40 • Bulan Dengan Cahayanya Punya Tujuan Menyinari Seisi Dunia?
Hangat. Rengkuhannya begitu menghangatkan hingga rasanya ingin terus berada di sana, bersandar di dadanya yang membuatnya nyaman.
Bulan selalu ingin di sana, bersama pangerannya yang menahan air matanya sebisa mungkin.
"Jangan khawatir," katanya. Melesat menggendong Bulan menembus segalanya--berlari--badai. Bulan tidak bisa menahan kesedihannya. Dengan semua yang ia sudah lewati, Samudra selalu bisa tersenyum bersamanya--sejak dulu.
Bulan selalu bisa ingat itu.
...
Langit menggelap, lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan, ia duduk di atas bangku bus umum bersama Samudra di sebelahnya--sembari tersenyum. Laki-laki itu tidak berbicara apa-apa sejak tadi, dia satu-satunya yang menemani Bulan melewati pemeriksaan atas kesaksian Bulan tentang guru itu. Dia satu-satunya yang berdiri menunggunya keluar.
Bulan tidak bisa berhenti melihat jalanan dari jendela bus dan wajah Samudra. Bulan tidak benar-benar bisa berpaling meski tahu satu kenyataan menyakitkan--melukai harga dirinya.
"Terimakasih, Samudra."
Samudra tersenyum. Mengangguk. Manis. Hening. Hanya ada suara jalanan dan orang-orang mengobrol di belakang kursi mereka.
"Kamu nggak pulang?"
Samudra menggeleng.
"Kenapa?"
"Anterin kamu pulang."
"Udah malam."
"Karena udah malam, buat jaga-jaga aja, oke?" katanya, melindungi.
Jantungnya terpompa hebat. Bulan memalingkan wajahnya yang memerah mengarah ke luar jendela--melihat langit malam di atas sana.
...
Laki-laki dengan bibir merah muda itu memanaskan air di atas kompor, sedangkan tangannya asik memotong bawang putih dan merah serta wortel yang barusan ia beli di pasar modern dengan tampannya.
Dirinya menemani Samudra yang tengah memasak di dapur rumahnya. Katanya dia mau masak sayur bening sama tempe goreng untuk Bulan supaya dia jadi lebih sehat--jadi lebih kuat. Bukankah itu manis? Tapi tidak enak rasanya melihat tamu di rumahnya memasak sedangkan pemilik rumah asik bersandar dengan manja di kursi memperhatikan pemandangan menawan mata.
Bulan berdiri, mengambil tempe di keranjang dan mulai memotongnya di talenan, namun belum berapa lama Samudra menghentikannya--memegangi lengannya dengan hangat dan mengambil pisau di jemarinya.
"Istirahat aja, oke?"
"Cuman motong tempe doang. Lagipula ini 'kan rumah aku. Masak aku biarin tamu yang masak. Dimana letak etika aku sebagai tuan rumah coba?"
"Kamu mesti banyak istirahat," katanya. "Tenang aja. Aku bisa masak, kok. Bunda saya yang ajarin masak sayur bening."
"Bunda?"
Samudra mengangguk. Tersenyum masih sembari memotong bayam dilanjut memotong tempe kemudian. "Iya. Dia perempuan yang baik." Tersenyum lagi.
"Dia ajarin kamu masak apa aja?" Bulan antusias.
Laki-laki itu tertawa. Bulan terpana melihat tawanya. "Enggak banyak. Cuman kayak gini aja--makanan rumah--sayur bening, tempe goreng, ayam goreng, telor balado. Sedikit. Itu juga kadang enggak enak."
"Keren." Bulan memperhatikan matanya. "Di saat cowok-cowok seumuran kamu benci itu karena itu hal yang bukan menunjukkan kejantanan, tapi kamu malah belajar ini dari Bunda kamu?"
Tawanya makin lebar. Matanya berkerut membuat jantung siapapun pastinya akan berpindah ke lutut. "Biasa aja tau. Lagipula saya jadi bisa masak buat Bunda, dia pasti kecapekan ngurusin saya sama Gemintang di rumah yang nakalnya kebangetan."
"Kamu enggak nakal."
"Kata siapa?"
"Enggak, Dra. Kalau Gemintang sih pastinya."
"Kita berdua sama aja kok."
"Kalau kamu nakal. Aku juga nakal berarti?"
"Bisa jadi."
Bulan kesal. Dia menyenggol Samudra. Tertawa kemudian.
Samudra menatap Bulan, saat itu juga jarinya teriris pisau yang ia gunakan. Dia mendesah pelan, kesakitan--ngilu. Bulan panik, ia bilang. "Diam di situ, Dra," katanya.
Bulan memegang lengan Samudra yang telunjuknya terluka. Menariknya menuju air di keran, membiarkan luka itu diobati oleh air mengalir. Bulan menatap goresan itu. Meniupnya--entah angin dari mana yang mendorongnya melakukan hal bodoh itu.
Seterusnya putri itu mengambil plester, membuka bungkusnya, melilitkan plester ke luka sang pangeran agar ia bisa kembali pada pelukannya. Bulan memperhatikan telunjuk yang ia obati--Samudra juga. Sama-sama memperhatikan.
Samudra selalu tersenyum padanya dahulu, ia berhasil membuat Bulan mampu bertahan saat orang-orang menjauhi dirinya--merendahkan dirinya dengan perilakunya yang membuat Bulan menjadi bisa merasakan rasanya jadi manusia normal. Serius.
Bulan suka Samudra. Sang putri suka pangerannya. Demi apapun.
Tapi apa benar Samudra berpacaran dengan Cahaya? Mengapa dia tidak bercerita? Mengapa Cahaya tidak mengatakan itu? Aya dan Samudra tidak pernah terlihat dekat. Bulan menyangkal itu semua.
Bulan tahu seperti apa Salma dan Audrey. Mereka berdua suka bergosip. Mengapa juga Bulan harus percaya? Bagaimana bisa Bulan terhasut sampai bisa berniat berganti kelompok dan berakhir seperti kejadian menyedihkan itu?
Bulan tidak percaya. Dia harus menanyakan itu sendiri pada Samudra. Iya, dia harus bertanya. Dia harus percaya pada pangerannya--pujaannya itu sendiri.
"Samudra?"
"Kenapa?"
"Aku mau tanya."
Samudra menatap Bulan.
Bulan kebingungan. Bagaimana ia harus memulai? Bukankah ini sama saja seperti menembak Samudra lagi? Memastikan bahwa dirinya adalah satu-satunya bagi Bulan? Astaga!
"Kakak, Abang Tatang, lagi ngapain?"
Bulan menengok ke asal suara. Bintang yang tengah mengucek matanya.
"Kamu baru bangun?"
"Apa?" Bintang tidak mendengar.
Dengan gerakan tangannya dan mulutnya, Bulan berbicara pelan. "Kamu-baru-bangun?"
"Iya. Aku lapar, tapi kakak belum pulang. Jadi aku tidur, deh."
"Maaf, ya. Ini Abang Samudra lagi masak buat kita." Bulan memperkenalkan Samudra.
Samudra tersenyum. "Hai!"
"Abang Dradra?"
"Iya. Namanya Samudra. Abang Samudra."
"Ini mah Abang Tatang. Abang Gemintang."
Bulan tertawa. Muka mereka sih memang mirip. Tetapi kelakukan mereka yang beda, Abang Samudra jelas lebih baik, tahu. Bulan mencoba mentelepati kata hatinya untuk Bintang, namun kayaknya enggak akan pernah bisa.
"Gemintang?" tanya Samudra pada Bulan. "Gemintang pernah ke sini?"
Bintang berlari ke arah Samudra, memegani tangannya yang barusan teriris--menariknya. Samudra kesakitan. Bulan berteriak.
"Ayo Bang Tatang, kita main pedang-pedangan lagi, yuk!" katanya. Sambil tertawa.
...
a.n
Enggak pernah ada yang benar-benar baik atau benar-benar buruk, 'kan?
Yang ada cuman berusaha jadi baik, atau berusaha jadi buruk.
Apalagi saat remaja, yang haus akan afeksi dan pengakuan. Masa-masa mencari jati diri itu sendiri.
Astaga gue ngomong apaan sih?
Salam,
Penulis Banyak Omong Kosong
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro