Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24 • Samudra Dengan Ketenangannya

"Loh, kok, kamu ke sini, Ya?"

"Calon mertua aku ulangtahun, masa aku enggak datang." Gadis cantik dengan pipi kiri yang terperban itu merayu. "Lagipula kamu enggak pernah ngenalin aku ke keluarga kamu selama dua tahun. Dan mungkin ini waktunya, iya, 'kan, Dra?"

"Ini udah malem, Aya."

"Aku tahu." Perempuan itu menatap kekasihnya, masih memegang kue dengan lilin menyala di atasnya. "Terus kamu tetap biarin aku di luar? Enggak suruh aku masuk gitu? Kalau aku diculik orang, gimana?"

"Siapa yang mau nyulik kamu?"

"Orang."

"Orang itu pasti menderita sekali hidupnya saat tahu manusia jenis apa yang dia culik."

"Kenapa? Aku 'kan cantik."

"Tapi cengeng."

Aya memeletkan lidahnya.

...

Samudra bangga pada pacarnya, dia diperebutkan semua laki-laki, secara harfiah berarti Aya itu cantik. Namun masalahnya, Samudra tidak mau ada orang yang tahu. Selain karena tidak mau dibicarakan orang-orang, dia juga mau mencari referensi sebanyak-banyaknya, dia hanya mau yang terbaik--dan Aya hampir mendekati kriteria Samudra. Karena terkadang sikap Aya itu terlalu kekanak-kanakan di hadapannya. Meski Samudra tahu, kekasihnya itu hanya manja pada orang-orang tertentu saja. Makanya kata "hampir" itu ada.

"Selamat ulangtahun, mamahnya Samudra!" katanya lucu sekali. Cahaya tertawa. Samudra hanya bisa tersenyum.

Untung saja Gemintang tidak ada di rumah, ia selalu pulang tengah malam, bukan? Dan ayahnya juga sama--pasti tengah meniduri wanita-wanita beruntung di dunia, itu sudah tabiatnya. Jadi Samudra tidak perlu risau.

"Makasih Cahaya, mamah juga seneng kamu datang." Bunda mengelus-elus rambut panjang Aya. "Akhirnya Samudra bawa perempuan ke sini, seenggaknya mamah udah enggak perlu khawatir kalau Samudra itu enggak normal."

"Maksudnya?"

"Kamu cuman bawa Romeo terus kesini, gimana bunda enggak khawatir?"

Sumpah demi apapun, Bunda itu benar-benar menyebalkan. Bagaimana bisa seorang laki-laki terhormat seperti Samudra menyukai Romeo. Amit-amit, lebih baik kayang sembari jungkir balik daripada pergi menikahi Romeo. Najis!

Kemudian begitu saja seterusnya. Mengobrol, tertawa, bercanda hingga hujan turun di luar sana. Cahaya dan Bunda tiba-tiba menjadi seperti dua orang sahabat, dan Samudra dilupakan bak kulit kacang, oh, ayolah! Mereka membicarakan Samudra seakan-akan Samudra tidak ada di sana.

"Siapa sih yang enggak suka sama Samudra? Dia 'kan cowok termanis di sekolah, Mah. Semua perempuan naksir dia."

"Kamu enggak khawatir kalau dia diambil orang?"

"Buat apa?" Gadis itu bertanya balik. "Samudra cuman sayang Aya, kan?" Cahaya tersenyum lebar.

Iya, Samudra sayang Cahaya. "Kata siapa? Aku cuman sayang Bunda, kok." Samudra memeluk sang ibu.

Cahaya kesal. Pipinya yang tiba-tiba tembam membuat Samudra tertawa. Menggodanya. Hingga kekasihnya yang manja itu menggiring arah pembicaraan paling menyebalkan sedunia di antara hujan yang ada di luar. "Ayahnya Samudra belum pulang?"

Bunda seketika diam. Samudra hanya bisa menjawab. "Hujan, Aya. Ayahku enggak mungkin hujan-hujanan 'kan?"

"Bukannya ayah kerja bawa mobil, ya?"

Mati. Hal apalagi yang harus dikatakan? Tidak mungkin bukan bahwa Samudra harus mengatakan si Bajingan itu tengah tidur bersama orang lain sekarang? Itu gila namanya. Aib keluarga!

"Dia pasti pulang, Cahaya, jangan khawatir," kata Bunda. Matanya berbinar.

Kemudian suara pintu utama terbuka, hujan juga lebih jelas terdengar. Suara itu berubah menjadi suara tawa dua orang, pria dan wanita dewasa. Itu pasti Gemintang, namun dengan siapa ia datang?

Samudra penasaran dari ruang makan. Ia ingin beranjak, dan memastikan, namun saat ia mulai berdiri. Dua orang itu datang. Membawa bencana paling mengerikan hati dan separuh jiwa. Samudra tidak ingin melihat ini semua.

"Halo ...," pria itu melihat remaja perempuan asing yang duduk di meja makan. Ia tersenyum cantik. "Ada siapa ini? Pacarnya Samudra, ya?"

"Iya." Cahaya mengangguk. "Ini ayahnya Samudra ya?"

Pria itu juga mengangguk. Cahaya berdiri, ingin mencium tangan sang pria, namun sebelum itu terjadi Samudra bertanya satu hal.

"Siapa yang Ayah bawa?" Samudra melirik perempuan dewasa dengan gaun pendek mencolok warna kuning dan bibir merah terbakar.

Suasana menjadi hening seketika. Canggung. Namun Samudra ingin tahu itu siapa. Dapat dari tempat sampah mana ayah menemukan pelacur ini?

"Namanya Arunika."

Wanita itu mengulurkan tangannya pada Samudra. Wangi bunga terasa begitu menusuk penciuman.

"Dia akan jadi ibu kamu juga, Samudra."

Petir menyambar. Suaranya mengangetkan Cahaya. Namun Samudra tidak. Dia tidak terkejut sama sekali oleh petir. Ia tahu sejak awal, ini pasti akan terjadi. Namun pikiran positifnya selalu berkata bahwa Ayah tidak akan mungkin membawa wanita lain pulang--ia masih cinta Bunda. Tapi ternyata Samudra salah besar.

Bunda berdiri dari duduknya. "Ayo disalamin, Samudra. Jadi anak yang baik, ya," kata Bunda mendukung dan terlihat bahagua. Namun Samudra masih bisa mendengar serak suara kesedihan.

Samudra tidak peduli. Ia menghiraukan tangan iblis itu ataupun kata-kata ibunya. Ia hanya bisa menarik tangan Cahaya. Membawanya pergi ke luar rumah. "Aku antar kamu pulang, Ya."

"Samudra kamu mau kemana?!"

"Mau antar Cahaya pulang."

"Hujan!"

"Seenggaknya, hujan lebih baik untuk Cahaya daripada aib keluarga kita!"

...

Apanya yang jadi anak baik? Menerima kenyataan bahwa ayah menjadi seorang bajingan dan membiarkan ibunya menangis seorang diri? Apanya yang bisa disebut anak baik?

Persetan dengan mereka semua. Tidak dengan Ayah, tidak juga dengan Bunda. Mereka tidak ada bedanya! Bagaimana bisa Bunda menerima itu semua? Apa benar kata orang cinta itu buta? Membuat sang korban menerima semua perlakuan apapun dengan lapang dada asal bisa terus bersama pujaan hatinya?

"Kamu enggak apa-apa, 'kan, Dra?"

Enggak kenapa-kenapa, bagaimana? Samudra itu kenapa-kenapa. Mengapa gadis ini tolol sekali?

Cahaya mengelus-elus pundak Samudra yang tengah menyetir mobil menembus hujan dan petir. Malam semakin larut, dan hujan semakin deras rupanya. Emosinya kini meledak-ledak.

"Kamu tahu, aku bisa nyanyi buat hibur kamu."

"Enggak perlu, Ya."

"Harus."

Tanpa persetujuan, Aya mulai menyanyikan lagu tentang cinta yang membuat Samudra muak setengah mati. "Dimanapun aku mencari senyuman itu. Di jalanan atau di koran, meski aku tahu kamu tidak pernah ada di sana...."

"Bisa diem sebentar, enggak, sih?!"

Cahaya tertegun. Ini pertama kalinya Samudra berteriak padanya.

Hingga ketika mereka melintasi sebuah jalanan yang lengang, ia melihat dengan lampu mobilnya. Seorang perempuan melambaikan tangannya, hujan menutupi. Beberapa laki-laki memukuli seseorang.

Saat Samudra mendekat dengan mobilnya,  mereka semua berhenti memukuli laki-laki yang terjatuh di jalanan. Ia melihat ke arah mobil Samudra.

Dan Samudra tahu beberapa hal di sana, wanita itu Ibu Dini, motor hitam besar di antara motor-motor yang lainnya ia kenali, dan ketika itu juga Gemintang bangun, wajahnya penuh darah, ia menerjang salah seorang laki-laki yang menendanginya. Dan saat teman-teman laki-laki itu tahu Gemintang bangkit, mereka kembali memukulinya. Ada sebenarnya?!

Cahaya panik menelpon seseorang. Ibu Dini berlari ke arah mobil. Berteriak meski tidak terdengar. Menggedor-gedor kaca mobil di antara basahnya hujan.

Satu yang seharusnya Samudra lakukan. Hanya satu. Menolong Gemintang--adik kembarnya.

Maka Samudra memanaskan mesin mobil yang sudah panas. Menyalakan api yang sedari tadi membakar. Seberapapun besarnya rasa benci pada sang saudara, namun ketika dia tersakiti, kita juga merasakannya, bukan?

Ketika itu juga, Samudra melajukan mobilnya, menabrak para iblis biadab yang melukai adik dan hatinya. Tidak ada satu hal pun yang dapat menghentikan. Baik hujan, petir, angin, bahkan Tuhan sekalipun. 

Tidak ada yang bisa.

Cukup Ayah yang pergi dan tidak pernah kembali, ia tidak mau ada yang lainnya lagi pergi.


...

a.n

Akhirnya, Bulan, Gemintang dan Samudra sudah mendapatkan klimaks akhir kelas dua mereka masing-masing. (Saya sendiri lebih suka klimaksnya Gemintang, sih)

Setengah perjalanan sudah terlewati. Ini baru pemanasan. Konflik aslinya ada di kelas tiga. Hahaha (ketawa jahat)

Salam,

Pemalas Yang Rindu Sebuah Pelukan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro