42 • Samudra Menghalangi Arusnya
Gemintang tidak akan makan masakannya kalau Samudra masih ada di sana, itu sama saja merendahkan harkat dan martabat saudaranya. Harga diri laki-laki setinggi itu memang. Oleh sebab itu Samudra pergi dari rumah Bulan, lagipula hujan sudah berhenti dari tadi. Agar dia bisa makan.
Samudra ingin tertawa. Gemintang memang enggak berguna sejak dulu, dia masih jadi anak kecil yang Samudra kenal, harusnya ia biarkan saja Gemintang kelaparan--tetapi rasanya Samudra memang begitu. Apa dia enggak kangen Bunda?
"Sejak kapan Gemintang sering main ke sini?" tanyanya. "Bahkan adik kamu nyaman sama dia."
"Udah lama ... banget." Bulan menganga lebar ketika ditanya--sembari mengantar Samudra sampai halaman depan. "Aku lupa persisnya, tapi kata Bintang; dia lihat Gemintang ngelamun mau ditabrak truk kayak di film-film--makanya dia nolongin Gemintang, dan akhirnya gitu aja. Mereka berteman." Bulan masih berbicara. "Tapi aku cuman iya-iya aja sama cerita Bintang. Lagipula anak kayak Gemintang mana mungkin semenyedihkan itu, orang tiap hari kerjaannya bikin kesel orang!" katanya. "Kenapa?"
"Dia kabur dari rumah."
"Udah aku tebak. Aish, anak itu!"
"Santai mulutnya."
"Ini udah santai."
"Santai apaan? Laler aja sampai masuk."
"Mana ada?"
"Beneran," katanya. "Dua lagi."
Bulan menepuk keras lengan Samudra. Astaga, tenaganya seperti atlet tinju. "Aduh." Pura-pura kesakitan.
"Eh, maaf-maaf." Bulan mengelus lengannya.
Samudra memperhatikannya. Dia meniupi juga. Hangat, embusannya terasa begitu menentramkan setelah hujan. Satu yang paling Samudra suka dari Bulan--dia enggak pernah menyakiti siapapun. Serius, sesimpel itu.
"Sakit, ya?"
Samudra menatap wajah Bulan. Menatap matanya. Ketika itu pun Bulan melihat Samudra--mata mereka bertemu. Angin berhembus membuat hati terasa bergemuruh. Namun yang ia lihat bukan Bulan. Bukan. Itu mata kekasihnya--Cahaya--yang selalu khawatir setelah ia mencubiti perut Samudra terus-terusan.
Samudra menarik lengannya yang sedari tadi digenggam Bulan. Mencari oksigen yang tersisa sekarang akibat udara yang tiba-tiba menghilang--namun malah memasuki rongga-rongga hati yang tersisa.
Hening. Hanya ada dua orang di jalanan basah--setelah hujan.
"Saya harus pulang. Dadah!"
Bulan mengangguk. Samudra tersenyum--gadis itu juga--melambaikan tangannya. Samudra terkekeh. Berjalan meninggalkan satelit bumi. Namun beberapa langkah, suara itu terdengar lagi.
"Samudra!" panggil Bulan.
"Apa?"
"Aku mau tanya sesuatu."
Samudra menanti.
"Kamu sama ..., emmm, " jedanya. "Enggak jadi, deh, lupain aja."
"Aku sama apa?"
Bulan kebingungan. "Enggak jadi, Dra." Terkekeh setelahnya. "Dadah! Hati-hati!"
Samudra canggung. Akhirnya ia memilih pergi dengan senyuman. Aneh sekali. Ada apa sih dengan Bulan? Dan ada apa dengan dirinya sendiri? Mengapa dia terlihat seperti bedebah sekarang? Serius, untuk setiap pertanyaan yang ia tanyakan.
Samudra berjalan sendirian di gelapnya malam. Memikirkan segalanya, memikirkan Bunda yang tetap mencintai Ayah meski tahu seberapa Bajingannya dia, memikirkan bagaimana caranya ia dan Bunda bisa pergi memulai kehidupan yang baru, dan memikirkan Gemintang--anak kecil itu. Apa dia enggak mau bersama-sama membantu Samudra untuk membuat keluarganya bahagia kembali?
Pemuda itu memperhatikan bulan dan bintang di atas sana, mau terbang ke langit--tempat di mana hidup mungkin bisa seindah di mimpi-mimpi. Sinarnya terang--itu mengingatkan akan satu orang yang ia cintai.
"Halo, Ya?"
"Kenapa?" jawab seseorang di ujung telepon.
Samudra menatap langit. "Maaf."
"Enggak perlu, Dra. Aku tahu kamu baik. Kamu lakuin itu karena nurani kamu."
"Besok aku siap dapet hukumannya, Ya."
Suara tawa di sana. Manis sekali. "Bulan gimana? Dia baik-baik aja, 'kan?"
...
"Kamu baru pulang, Samudra?"
Samudra mengangguk.
"Makan dulu gih sana."
Samudra hanya tersenyum lagi melihat ayahnya. Dia sudah kenyang sekarang, malas sekali berinteraksi dengan orangtuanya itu--namun ia tetap harus baik, 'kan? Ini demi ibundanya.
Maka kemudian Samudra berjalan ke kamarnya, mau belajar--ujian tengah semester sebentar lagi--dia enggak mau mengecewakan Bunda dengan hasil yang buruk. Setidaknya keberhasilannya saat ini bisa menjadi alasan untuk bisa membuat bibir Bunda tersenyum terus.
Samudra duduk di meja belajar--membuka buku-bukunya. Melihat latihan soal yang gurunya berikan, kemudian mulai mengerjakan soal-soal itu. Hingga tak lama Ayah datang, masuk ke kamarnya tanpa aba-aba. Mengejutkan Samudra.
"Bagus, Samudra, belajar yang rajin," katanya.
Samudra tidak membalas. Masih bergelut dengan buku-bukunya.
"Kamu tahu, Ayah akan selalu dukung kamu, oke?"
Samudra mengangguk.
"Bawa nama baik Ayah, Samudra. Kamu satu-satunya yang berguna dan bisa Ayah andalkan dari keluarga ini."
Ayah memijat bahu Samudra. Rasanya sakit. Apa maksudnya? Lampu belajar itu dapat menerangi matanya, namun itu belum cukup untuk hati laki-laki itu. Apa Bunda dan Gemintang terlihat tidak berguna di mata Ayah? Memangnya dia pikir, dirinya juga berguna bagi keluarga?
Masih mencoba fokus pada soal-soal latihan. "Jadi, maksud Ayah, Bunda sama Gemintang enggak bisa diandalkan--nggak berguna?"
"Kamu bahkan tahu sendiri, Samudra."
"Samudra enggak pernah tahu."
Berhenti memijat putra kesayangannya. "Kamu tahu sendiri Samudra bagaimana Bunda kamu dan Gemintang. Dengan Bunda kamu yang enggak pernah bisa membuat Ayah di posisi tertinggi, dengan Gemintang dan semua nilainya serta tabiatnya. Bahkan enggak ada satu pun yang bisa Ayah andalkan dari mereka! Kamu tahu itu!"
"Gemintang belum pulang-pulang," info Samudra.
"Bagus. Lebih baik. Jadi Ayah tidak perlu repot-repot memikirkan anak enggak berguna itu."
Samudra benci mendengarnya. Seberapa jauh Ayah sudah melangkah? Ia berhenti dari kegiatannya dengan buku-buku. Mengembuskan napasnya berat. "Lalu, apa Ayah bisa diandalkan?"
"Apa?" memastikan.
Samudra menelan air liurnya. "Apa Ayah terlihat berguna untuk keluarga ini?"
Ayah tertawa. "Kamu mau berantem lagi sama Ayah?" katanya. "Bukannya Ayah pernah bilang, kalau Ayah yang cari nafkah disini, kamu dan orang-orang enggak berguna itu enggak bakal hidup enak kalau bukan karena Ayah, ngerti?"
Samudra tidak bisa menjawab. Dia ingat Bunda, Bunda cinta sama laki-laki ini, dia enggak mau mengecewakan Bunda. Tunggu sampai Samudra mampu membawa Bunda pergi yang jauh--dan memulai hidup baru. Maka laki-laki itu hanya perlu bersabar, hanya perlu menunggu ini selesai.
Ayah menempeleng kepala Samudra seperti biasanya. "Belajar yang bener, kamu harus jadi nomor satu lagi, oke?" Kemudian menepuk-nepuk pipi Samudra. Berjalan pergi meninggalkan anak laki-lakinya.
Saat dia pergi, pintu itu tertutup, Samudra mengembuskan napasnya kencang sekali bak badai di ujung dunia. Dia memikirkan hal-hal itu lagi, memikirkan bagaimana bisa keluarga menjadi seperti ini?
Soal-soal latihan itu terlihat begitu menyedihkan, ia membanting buku itu ke lantai dengan kencang. Melampiaskan amarahnya yang tidak pernah bisa ia lampiaskan. Samudra kehilangan arah. Keringat turun dari matanya.
Hingga pintu kamarnya terbuka kembali, ia melihat Bunda datang membawakan segelas susu putih. Dia tersenyum--berseri-seri. Ini senyuman Bunda yang jarang sekali Samudra lihat.
"Semangat, Samudra!"
Mencoba kembali tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. Menyeka air matanya. "Kenapa wajah Bunda merah? Kayaknya lagi seneng."
"Masa sih?"
"Iya."
"Sebenarnya.... " Bunda tertawa. "Karena Ayah kamu pulang cepet, Samudra."
Dia ikut tersenyum. Hanya karena itu?
...
a.n
Masih setengah perjalanan lagi, dan saya kebingungan kenapa masih setengah perjalanan melulu(?).
Omong-omong, kalau kalian lupa sama ceritanya, kalian bisa baca dari ulang lagi (padahal yang nulis aja males baca ulang) XD
Kalau mau lebih dekat dengan saya, bisa dm aja di instagram yang usernamenya sama kayak username wattpad, curhat juga enggak apa-apa. Soalnya saya anaknya emang suka banget dengerin curhatan orang XD (ini kenapa kesannya serem banget ya)
Omong-omong, makasih sekali lagi yang masih setia baca :"D terharu saya teh lihatnya. Jangan lupa tinggalin komentar sepanjang-panjangnya, biar saya tambah semangat buat lanjutin.
Ini kayaknya catatan omong kosong terpanjang, dah! Hahahaha.
Salam,
Bocah Di Bawah Langit
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro