Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 • Samudra Tidak Ingin Menyakiti Siapapun Layaknya Lautan

Samudra itu luas, sama seperti hati laki-laki yang sekarang tengah berjongkok dan memandangi burung gereja yang jatuh di pinggir lapangan. Sayapnya patah, ia tidak bisa pergi ke awan, maka Samudra kasihan, hatinya terlalu rapuh. Jadi jelas, pemuda itu sekarang menadahkan tangannya, menaruh burung itu di telapak tangannya yang harum. Melon--buah kesukaanya.

"Gue enggak mau lihat," kata Romeo. Suara cicitan burung itu membuat sahabatnya ngilu. "Lu mau bawa ke mana, Dra?"

"UKS."

"Hah?" Romeo kebingungan.

"Katanya anak PMR," sindir Samudra. Jelas, Romeo 'kan ikut PMR hanya karena ada Ratna di sana, cewek yang ia taksir, perempuan yang enggak mau nembak Romeo duluan, kata sahabatnya yang sok ganteng itu. Lagipula sejak kapan ada sejarahnya perempuan bilang duluan? Meski dulu memang Cahaya yang nembak Samudra.

"Lu tahu 'kan gue PMR abal-abal?"

"Iya gue tau."

"Terus? Lagian juga enggak ada yang jaga UKS, gue enggak mau manggil Ratna, dia lagi belajar sekarang, gue nggak mau ganggu dia."

Samudra tetap berjalan membawa burung gereja berbunyi yang membuat telinga Romeo tidak tahan ingin menangis. Samudra tahu, burung ini punya keluarga, dia enggak mau keluarga mereka khawatir. Ah, Samudra itu terbuat dari apa sih sebenarnya? Sekumpulan air dan oksigen, bukan?

"Samudra?!" panggil Romeo yang ditinggal temannya itu. "Kampret. Dikacangin lagi!"

...

Selagi Romeo ke kelas karena buku tugas yang diambil dari ruang guru harus segera diberi ke Ibu Dini yang ada di kelas agar dia tidak mengoceh, Samudra meletakkan burung itu di kasur putih, mencari obat apa pun itu yang bisa meringankan beban sang burung. Iya, meringankan, setidaknya Samudra bisa meringankan.

Sunyi, suara langit di luar yang hanya terdengar. Siang hari. Dua jam lagi sekolah hari ini selesai. Samudra mengolesi sayap sang burung dengan minyak yang ada di kotak obat. Itu yang Samudra tahu sekarang. Dia bukan ahlinya, tapi setidaknya ini pertolongan pertama.

Sekarang Samudra pergi ke luar, sembari membawa burung yang ada di tadahan tangannya. Mencari tempat yang aman terlebih dahulu, setelah pulang sekolah, ia harus membawa burung ini ke dokter hewan, itu yang harus dilakukan.

Tetapi, di mana tempat yang aman?

Ia melihat Bulan di sana. Di balik pilar penyangga. Badannya yang besar, terlihat jelas di mata Samudra.

"Bulan!" panggilnya.

Gadis itu terkejut. Menjatuhkan pot tanaman kecil yang ada di samping. Samudra mengawasi, apa yang perempuan itu lakukan? Bersembunyi? Dari siapa?

"Bulan!" Lagi.

Sekarang bukan hanya pot yang jatuh, tapi juga badan Bulan yang besar. Samudra terkekeh.

"Kamu ngapain?"

"Eh, i-ini, gimana ya? Bingung jelasinnya."

"Kamu ngumpet? Memangnya saya makan teman?"

Samudra mengulurkan tangannya. Bulan tidak menerima, bangkit dari jatuhnya. Sang gadis tertawa, malu. Samudra tersenyum lucu.

"Habis dari mana?" Samudra bertanya lagi.

"Kamar mandi."

"Bukannya di lantai atas ada ya? Kok sampai turun ke bawah?"

Bulan diam. Beberapa lama. Tertawa aneh kemudian. "Iya, cari suasana baru," tawa garingnya.

"Mau bantu cariiin tempat yang aman buat burung ini?"

Bulan melihat burung yang ada di dekapan Samudra. Bulan juga mau itu. Di dekapan sang Pangeran. "Boleh."

...

Samudra manjat ke pohon yang ada di lapangan. Tidak peduli meski ada guru yang melihat, ini lebih penting masalahnya. Ada sarang burung di ranting pohon tepat di atas jatuhnya burung yang ia obati. Ini sudah pasti sangkarnya, keluarganya!

Ada anak burung di sana. Samudra memindahkan rumah itu di ranting paling bawah, tidak perlu repot memanjat lagi. Dan akhirnya burung itu bersama keluarganya kembali, meski sayapnya patah. Namun tenang burung, ini hanya sementara, Samudra akan membawamu ke dokter.

Selesai. Samudra menepuk-nepuk tangannya yang terdapat beberapa helai bulu burung dan debu. Celana dan kemeja putihnya juga sedikit kotor. Keringat menetes di leher. "Udah," katanya. "Kamu enggak jijik 'kan?"

Bulan menggeleng.

"Terimakasih, ya."

Bulan mengangguk.

Samudra tertawa. Wajahnya berkilau, glowing kalau kata orang-orang. Bukan, ini bukan hanya wajahnya, karena memang angkasa selalu menyinari Samudra. Laki-laki itu tergelak melihat Bulan. "Kamu kenapa?  Kok kayak boneka yang kepalanya goyang di mobil?"

Tertawa lagi.

Suara angin kemudian.

"Enggak mau ke kelas?" Samudra tanya. "Yuk, sebelum ada guru yang tahu. Bisa-bisa kita dihukum cuman gara-gara burung." Sumpah, kalimat Samudra benar-benar membingungkan. Ambigu. Laki-laki itu tertawa sendirian.

Daripada dia tertawa sendirian, gara-gara Bulan yang diam saja seperti patung, dia mulai berjalan. Namun sebelum itu, akhirnya gadis besar merah itu bersuara.

"Kamu baik," katanya.

Samudra mengangguk, bergumam. "Sesama makhluk hidup bukannya harus saling membantu?"

Bulan mengiyakan. Tiba-tiba memejamkan matanya. "Aku suka kamu."

Mata laki-laki itu mengernyit. Ada apa?

"Aku suka kamu, Dra. Aku suka bau melon kamu, aku suka senyuman kamu, aku suka sifat kamu. Kamu itu benar-benar samudra, membuat adem hati dan pikiran."

Samudra tidak habis pikir. Ada apa dengan Bulan? Ia tidak bisa, ia ingat Aya, namun lebih dari sekadar Cahaya. Laki-laki itu makhluk visual, Samudra merasa aneh saat Bulan bilang kalau gadis itu suka padanya. Bulan--wajahnya yang memerah membuat laki-laki itu terus mengenyitkan matanya--tidak enak.

"Kata Audrey, aku harus bilang sebelum menyesal. Dan kata Cahaya...."

Mati untuk Samudra.

"Cahaya bilang, bodo amat kamu mau suka  atau enggak. Aku juga enggak tahu kenapa."

Panas. Leher Samudra semakin penuh dengan keringat. Cahaya mentari menyilaukan matanya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas sekitar--ia tidak bisa melihat lapangan sekolahnya, rumput yang ada di pinggir lapangan, ranting pohon yang ada di atasnya, dinding sekolah, dan Bulan--gadis besar merah yang ada di hadapannya.

Ia harus apa untuk menolaknya, Tuhan?!

Samudra tidak ingin menyakiti orang lain. Jika harus dia menyakiti orang lain, tolong sakiti dirinya saja, Tuhan!

...

a.n

Tolong ajari saya membuat cerita komedi!!!

Salam,

Manusia Yang Mendambakan Dekapan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro