43 • Bulan Di Angkasa Bersama Pasangannya
"Kenapa ya gue jadi makin sayang sama Bintang?"
"Kamu beneran suka anak kecil?"
"Kata siapa? Gue cuman sayang sama Bintang. Gue bisa lihat ada diri gue di hatinya," katanya. "Jiah...."
Bulan tersenyum menatap mata itu. Bocah laki-laki di hadapannya masih sama--masih seperti dulu-dulu. Bulan tidak pernah tahu apa yang ada di pikiran Gemintang, sebentar dia menyebalkan, sesaat dia orang paling jahat yang pernah perempuan itu lihat, dan beberapa saat kemudian dia bisa menjadi pelindung berhati hangat yang selalu bisa membuat Bulan merasa aman.
Bulan benar-benar kebingungan, dia benci Gemintang--serius, untuk setiap yang ia lakukan padanya dahulu, namun Gemintang mungkin adalah teman pertamanya--saat pipinya membiru akibat melindungi Bulan dengan tololnya karena sebuah es krim. Bulan tidak tahu ke mana arah angin berada.
"Lu masih suka Samudra?"
"Apa?" Bulan mengerjap. Ia memastikan pertanyaan itu meski ia tahu jelas.
Dia berjalan keluar rumah. Ingin pulang. "Lupain aja, gue udah tahu jawabannya."
Iya, dia suka Samudra lebih dari siapapun. Sudah berapa kali ia berkata itu sejak dahulu, sejak semua orang tidak ada yang mau tersenyum padanya--hanya Samudra--satu-satunya yang bisa membuat Bulan menjadi manusia seutuhnya.
Tapi sejak kapan Gemintang tahu? Yang Bulan ingat, Gemintang hanya pernah mengejek dirinya yang berubah menjadi lebih cantik karena seorang laki-laki. Tapi bagaimana dia tahu kalau itu Samudra?
Sebelum Gemintang benar-benar berjalan pergi meninggalkannya. Bulan memanggil. "Gemintang."
"Kenapa, Kuda Nil?"
"Terimakasih udah selalu nolong."
"Jaga diri baik-baik makanya," ingatnya.
Bulan mengangguk.
"Besok masuk sekolah, 'kan?" tanyanya. "Lu tau 'kan kalau korban kasus kayak gini enggak bakal dibeberin ke mana-mana."
...
Bisik-bisik menguar di udara begitu gadis itu melewati lorong-lorong sekolahnya. Ia yakin benar bahwa orang-orang menganggapnya pelacur sekarang. Mengapa?
"Lihat, ada jablay lewat."
"Kok dia enggak dikeluarin, sih, dari sekolah?"
"Ternyata rahasia cantiknya itu jual diri ternyata, sampai guru di sini pun ditawarin sama dia ... ck ck ck."
Apa maksudnya? Bulan menunduk, jalannya kembali menjadi seperti dahulu--tergesa-gesa dan menunduk seakan-akan ia tidak pernah terlihat meski badannya besar. Cepat-cepat ia berjalan ke kelasnya, mau duduk dan mencerna semua perkataan tidak mengenakan itu pagi ini.
Namun sebelum ia memasuki kelasnya, Seorang perempuan melewatinya--menabrak pundak Bulan dari belakang. Bulan terkejut bukan main, namun ketika ia tahu itu Salma dan Audrey--temannya, Bulan tersenyum--menyapa mereka.
"Salma, Audrey!" Dia memanggil.
Salma bergeming. Ia malah tersenyum sinis padanya, dan pergi meninggalkan Bulan sendirian. Audrey kebingungan melihat reaksi Salma dan ikut mengikuti kawannya itu pergi.
Bulan kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Ini seperi masa-masa itu, saat ia tidak memiliki teman--saat ia dikucilkan, saat ia kebingungan harus bertindak bagaimana meski seharusnya tidak serumit yang ia bayangkan. Bulan terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak.
Gadis itu akhirnya masuk ke dalam kelasnya yang ramai, namun saat ia datang tiba-tiba suara-suara itu menghilang terbang ke angkasa. Bulan merunduk, suara-suara menyakitkan itu terdengar kembali.
Ia melihat Cahaya--satu-satunya orang yang menyambutnya dengan senyuman.
"Hai, cewek," goda Mario genit.
"Kiw... Kiw..."
"Wow, Bulan makin hari makin cantik aja." Kemudian mereka tertawa--anak laki-laki, mereka mengejek yang tidak-tidak. Nyaring sekali sampai rasanya telinga mau berdarah mendengarnya.
Bulan duduk di mejanya, Aya mengelus-elus punggung Bulan, dan tepat di sana--Bulan menangis. "Sebenernya aku salah apa, sih, Ya?" bisiknya.
"Kamu nggak salah, Ya. Mereka yang enggak tau ceritanya, jangan nangis, oke?" tenangnya.
Suara-suara itu kembali terdengar. Terdengar lebih kencang dari sebelumnya dengan tawa khas mereka semua. Tidak anak laki-laki dan tidak juga anak perempuan. Mereka sama saja.
"Nanti malem, kosong nggak, Lan?"
"Abang Nata lagi nyari cewek, nih."
"Bukannya lu juga mau, Yo?"
"Asal jangan sampe ketauan aja kayak kemaren."
"Gemintang, lu mau nggak?"
Gemintang? Bocah itu ada di sana? Di belakang? Kenapa Berandalan itu tidak menceritakan yang sebenarnya ke teman-teman tololnya itu? Bulan itu korban, dia tahu itu. Tidak! Astaga, Bulan sadar rupanya,Gemintang itu jahat! Dia pasti sudah menceritakan semuanya, namun dengan cerita berbeda. Persetan. Sebenarnya salah Bulan pada laki-laki itu apa sih? Apa dia senang melihat Bulan seperti ini?
"Aku nggak tahan." Aya berdiri dari tempatnya. Bulan menahannya, menggenggam tangannya, namun tenaga Cahaya luar biasa dahsyatnya.
"Lu semua laki-laki, bukan, sih?"
"Hah?"
"Jaga omongan kalian, bisa nggak?!"
"Bisa," ledek anak laki-laki serentak. Penuh tawa.
"Mulut lu semua pada kayak bangkai tau, nggak?! Bulan itu korban, dia enggak pernah jual diri, kalau nggak tau ceritanya, mending diem, lu semua cuman bikin sakit hati!" katanya. "Gue saksinya, Salma, Audrey dan Gemintang juga saksinya. Iya, kan?"
Cahaya memandangi mereka bertiga yang duduk di belakang. Namun tidak ada respon dari Gemintang, bocah itu pura-pura tertidur di belakang, sementara Audrey kebingungan karena Salma menggelengkan kepalanya.
"Salma?!"
"Udahlah, Ya, nggak usah belain si benalu itu terus, emang nyatanya dia jual diri, kok." Shania bangkit, maju ke depan--tempat di mana Bulan duduk. "Jadi berapa kalau semaleman?"
"Mulutlu mau gue jambak?!" Cahaya membela.
Seisi kelas bersorak mendengar perkataan Cahaya. Mereka bertepuk tangan pagi ini.
"Lima ribu, gue pegang Cahaya."
"Lima ribu, gue pegang yang menang."
"Curang, lu, Setan!"
"Bener lah, dia nggak dapet Gemintang yang kaya, beralih ke Pak Galang, untung kesayangannya gue pinter. Dia cuman cinta sama gue." Kemudian Shania tertawa. "Makanya, kalau udah miskin, jelek, nggak usah belagu."
"Wah, jahat bener mulut lu, Shan."
"Nenek lampir emang."
"Buseh, jangan ngatain ceweknya Gemintang, ntar lu digebukin, Kampret."
Bulan hanya bisa mendengar mereka. Dia tidak mau menunjukkan wajahnya yang penuh air mata. Dia menangis, lebih dari yang ia bayangkan saat Cahaya--sahabatnya membelanya--jauh lebih menangis daripada itu.
Dia tidak tahu apa lagi yang harus dikatakan. Rasanya jauh lebih sakit.
"Bisa diem nggak sih, mulut lu?" tanyanya. "Lu juga perempuan, 'kan?"
"Tapi gue enggak bakal jual harga diri gue!"
"Karena emang harga diri lu udah nggak ada!"
"Lu bilang apa?"
"Harga diri lu udah nggak ada," tegas Aya.
Tangan kanan Shania mau menampar Aya, namun sebelum itu, Bulan berhasil menahannya. Bulan mencengkram pergelangan tangannya, membuat Shania kesal dan tangan kirinya menyerang Bulan untuk menamparnya juga. Akan tetapi dengan cepat Samudra datang menangkap tangan Shania.
Samudra--sang ketua kelas datang, bagai pangeran yang menyelamatkan tuan putrinya. Sementara Romeo yang juga baru datang bersama Samudra sadar kalau ini adalah aib kelas, maka ia menutup pintunya.
"Kalian pikir, kalian anak kecil?!"
"Takut ..., ada ketua kelas...." Mario menceletuk dari mejanya.
"Lu bisa diem, nggak, Yo?!" tegur Samudra.
"Eh, iya, maap."
"Kalau kalian mau berantem, nanti gue siapain di tempat tinjunya Gemintang. Enggak di sini. Ini sekolah, masih pagi juga, buat apa kalau gitu ke sini pagi-pagi? Cuman mau berantem?"
Cahaya menatap Samudra. "Mulut orang-orang di sini yang enggak bisa dijaga, Dra."
"Lu lebay, si Jablay ini aja nggak masalah, kenapa lu yang marah sih, Ya? Ini cuman bercandaan tau, nggak?"
"Bercandaan lu semua nggak ada lucu-lucunya!"
"Ya kalau enggak merasa mah santai aja, apa emang bener, nih cewek cantik gara-gara jual dirinya?!"
"Jaga bahasa kamu, ya, Shan!" bentak Samudra. "Ibu kamu nyekolahin kamu biar kamu belajar bukan cuman ilmu pengetahuan tapi juga etika bermoral!"
Shania yang tidak terima dibentak dan diceramahi membalas. "Kok lu belain nih Jablay?! Lu pernah make dia, hah?!"
Seisi kelas terlonjak. Tidak percaya dengan kata-kata barusan. Sepersekian detik kemudian Cahaya menampar Shania, perempuan tidak punya otak itu membalas menyerang dengan menjambak rambut Cahaya seperti dahulu lagi. Keadaan menjadi kaos. Cahaya ikut menjambak rambut Shania, Jesika datang membantu temannya--juga menjenggut rambut berkilau Aya. Samudra dan Romeo melerai dengan sekuat tenaga mereka, dan Bulan sama seperti dulu-dulu--terlalu goblok untuk melawan bahkan untuk membantu temannya. Dia hanya bisa mengeluarkan air mata bodoh, bagaimana bisa ia menjadi pemeran utama dalam ceritanya sendiri kalau seperti ini caranya?!
Ada yang bertepuk tangan, ada yang bertaruh, ada yang tidak tahan dan berlari keluar untuk melaporkan kejadian ini. Semuanya terlihat abu-abu.
"Gue tambah goceng, pegang Cahaya."
"Dua puluh ribu, Shania sama Jesika yang menang."
"Mana adil masa dua lawan satu."
Angin itu berembus kemudian. Sinar matahari pagi menembus jendela kaca masuk ke dalam kelas untuk membuat panas semakin menjadi-jadi. Hingga teriakan sosok pria yang sedari tadi tidak terdengengar bergemuruh, ia menendang mejanya.
"HIYAAAAAAKKKK!"
Dia membanting mejanya sendiri, menerbalikan meja itu. Membuat semuanya terdiam. Berhenti dari semua kejadian ini, memperhatikan laki-laki itu.
Dia Gemintang, bintang terang yang panasnya mengalahkan seisi bima sakti.
Berjalan menghampiri teman-temannya, mendaratkan pukulan di wajah para anak laki-laki yang barusan mengejek gadis itu satu persatu tidak peduli itu sahabat-sahabatnya sendiri atau tidak.
"Lu kenapa, sih, Tang?!" tanya salah satunya.
Gemintang tidak peduli, satu, dua, tiga dan seterusnya, satu-persatu wajah anak laki-laki habis oleh laki-laki itu. Hingga ia ke depan kelas, tepat panggung itu berdiri, menatap wajah Shania, tangannya sudah panas ingin menampar perempuan di depannya. Namun tertahankan, akibat Bulan yang memegangi lengan Ksatria kecilnya.
"Udah, Tang."
Kemudian tangan itu tenang, kembali ke awal. Gemintang mengenyahkan tangan Bulan yang melingkar di lengannya. "Lepasin tangan gue."
...
a.n
Halo, kembali lagi dengan Penulis yang imut ini. (Jijik)
Percayalah, adegan Gemintang nendang meja dan banting sambil ngebalikkin meja itu diambil dari adegan ngamuk-ngamuk saya dulu pas di sekolah [aww mlu bgt]
Dan percayalah, saya nulis bab ini itu kepala sampe berasep kalau kalian bisa lihat.
Udah gitu aja.
Salam,
Berengsek Yang Baik Hati
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro