mendatanginya sembari membawa sebuah air mineral. Ia menaruhnya di atas meja. "Nih, gue gantiin air lu!" Gemintang tertawa. Melihat para perempuan, Shania, Jesika, Salma dan Audrey satu persatu. Kemudian melihat Bulan tersungkur di lantai. "Lu beneran cuman berani nonjok gue doang, Kuda Nil?"

...

a.n

Harusnya saya bisa update dua kali seminggu karena lagi work form home sama kuliah juga lagi off. Tapi pas mau nulis tuh bingung mau nulis apaan XD

Lagi-lagi, rekomendasi cerita humor dong yang baik hehehe :3

Salam,

Pemberi Harapan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro