37 • Bulan Yang Tersadar Bahwa Dirinya Satelit
"Nih, buat lu." Gemintang menjulurkan serenceng plester luka di tangannya. "Simpan di tas."
Bulan menerimanya. Memperhatikan secara perlahan plester bergambar dinosuaurus itu. "Buat apa?"
"Buat kalau lu luka lah!" katanya. Gemintang menatap sinis. "Hobi lu 'kan jatuh sama keserempet motor. Jaga-jaga kalau gue enggak ada di sana."
Siapa juga yang mau diserempet motor? Itu 'kan karena kemarin Bulan ingin menghindari Gemintang yang dengan beraninya merebut Bintang dari Bulan--satu-satunya keluarganya yang bisa ia sayang sekarang. Namun Gemintang juga yang bisa membuat tawa bocah itu terdengar keras terus-menerus. Maka Bulan datang ke rumah Gemintang yang ia sewa di depan rumahnya dengan membawa sekotak kue buatannya pagi ini--sudah beberapa hari Gemintang menyewa kontrakan di depan rumahnya--katanya supaya ia bisa dekat dengan Bintang, agar ia bisa merebut adiknya itu dari pelukannya, sialan sekali memang.
Tetapi cuman ini yang bisa Bulan lakukan untuk berterimakasih. Meski dia tahu seberapa berengseknya orang yang ada di hadapannya.
"Jangan dibuang kayak satu tahun yang lalu, Tang." Bulan berbohong. "Bintang juga ikut bantu buat kue bolu ini. Katanya demi kamu, Abangnya." Bulan tidak ingin kotak makanan itu dibuang lagi seperti dahulu.
Tanpa diduga, Gemintang menerima kotak itu. Memperhatikannya. Kemudian berjalan menuju ke rumah Bulan dengan cepat. Bulan tertinggal--tidak mengerti. Ia membuka pintu rumah Bulan, tidak sopan sekali memang.
"Jangan asal masuk rumah orang! Aku bisa ninju kamu sekarang!"
Gemintang enggan megacuhkan perempuan pemilik rumah. Ia berjalan ke ruangan di mana Bintang tertidur dengan pulas pagi ini--di mana bau embun masih bisa tercium di dedaunan. Gemintang membuka pintu kamar--melihat bocah itu yang masih tertidur. Pulas sekali!
Gemintang tertawa. "Lu enggak perlu bohong pakai bawa nama Bintang," katanya. "Gue bakal tetep makan bolu ini kok. Tenang aja."
Gemintang membuka kotak bolunya, mengambil salah satu potongan--menggigitnya--mengunyahnya juga dengan cepat. Alis matanya terangkat--tersenyum. "Makasih, Kuda Nil."
Darah mengalir lancar menuju jantung ketika melihat senyuman itu.
...
Bulan terduduk di lantai koridor sekolahnya setelah jam pulang sekolah--setelah anak-anak di sekolahnya pulang ke rumah mereka masing-masing karena menunggu teman-temannya. Sembari menunggu Cahaya, Romeo, dan Samudra yang tengah membeli batagor di depan gerbang sekolah, Audrey dan Salma menyidang Bulan di lorong sekolah sebelum latihan drama dimulai.
"Kok muka lu bisa semulus itu sih sekarang? Lu pakai apaan, Lan? Gue juga mau."
"Bener tuh, Lan. Bagi rahasiannya dong." Salma penasaran.
Bulan terkekeh. Cahayalah yang membantunya selama ini. Dengan semua obat-obatan yang ia berikan--semua perawatan wajah yang harganya tidak murah. Namun lebih dari itu--semangat seorang Cahayalah yang membantunya untuk bisa terus berjuang demi senyuman Pangeran impiannya.
Namun seperti yang Bulan sering katakan ketika ditanya, ini semua berkat Cahaya--kalau ingin tahu, dia bisa tanyakan sendiri ke Aya. Dan pastinya jawaban ketika Cahaya ditanya adalah bahwa Bulan yang sudah berjuang agar dirinya menjadi lebih baik bukan karena Cahaya. Bulan selalu iri dengan Aya karena kedewasaaanya--kecantikannya dan kesempurnaannya di mata Bulan.
"Ah enggak asik, lu, Lan."
"Gue udah sering nanya Cahaya, Lan." Audrey sekalian menguncir rambutnya. "Dia bilang itu semua karena diri lu sendiri. Aduh, punya temen pada pelit semua!"
Bulan tertawa. "Kamu udah cantik, Drey."
"Tapi gue mau tahu apa rahasianya, Lan."
"Buat?"
"Cuman penasaran."
"Yaudah."
"Yaudah apa?!" Audrey kesal sendiri.
"Udah-udah! Enggak kelar-kelar kalau gini caranya." Salma melerai. "Gue gebukin lama-lama lu, Lan, kalau gini caranya."
Bulan cengengesan saja. Dia sudah lebih bisa berbaur dengan Audrey dan Salma sekarang. Akhirnya ia punya sahabat-sahabat yang bisa diajak tertawa bersama.
"Omong-omong gue punya cerita!" Salma berbisik, seperti ingin bergosip. Namun memang benar ternyata. Bulan tidak peduli, dia tidak suka bergosip, maka ia lebih memilih membaca naskah drama yang sudah dibuat Romeo.
"Apaan?" Audrey tampak antusias. Dasar perempuan!
"Bulan kita kasih tahu, nggak?" tanya Salma pada Audrey. Bulan yang mendengar namanya disebut pun terpanggil untuk tahu.
"Emang tentang apaan, Sal?" Audrey tidak mengerti.
"Aya sama Samudra."
Bulan mengernyit keheranan. Ia penasaran parah. Cerita apa yang berhubungan dengan mereka berdua? Mengapa Salma berbisik ketika mengatakannya? Itu membuat semuanya terlihat rahasia.
"Jangan! Kalau Cahaya marah gimana?"
"Enggak apa-apa kayaknya, Drey. Kan Bulan sahabatnya." Salma menatap Bulan. Mereka masih terduduk di lantai koridor sekolah siang ini. "Jangan bilang siapa-siapa ya, Lan!"
Bulan masih tidak mengerti. Ada apa?
"Kenapa emangnya?"
"Janji dulu."
"Apa?"
"Janji dulu, Lan. Kalau sampai lu nyebar, apalagi ke Aya--abis lu ama gue." Salma bercanda.
Bulan setuju. Ia terlalu penasaran. Ia selalu begitu ketika berhubungan dengan Samudra--pujaannya.
"Mereka berdua udah pacaran dari kelas sepuluh."
"Siapa?" Bulan mencoba memastikan.
Salma membuka matanya lebar-lebar. "Samudra sama Cahaya!"
DOR! Tembakan tepat mendarat di lambungnya. Mana mungkin?! Mereka tidak pernah dekat, mereka tidak pernah terlihat seperti pasangan. Bagaimana bisa Samudra dan Cahaya? Tidak! Salma pasti bercanda. Iya, benar, Salma pasti hanya bergurau--dia kan memang ratunya bercanda. Bulan menolak kenyataan. Hatinya buta.
"Kata siapa?"
"Cahaya. Dia yang bilang sendiri, tapi gue sama Audrey enggak boleh kasih tahu orang lain."
"Kenapa?"
"Samudra enggak suka hubungannya ketahuan orang."
"Alasannya?"
"Mana gue tahu, Lan. Cahaya sendiri yang bilang gitu." Salma berbisik kemudian. "Dan kalian tahu? Kemarin mereka ciuman di dapur Cahaya--pas Samudra bilang mau bikinin kita mi goreng!"
"Beneran, Sal?"
"Iya. Mesra banget parah! Nih, gue praktekin." Salma memajukan bibirnya ke Audrey, Audrey geli sendiri. Mereka tertawa.
Bulan juga ikut tertawa--namun hatinya menjerit. Ah, lucu sekali. Sahabatnya yang ia sayang dan pangerannya yang ia yakini akan menolong hidupnya telah berpacaran selama dua tahun sejak kelas sepuluh. Astaga, ini benar-benar kabar membahagiakan. Dia harus merayakan ini.
Burung-burung berkicau di udara, berisik--menganggu telinganya. Panas dari matahari semakin menusuk kulit sampai menembus ampela perempuan mengenaskan itu.
Iya, Bulan! Dia adalah perempuan paling mengenaskan sedunia. Dia menyukai laki-laki yang sudah memiliki kekasih--menyatakan perasaanya pada laki-laki itu, dan ternyata kekasih dari pujaan hatinya itu adalah sahabat yang membantunya untuk mendapatakan hati laki-laki termanis dengan bau melon terenak sedunia, kurang mengenaskan apalagi?
Astaga, Bulan benar-benar bodoh. Tolol sekali rasanya. Dia tertawa--air matanya menetes. Dia adalah gadis jelek, miskin, dan tidak tahu diri! Mati saja sana!
"Aku harus ke ruang Pak Galang. Dia belum pulang, 'kan?"
Audrey mengangguk.
"Mau ngapain?" Salma bertanya.
Bulan diam saja. Bergegas pergi ke ruangan guru seni budaya itu.
...
"Saya mau pindah kelompok, Pak." Bulan tidak ingin menjadi perebut lagi. Dia ingin berhenti.
"Kenapa?"
Bulan tidak bisa menjawab, air matanya menetes kala mengingat betapa keparatnya dirinya. Berani-beraninya merebut kekasih seseorang yang telah membantunya selama ini, dasar tidak tahu diri!
"Jangan nangis, Sayang, nanti cantiknya ilang." katanya. "Coba cerita sama Bapak kenapa."
Pak Galang menampilkan ekspresi kesedihan--mencoba terlihat peduli. Namun Bulan sadar, itu bukan karena dia peduli, bukan.
Guru itu bangkit dari kursinya, menempatkan bangkunya mendekat di depan sang gadis. Duduk berhadapan. Menghapus air mata Bulan. Kemudian berjalan menuju pintu, menutupnya--mengunci pintu itu.
Bulan masih meneteskan airnya, namun kali ini ketakutan melanda, badannya bergemetar. "Kenapa ... ba ... bapak kunci?"
"Supaya saya bisa mendengar suara kamu lebih jelas. Bercerita bikin kamu jadi lebih tenang." Dia bilang. "Jadi ada apa? Siapa yang buat kamu nangis? Kenapa kamu mau pindah kelompok?"
Bulan menatap pria itu. Itu bukan tatapan seorang guru, Bulan sadar. Dia cuman mau pulang ke rumah. "Saya mau pulang, Pak."
Bulan berjalan cepat menuju pintu. Namun tertahan oleh tangan berurat kebiruan itu. "Mau kemana?"
"Saya mau pulang, Pak. Bisa tolong bukain pintunya? Saya mohon." Bulan menangis. Tangisannya lebih deras.
"Saya bisa pindahin kamu ke kelompok lain kalau kamu mau. Bahkan saya bisa kasih nilai kamu tinggi."
"Saya cuman mau pulang, Pak!" Bulan menghentak lengan yang menahannya pergi. Kasar! Itu menyulut api.
Bulan menggoyang-goyangkan kenop pintu, berharap bisa terbuka. Berharap ia bisa pulang dan memeluk adiknya.
Dekapan kasar terasa di perutnya, mulutnya terbekap juga. Bisikan itu terdengar dikupingnya, napasnya terasa. "Kamu suka dikasarin, ya ternyata?" dia terkekeh.
Hujan. Air matanya tidak mau berhenti turun. Apa ini memang takdirnya? Apa ini memang hidupnya? Sahabat dan Pangerannya hidup dengan bahagia, dan Bulan ingin merebut kebahagiaan sahabatnya itu! Dia benar-benar menjatuhkan harga dirinya sendiri, namun apa benar dia punya harga diri?
...
a.n
Maaf banget, cara menulis saya sepertinya mulai terasa kaku. Parah!
Dan kenapa juga cerita ini enggak selesai-selesai? ASTAGA!
Saya juga mau bilang, terimakasih buat semuanya yang masih bertahan sampai bab ini. Saya sayang banget kalian, rasanya mau saya pacarin aja terus saya peluk pas tidur. (mesum mode on)
Salam,
Laki-Laki Bajingan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro