Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41 • Gemintang Bersebelahan Dengan Satelit Bumi

Pemuda itu tetap harus bekerja yang lain setelah pulang sekolah--menjadi kuli angkut beras di pasar, karena gaji dari penampilannya bernyanyi di kafe setiap malam minggunya sudah habis untuk membayar uang sewa berikut dengan listrik dan airnya.

Meskipun tidak seberapa, setidaknya uang dari mengangkut beras setiap harinya bisa untuk memenuhi kebutuhan akan makan dan minum--walau kali ini dia masih teringat akan gadis itu--yang membuat angin itu berhembus di dadanya setiap kali ia melihatnya--sejak dulu, kecil.

Perempuan itu dibawa oleh orang lain ketika dia menghajar lawannya. Mengapa rasanya panas sekali, ya?

Sampai-sampai kali ini beras yang ia bawa di pundaknya terjatuh, beras itu bertebaran. Gemintang memungutnya dengan cepat--pemiliknya sudah memperhatikan sejak tadi.

Ia yakin, upahnya hari ini akan dipotong. Tentu saja.

...

Kuda Nil suka bakso urat. Itu kegemarannya sejak dulu. Mengapa Gemintang bisa ingat itu? Apa yang ia pikirkan sekarang?

Dirinya malah berdiri, menanti pesanan bakso urat di pinggir jalan, sembari berteduh karena hujan datang begitu saja. Uang yang ia terima hari ini dari menjadi kuli angkut dipotong denda karena kelalaiannya hanya bisa untuk membeli dua bungkus bakso itu.

Gemintang yakin, perempuan itu tidak bisa memasak hari ini dengan yang sudah terjadi padanya tadi siang. Kuda Nil harus banyak makan, bagaimana ia bisa dipanggil Kuda Nil kalau tidak makan dengan banyak?

Bintang juga pastinya kelaparan. Aish, dia tidak boleh membiarkan adiknya kelaparan. Ralat, makanan ini demi Bintang, bukan untuk gadis itu. Gemintang harus mengenyahkan pikirannya tentang Kuda Nil. Harus!

...

Motor besar itu terparkir di luar rumah. Seragam kemeja putih yang ia kenakan basah semua akibat hujan yang tiba-tiba deras padahal tadi sudah reda saat ia meninggalkan tukang bakso di sana.

Ia mengetuk pintu rumah Bintang, memanggil namanya. Menjinjing dua bungkus bakso urat itu malam ini. Udara benar-benar dingin. Gemintang butuh kehangatan.

Perempuan dengan rambut terkucir dan kaos putih serta terusan rok abu-abu membukakan pintu. "Gemintang? Kamu ujan-ujanan?"

Gemintang menyodorkan bungkus baksonya. "Buat Bintang sama lu."

"Kamu ujan-ujanan buat beliin aku sama Bintang bakso?"

"Enggak," katanya. "Jangan kepedan, Kuda Nil. Ini demi Bintang, biar dia nggak kelaperan. Gue tahu lu enggak masak hari ini."

Bulan menarik lengan Gemintang masuk ke dalam rumahnya. "Buka baju kamu!"

Gemintang mengernyitkan matanya. Apa-apaan ini? Gemintang tidak mau.

Akan tetapi Bulan memaksa. Gadis itu melepaskan satu persatu kancingnya. Gemintang memberontak. Dia mesum atau apa sih? Astaga, Gemintang tahu dia seksi, tapi bukan begini juga caranya menggoda Gemintang! Mentang-mentang di luar hujan.

"Lu mesum sekarang? Lu mau lihat badan bagus gue?"

Bulan memutarkan bola matanya. "Siapa yang mau lihat?"

"Gue tahu gue itu ganteng, badan gue oke, suara gue merdu, tapi nggak gini caranya kalau lu mau godain Gemintang."

"Kamu yang mesum!" katanya. "Siapa juga yang mau godain kamu?! Jelas aku lebih milih kodok daripada bocah kayak kamu."

"Lu bilang gue bocah, Kuda Nil?!"

"Baju kamu basah, Gemintang. Kamu mau masuk angin atau bagaimana, sih?" Kemudian Bulan membuka lagi kancingnya itu. Semakin dia berusaha, semakin Gemintang memberontak hingga kancing-kancingnya lepas dari kemeja. Membuat Gemintang pasrah dan melepaskan kemejanya yang basah.

Apa maksudnya? Kuda Nil ini mengkhawatirkan Gemintang? Ada-ada saja. Gemintang tidak perlu dikhawatirkan, pikirkan saja dirinya sendiri.

"Nanti aku jahitin kancing kemeja kamu."

"Nggak usah peduliin gue," katanya. "Peduliin aja diri lu sendiri."

Aduh, si Kuda Nil ini. Gemintang ingin berteriak saja rasanya. Kalau bukan perempuan, sudah Gemintang pukul pipinya dari tadi sama seperti yang ia sering lakukan. Tinggal kaos putihnya sekarang yang sedikit basah. Apa Kuda Nil ini ingin dia melepasnya juga?

"Sekarang apa?" tanyanya. "Nyuruh gue lepas kaos gue?" Gemintang mulai melepas kaosnya. Memperlihatkan perutnya yang indah. "Nih-nih gue lepas!"

Namun sebelum kaos itu terlepas sempuna, Bulan berteriak duluan. Telinga Gemintang sakit mendengarnya. Rasanya mau berdarah.

"Dasar mesum!" ejek Gemintang.

Gemintang berjalan masuk begitu saja. Memanggil Bintang dan meninggalkan Bulan. Hingga kemudian tamparan keras mendarat di punggungnya. Gemintang tersungkur ke depan, ia melihat ke belakang--perempuan itu berdiri dengan kemejanya di dada dan tatapan buas layaknya harimau.

Gemintang melotot. Wah, benar-benar perempuan mesum ini. Belum pernah dikedipin oleh Gemintang atau bagaimana sih?

Bulan pergi setelahnya, meninggalkannya di depan pintu. Kemudian kembali membawa handuk merah muda. Mengelapkan tubuh Gemintang yang basah. Mengeringkan tubuh basah Gemintang. "Diem, dong. Ibu kamu dulu nyidam apa sih?" tanyanya. "Biar enggak basah. Kamu nggak kepingin sakit, 'kan?"

Jantung Gemintang menegang. Rasanya dingin. Cuman Bunda yang pernah mengeringkan tubuh Gemintang saat dia habis mandi hujan bersama Samudra kala kecil dahulu. Gemintang memperhatikan tangannya yang menyusuri lengan dan leher Gemintang dengan handuk. Mencoba mengeringkan tubuh yang basah--dan melembabkan hati yang kering.

Gemintang menatap wajah itu. Siapa juga yang mau sakit?

Dasar, Kuda Nil.

...

"Kok Abang Gemintang ada dua?"

Samudra menatap dirinya di meja makan. Tidak ada ekspresi, namun setelahnya ia tersenyum. Cih, senyuman macam apa itu?! Dia pasti menyuruh Gemintang pulang lagi, ke pelukan Bunda namun dihempaskan kemudian--laki-laki itu sudah tahu sejak awal.

"Lu ngapain di sini?" ketus Gemintang.

"Samudra masak sayur." Bulan berjalan membawa kemeja Gemintang, menaruhnya di bak cucian. "Kamu harus cobain."

Sayur bening buatan Samudra? Dia pasti sudah gila kalau sampai memakan makanan itu. Lebih baik mati kelaparan daripada kenyang dengan masakan buatan musuhnya, bukan?

"Ini Abang Tatangnya kok banyak, sih?" Pertanyaan itu lagi.

Bulan menjawab. "Itu Abang Tatang yang asli. Yang di sebelah kamu itu Abang Samudra. Muka mereka emang mirip, cara bedainnya fisik mereka cuman satu, lihat gaya rambutnya. Abang Samudra lebih rapih, tahu."

"Asik! Abang Bintang ada banyak!"

Gemintang masih menenteng bungkusan berisi bakso. Dia sadar, bungkusan yang sudah basah ini tidak ada apa-apanya dengan sayur dan tempe goreng buatan Samudra. Astaga, sejak kapan ya Gemintang jadi minder seperti ini?

"Abang bawa bakso? Buat aku? Asik!" Bintang berlari ke arahnya. "Buat aku semua?"

Gemintang mengangguk. "Makan yang banyak. Biar kuat. Biar bisa lawan orang yang ganggu kamu, biar bisa lindungin kakak kamu juga," katanya. "Karena kamu?"

"Laki-laki."

"Tos dulu." Mereka saling menepukkan tangan.

Hujan terdengar semakin kencang. Bulan menyuruh Bintang-Gemintang ke meja makan. Menuangkan bakso itu di mangkuk--dimakan Bintang kemudian. Tidak ada obrolan. Gemintang menatap Samudra tajam layaknya macan, sementara Samudra sepertinya tidak peduli dan hanya terus tersenyum pada Bulan dan Bintang yang tengah memakan bakso dengan lahap.

"Udah selesai masaknya, 'kan?" tanya Gemintang pada Samudra. "Lu bisa pulang sekarang."

Yang ditanya hanya tersenyum, mengejek.

"Sejak kapan ini jadi rumah kamu?" bela Bulan.

"Kok lu belain dia, sih?" Cemburu.

"Terus aku harus belain kamu, gitu?"

Gemintang tidak tahu mau membalas apa. Bulan benar-benar berubah. Segalanya. "Harus!"

Samudra mengambil piring, menyendokkan nasi. "Makan dulu. Kalau lu udah kenyang, kita bisa mulai berantemnya." Lalu diberikan kepada Gemintang.

Gemintang menatap sepiring nasi serta sayur bening dan tempe goreng diatasnya--sama seperti yang selalu Samudra buat ketika Bunda asik menangis setiap harinya--saudaranya itu sudah seperti Bunda kedua. Aduh, Gemintang malas mengingatnya. Dia muak akan segalanya.

"Enggak perlu. Gue enggak laper."

Bohong sekali. Bakso dua bungkus itu sudah ia berikan pada Bintang, mana mungkin dia memintanya lagi. Aish, dia harus menahan rasa laparnya.

"Oke. Terserah lu," jawab Samudra.

Kemudian mereka menelan makanan mereka masing-masing. Gemintang hanya duduk di sana, seperti orang bodoh hingga adik barunya itu yang tengah menyendokkan bakso memberikan suapan pada Samudra.

"Aaaaaaa..." Bintang mengarahkan sendoknya.

Samudra membuka mulutnya. Memakan bakso yang ia beli! Aish, si bocah bodoh ini! Gemintang cemburu. Ia menepuk Bintang, membuka mulutnya, meminta agar disuapi. Bintang mengerti ketika itu, anak kecil ini menyuapi Gemintang, namun saat Gemintang sudah lebar-lebar membuka bibir--Bintang mengerjainya, ia malah menelan makanan itu sendirian.

Gemintang mengetuk kepala Bintang.

Samudra dan Bulan tertawa. Bisa-bisanya mereka menertawai Gemintang bersama-sama. Ini tidak bisa dibiarkan! Itu melukai harga diri Gemintang.

"Sebentar lagi ujian tengah semester, jangan lupa belajar, oke?"

"Kamu juga."

"Jaga diri baik-baik. Kalau ada masalah, ngomong," awasnya. "Hujan udah reda, saya harus pulang."

Cih, sok peduli. Apa Samudra tidak tahu bahwa Bulan suka pada dirinya? Mengapa laki-laki ini seolah-olah memberi harapan pada Bulan? Padahal dia sudah mempunyai gadis termanis di sekolah--Cahaya?!

Dan mengapa juga Gemintang harus peduli ya pada perasaan Bulan?

"Lu beneran enggak mau makan?"

Gemintang tidak menjawab pertanyaan kembarannya itu meski perutnya berteriak.

"Gue mau pulang. Hujan udah berhenti, jangan gangguin Bulan sama Bintang."

"Sana lu cepet pergi!" balas Gemintang.

"Kalau dia gangguin kamu, telepon polisi kalau bisa, Bulan."

"Yaudah sana pergi! Ngapain masih di sini?!"

Samudra tertawa seperti mengejek. Dia berjalan menuju pintu keluar, Bulan mengikuti--ingin mengantarnya sampai ke depan saja. Namun kata terakhir dari Samudra membuat hati Gemintang membeku.

"Kalau ada waktu, jangan lupa pulang ke rumah, Tang," katanya. "Kalau laper, makan." Kemudian pergi meninggalkan Bintang dan Gemintang di meja makan.

Perutnya berbunyi. Bintang yang mendengar tertawa. "Abang suaranya lucu."

"Abang emang lucu."

Bintang tertawa sambil makan bakso. Dan Gemintang mulai menyantap masakan Samudra. Rasanya masih sama. Rasa ketika ia pulang ke rumah dimana hari-hari menyakitkan itu. Hari-hari ketika Ayah pergi mencari cinta yang lain setiap malamnya--hari-hari Bunda patah hati dan menelantarkan anak-anaknya setiap malamnya--dan hari-hari Samudra memasak makanan terenak setiap malamnya.

...

a.n

Halo, jumpa lagi sama Pangeran yang baik hati ini XD

Saya beneran kehilangan kemampuan menulis narasi yang biasa saya lakukan :(
Makanya mungkin cuman bisa seminggu sekali update cerita ini, huhuhu.

Dan, tetap waspada ya sama penyakit yang akhir-akhir ini menyerang. Sumpah, kalian enggak boleh anggap remeh masalah ini.

Tidur yang cukup, mimun air yang teratur, dan jangan lupa bersih-bersih.

Salam,

Penyuka Bau Melon

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro