32 • Gemintang Juga Punya Cahaya
Sekarang Gemintang sudah tidak pusing memikirkan bagaimana bisa seorang bocah berumur enam tahun bisa mendorongnya dengan kuat di jalanan tadi malam.
Badan bocah itu sih biasa saja seperti bocah pada umumnya, tapi beratnya ... Gemintang mau bertaubat cepat-cepat kalau begini caranya. Lihat saja, dia menindihi badan Gemintang, bagaimana laki-laki ini bisa tidur dengan nyenyak? Astaga.
Mati bagi Gemintang. Dia juga baru sadar bahwa dirinya sudah tidur sedari tadi di sini. Sejak kapan? Sudah berapa lama dia tertidur?
Gemintang menggulingkan adik barunya yang sedari tadi menindihi remaja laki-laki itu. Aduh si Bintang ini, bocah mana sih yang bisa menerjang remaja yang badannya lebih besar? Dan bocah mana juga yang bisa berkata jikalau tidak ada yang sayang dengannya, setidaknya sayang dengan dirinya sendiri? Seperti orang dewasa. Padahal jika dilihat dari cara dia tidur saja Gemintang yakin sekali kalau pipisnya saja belum lurus.
Omong-omong soal pipis, celana yang ia kenakan basah, kasur yang ia tiduri juga. Baunya pesing, tapi ini bukan dari Gemintang. Ini dari adik kocaknya itu. Maka Gemintang berteriak. Selang beberapa menit, Bulan datang. Bertanya ada apa, mengapa Gemintang berteriak seperti perempuan?
"Bintang ngompol."
Anak laki-laki yang dibicarakan pun masih terlelap dalam tidurnya. Tidak berdosa sama sekali.
"Kok bisa?"
"Mana gue tahu, Kuda Nil?"
Bulan membuka celana Bintang. Membiarkan bagian bawah tubuh bocah itu terbuka. Gemintang tidak mengerti.
"Lu nggak pakein celana?"
"Ini udah pagi, biar nanti sekalian mandi--sekolah," katanya.
"Kalo dia dilalerin gimana?"
Bulan tidak menjawab. Pergi. Ah, Gemintang ini, pertanyaan bego apa lagi itu?
"Kamu bisa pergi sekarang."
"Lu ngusir?"
"Menurut kamu?"
"Iya, kalau bukan karna Bintang, gue juga males di sini," jedanya. "Sekalian gue berangkat sekolah."
...
"Kuda Nil, kok lu nggak bangunin gue, sih?" tanya Gemintang yang sedang memperhatikan Bulan mengukus kue-kue yang ia jual sekarang di sekolah.
"Kamunya aja yang kayak kebo. Udah aku siram air juga padahal."
"Mana ada? Pasti lu sengaja 'kan nggak bangunin gue biar bisa lihat betapa gantengnya seorang Gemintang kalau tidur?"
Bulan tidak membalas. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Waduh, berani-beraninya ada manusia yang tidak mempedulikan seorang Gemintang? Memangnya dia pikir dia siapa? Ini sebuah penghinaan.
Bulan mematikan kompor. Mengambil kue-kue panas di dalamnya dan letakkan di atas nampan plastik. Gemintang hanya melihat saja kala kemudian gadis itu mulai menggoreng nasi. Dan setelahnya bersiap-siap mengemasi kue-kue yang ia buat.
"Aku mau ke pasar, jaga Bintang sebentar ya." Dia menaruh kue-kue itu di kontainer plastik merah muda.
"Ngapain?"
"Mau nitipin kue."
"Bukannya lu jualnya di sekolah, ya?"
"Enggak akan cukup buat memenuhi kebutuhan aku sama Bintang kalau aku cuman jual di sekolah, Tang," katanya. "Listrik, air, uang sekolah, makanan kita setiap harinya." Bulan membuka pintu keluar. "Aku cuman sebentar, pasar enggak jauh dari sini."
"Iya."
"Jangan macem-macem selama aku tinggal, aku bisa pukul kamu!" ancamnya.
"Takut...," goda Gemintang.
Bulan mendengkus pergi. Membawa keranjangnya ke pasar. Astaga, memangnya macam-macam seperti apa, sih? Lagaknya sudah mulai berani dengan Gemintang, mentang-mentang sekarang banyak yang menggilai karena dia sudah jadi cantik atau bagaimana sih?
Namun, pergi ke pasar untuk menitipkan jualannya ya? Berjualan di sekolah untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari? Untuk membuatnya tetap hidup bersama adiknya?
Mengapa Gemintang terlihat begitu menyedihkan jika dibandingkan dengan Bulan? Ternyata benar, Gemintang itu lemah.
...
"Kalau ada yang iseng sama kamu, pukul aja mukanya. Ajak berantem, Abang yakin kamu menang!"
Bulan sudah menghilang digantikan matahari. Embun masih terlihat di dedaunun, masih bisa terlihat jelas kala hujan mengguyur tadi malam. Ingin berangkat sekolah, Gemintang sudah memakai seragamnya namun rasanya malas. Bukan karena apa-apa, tapi karena Samudra. Saudara kembarnya pasti menyuruhnya pulang. Gemintang selalu muak dengan kata "pulang".
"Aku enggak bisa berantem, kata Kakak enggak boleh--enggak baik," lanjutnya. "Angel juga pasti marah."
"Jadi anak laki-laki enggak boleh cemen. Lagian juga siapa itu Angel? Pacar kamu ya?" tanya Gemintang. "Cantik, nggak?"
Sebelum Bintang menjawab, Bulan datang dari dalam rumah--mengunci pintu. Ia membawa keranjang berisi kue yang akan ia bawa ke sekolah dan berkata. "Jangan ajarin adik aku yang enggak-enggak. Atau pipi kamu yang aku pukul!"
Galak sekali. Rupanya Bulan bisa menjadi macan jika dengan adiknya.
"Ini urusan cowok." Gemintang melihat bocah berseragam putih-merah. "Iya, kan, Bintang?"
"Iya."
"Tos dulu!"
Mereka tertawa. Bulan terlihat cemburu. Rasakan itu!
"Ayo Bintang, kita berangkat, nanti kamu telat," ucapnya pada sang adik.
Gemintang menyambar saja seperti petir. "Lu mending bareng kita."
"Kita? Kita siapa?"
"Kita. Gue sama Bintang."
"Naik motor kamu? Enggak makasih. Ayo, Bintang!"
"Bintang sama gue."
"Aku kakaknya."
Gemintang tidak mau mengalah. "Gue abangnya. Kenapa enggak lu berangkat sendiri aja, sih, Kuda Nil?!"
Bulan memutarkan kedua bola matanya. Dia mengambil sepeda, ngambek dengan membantingnya. Keranjang kue-kuenya ia letakkan di keranjang depan, namun yang terjadi ban sepedanya kempes. Gemintang tertawa.
"Udah mending bareng gue aja."
Gengsinya tinggi sekali. Bulan menghiraukannya, berjalan kaki sembari membawa keranjang bawaannya. Aduh perempuan ini, kalau bukan karena ia sudah memberi nasi goreng pada Gemintang tadi, laki-laki itu sudah meninggalkannya pergi ke sekolah.
Alhasil, mereka pergi ke sekolah bersama-sama. Kocak sekali. Bulan berjalan kaki, Gemintang dan Bintang menaiki motor hitam besar milik Gemintang dan menjalankannya dengan pelan beriringan dengan Kuda Nil.
Gemintang terus mengoceh. "Ayo naik Kuda Nil yang cantik."
...
a.n
Capek kan kalau konflik mulu? Istirahat sebentar, ya?
Salam,
Penulis Idaman
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro