Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44 • Gemintang Tidak Tahu Jalannya Kembali

Pada akhirnya segalanya berakhir di lapangan sekolah dengan sapu di genggaman tangan. Anak laki-laki itu menyapu lapangan yang dijatuhi banyak daun kering dari atas sana--pohon-pohon di sekeliling sekolahnya.

"Nyapunya yang bener!" teriak guru perempuan tercantik yang pernah laki-laki itu temukan pada semua yang berdiri di lapangan. "Enggak semua hal bakal selesai dengan kekerasan," katanya.

Yang lainnya mengeluh di bawah panas matahari pagi.

"Panas, Bu!"

"Saya 'kan enggak ikut-ikutan berantem."

"Aduh, capek, haus, mau minum...."

Namun Ibu Dini hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Gemintang masih terus menyapu, mengumpulkan daun-daun itu di satu tempat meski sedari tadi Shania menganggu segalanya dengan menempel di lengan Gemintang terus menerus. Seperti sisa makanan di sela-sela gigi buaya, burung itu mencoba menghilangkannya.

"Shania! Ngapain kamu nemplok di badan Gemintang terus? Kayak cicak aja."

"Saya 'kan pacarnya, enggak masalah dong, Bu Dini?"

"Masalahnya sekarang, kamu juga lagi dihukum, bukannya malah nempel di badan pacar kamu itu," jawabnya. "Lepas, atau hukuman kamu bersih-bersih lapangan ditambah seminggu lagi?!"

Shania menyoraki wanita dewasa itu--melepaskan genggamannya yang terus berada di badan Gemintang dan pergi meninggalkannya. Anak laki-laki itu tersenyum, melanjutkan hukumannya yang akan berlangsung selama tiga hari--khusus untuk dirinya, Bulan, Cahaya, Samudra, Shania dan semua yang berkelahi di kelas barusan--namun yang lainnya cukup satu hari saja, wow. Ah, Gemintang seperti sudah kebal dengan hukuman seperti ini, apa tidak ada yang lebih mengerikan lagi?

"Besok jangan lupa bersihin sekolah lagi." Ibu Dini mendekat pada Gemintang, dia memberikan sebotol minuman.

Gemintang tersenyum lagi. Daun-daun jatuh dan menari di atasnya, menembus pohon, senyuman Ibu Dini tiba-tiba datang dan mendinginkan hatinya.

"Kadang salah satu cara terakhir supaya orang-orang mengerti itu dengan kekerasan."

Gemintang mendengarkan--meminum air yang gurunya paling sayang berikan--memperhatikan wajahnya.

"Tapi kekerasan enggak pernah menyelesaikan masalah, kamu tahu?"

"Kata siapa? Buktinya mereka paham. Enggak ada yang berantem lagi, 'kan?"

"Tahu darimana? Kelihatannya sih begitu, tapi hati seseorang siapa yang tahu? Memangnya kamu tahu apa isi hati saya?"

"Tahu."

"Apa?"

"Saya." Gemintang melebarkan senyumannya--menunjukkan gigi. Seperti anak kecil, Ibu Dini siap menjitak kepalanya.

"Kamu bilang apa?!"

"Masa saya ulangin lagi? Nggak mau ah."

"Ulang!" Ibu Dini mencubit perut Gemintang. Gemintang mengaduh dan terpaksa.

"Saya tahu isi hati Ibu, di sana cuman ada saya."

Seketika Ibu Dini menepuk pantat Gemintang dengan keras. Gemintang mengaduh, memegangi pantatnya yang terasa panas, astaga dia baru sadar bahwa Ibu Dini adalah guru olahraga.

Dan pada akhirnya, hukuman Gemintang berubah menjadi lompat kodok di tempat. Mantap sekali.

"Berani-beraninya godain guru."

"Ibu sendiri yang mancing."

"Saya cuman enggak mau kamu bereaksi sesuka ego kamu, kamu bisa pikir baik-baik sebelum bertindak," katanya. "Saya nggak mau kamu punya masalah."

Angin berhembus saat itu juga.

"Jangan bikin sedih orang yang sayang sama kamu, oke?"

...

Apa maksudnya? Gemintang tidak pernah membuat sedih orang yang sayang sama dia, lagipula ada berapa sih yang sayang Gemintang? Seperti Gemintang disayangi semua orang saja. Ibu Dini--dia enggak pernah sedih 'kan kalau di dekat Gemintang? Bintang--tidak juga, apa mungkin iya, dia sering menangis kala Gemintang menggulatinya--tapi bukan itu maksudnya membuat sedih 'kan? Siapa lagi yang sayang Gemintang? Hanya mereka yang ia tahu.

Mario? Oke, mungkin barusan ia habis Gemintang pukuli, tapi sahabat idiotnya itu tidak mungkin sedih. Ayah? Jelas Gemintang tahu dia tidak pernah diinginkan olehnya. Bunda? Mengapa Gemintang selalu mau menangis rasanya setiap ingat Bunda? Dan Samudra? Apa dia sayang Gemintang layaknya saudara? Tidak mungkin.

Laki-laki itu mengangkat sekarung sampah yang harus ia bawa ke tempat sampah belakang--hukuman terakhir hari ini. Keringat menetes di dahinya.

"Hidung kamu berdarah." Kuda Nil di hadapannya.

Gemintang mengusap filtrum hidungnya, ia merasakan itu--cairan kental yang keluar dari lubang hidung. Ketika ia melihatnya, Gemintang hanya terkekeh.

Tangan gadis itu mengenggam tangannya, menarik Gemintang--membawanya menuju keran air terdekat yang di sediakan di setiap sudut sekolah. Meskipun dengan paksa dan kasar, angin itu membuat Gemintang mengikuti ajakannya.

Dia membuka keran air, mengambil air itu untuk membilas darah di hidung Gemintang dan kemudian menekannya dengan perlahan. Gemintang sesak napas, ia melihat gadis itu--Kuda Nil, dengan rambut terkucirnya, peduli. Hah, apa-apaan ini? Mengapa anginnya kencang sekali?

Ia menepis tangan perempuan di sebelahnya untuk tidak membilas dan memijat lembut hidung Gemintang. "Gue bisa sendiri."

Dia berhenti.

Gemintang mengangkat kepalanya ke atas, Kuda Nil memperingatkan. "Kamu cuman bikin darahnya masuk ke dalem hidung."

"Sok tau!"

Kuda Nil ini kemudian menundukkan kepala Gemintang, tidak sopan sekali, minta dihajar apa bagaimana sih?

"Teken hidung kamu biar berhenti." Dia merogoh kantongnya, cepat sekali.

"Kenapa?"

"Aku enggak bawa tisu lagi, aduh," katanya. Kemudian ia melepaskan dasinya, membasahi dasi miliknya itu dengan air--mengompres dan menahan darah agar tidak keluar terus menerus dari hidung Gemintang. "Tenang, dasinya baru aku cuci kemarin."

"Aduh, sakit, Kuda Nil!" aduhnya. "Gue bisa sendiri." lagi-lagi Gemintang menepis.

"Kamu sakit? Pusing, nggak?"

"Kata siapa? Mana mungkin gue sakit, gue kuat. Gue cuman kecapekan doang."

Gadis itu melepas jemarinya yang menahan dasi di hidung Gemintang. "Tahan. Jangan dilepas." Ia membiarkan Gemintang menahan lubang hidungnya agar berhenti mengeluarkan darah meskipun sedikit.

Gemintang lagi-lagi memerhatikan perempuan di sebelahnya. Untuk apa dia sampai membiarkan dasinya terkena darah orang lain? Tidak usah sok peduli, urus saja urusannya sendiri. Pasti dia merendahkan harga diri Gemintang dalam hatinya sekarang.

"Udah, darahnya udah mulai berhenti," ketus Gemintang. "Sekarang lu pergi, nggak usah sok peduli!"

Bola matanya berputar. "Terserah."

Ia membasuh tangannya di wastafel. Selanjutnya benar-benar pergi, berjalan ke arah sekarung sampah--mengangkatnya--yang harusnya Gemintang buang sekarang.

"Mau lu apain?!" teriaknya dari kejauahan.

"Apa?"

"Ngapain lu bawa sampah itu?"

"Kamu mau buang sampah ini, 'kan?"

"Iya!"

"Ya aku mau buang sampah ini. Katanya kamu kecapekan"

Wah, apa maksudnya? Gemintang berjalan ke arah Kuda Nil yang sekarang mulai digilai para laki-laki kecuali Gemintang, bertanya sekali lagi.

"Dibilangin nggak usah sok peduli, batu amat sih kepala lu? Pergi! Gue bisa bawa sendiri!" Gemintang menarik sekarung sampah itu paksa dari tangan Bulan. Namun kemudian menjatuhkan dasi milik gadis di hadapannya yang menahan darah di hidung dan berakibat darah itu keluar kembali. "Ahhh...."

Bulan mengambil dasi itu lagi, menarik lengan Gemintang kembali ke wastafel, membasuh dasi itu dan mengusap hidung Gemintang lagi. Bocah laki-laki itu mengaduh.

"Sakit, Kuda Nil!"

"Cemen."

"Apa? Coba ngomong sekali lagi!"

"Gemintang, denger, ya. Sama kayak kamu yang benci aku, aku juga benci sama kamu--serius, nggak ada orang di dunia ini yang aku benci selain kamu," katanya. "Tapi bukan berarti aku enggak peduli sama kamu."

Gemintang terdiam. Mencerna kalimat barusan.

"Diem, Istirahat dulu di sini," perintahnya. "Astaga, aku berasa lagi ngurusin Bintang--adek aku."

Kemudian ia pergi lagi--berjalan sembari membawa sekarung sampah milik Gemintang. Sebelum benar-benar menjauh, Kuda Nil melihatnya dari kejauhan, Gemintang bisa tahu dia mengucapkan apa meski tidak terdengar. Diam saja disana, katanya tanpa suara.

Gemintang tidak membalas, ia hanya memperhatikan bagaimana caranya perempuan itu berjalan dari belakang dengan menenteng karung sampah besar dan berat itu. Hingga ia bertanya, mengapa punggung gadis itu terlihat cantik ketika Gemintang melihatnya? Mengapa dedaunan turun begitu saja di depan matanya?

Apa benar Kuda Nil itu benci dirinya?

...

a.n

Enggak di dunia oren apalagi dunia nyata, kerjaannya gantungin anak orang mulu.

Semoga kalian masih bisa maafin saya, ya. Tolong :3

Omong-omong, kenapa saya seneng banget ya bikin part Gemintang-Ibu Dini, kalian setuju nggak kalau mereka bersama?  (wajar 'kan, ya?!/maksa)

Salam,

Pencari Jalan Pulang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro