Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16 • Bulan Yang Kebingungan Di Mana Ia Berada

"Eh, kamu gambar apa, Lan?"

Cahaya menyenggol lengan gadis itu. Bulan tidak tahu. Sudah sedari tadi ia duduk di koridor sekolah sembari melihat lapangan kosong yang ada di hadapannya. Namun gadis berbadan besar itu belum juga menggores satu coretan pun di kertas--tugas menggambar dari Pak Galang. Guru laki-laki muda nan tampan, kata Cahaya dan perempuan lainnya. 

Bulan menggeleng, menaikkan bahunya--tanda kebingungan. Pusing. Otak kirinya lebih baik dari otak kanan, maka beri saja ia soal matematika.

"Kamu?" Bulan bertanya balik pada Cahaya.

Cahaya menunjukkan gambarnya--lautan, luas dengan perahu dan pesisir pantai yang ditumbuhi pohon kelapa. Indah. Namun sebelum Cahaya mengatakan apa yang ia gambar pada Bulan, Pak Galang mendekati Cahaya. Wajahnya dekat di leher Aya. Sang Putri kelas.

"Apa yang kamu gambar, Cahaya?"

Cahaya menunjukkan gambarnya ke Pak Galang yang membungkuk memegangi lututnya di belakang tubuh Aya. "Lautan. Bagus, enggak, Pak?"

"Cantik. Sama kayak yang buat," katanya.

Walau bukan Bulan yang dibilang cantik, entah mengapa kata-kata Pak Galang membuat gadis itu ikut terbang diembus senyuman Pria itu. Serius, tenyata memang benar kata Cahaya dan yang lain. Pak Galang itu bukan hanya tampan, dia romantis dan seksi juga ternyata. Kemeja lengan panjang yang ia gulung lengannya sampai ke sikut, membuat urat-urat kebiruannya menonjol, membuat Bulan resah sendirian berada di dekat guru itu.

"Pak, Bulan kebingungan dia mau gambar apa. Bisa kasih saran?" tanya Aya.

"Menggambar itu proses kreatif, Cahaya. Dia harus mencari hal itu sendiri, itu yang namanya seni--kreatif."

Ah, Bulan tahu, Pak Galang menghindar. Bulan 'kan jelek.

"Oh gitu ya, Pak?"

"Iya."

"Terimakasih, Pak."

Pak Galang tersenyum. Bibirnya--bukan, maksudnya wajahnya terlalu dekat dengan leher Cahaya. Dia berbisik di telinga Sang Putri kelas. Bulan bisa mendengarnya. "Kalau kamu butuh bantuan, bilang saja sama saya."

Bulan tahu, ada yang tidak wajar dari guru seksi dan romantis yang baru ia akui tersebut.

...

"Sumpah demi apapun, Pak Galang makin lama makin ngeselin."

"Loh, kenapa?" tanya Cahaya pada Salma saat mereka sedang istirahat makan siang.

"Kemarin kancing atas kemejanya kebuka satu, terus tadi kebuka dua, besok-besok bisa aja kebuka semua ... gue nggak siap, Cahaya."

Audrey tiba-tiba antusias. "Ih, iya, Sal. Kok lama-lama Pak Galang ngelunjak banget, ya? Udah dadanya gagah banget kayak gatot kaca, urat lengannya tegas--gue berasa dilindungi banget kalo deket dia, sama suaranya itu loh, Sal! Anget-anget taik kucing. Gue rela kok diperkosa sama dia...!"

Aya menempeleng kepala Audrey yang tolol itu. Bulan ketawa-ketawa saja. Karena itu lucu, serius, meski kata-kata terakhir Audrey memang bodohnya kebangetan. Apa mungkin Audrey suka baca cerita-cerita dewasa? Dasar remaja puber.

"Kenapa, sih?" Audrey ngamuk.

"Dijaga mulutnya."

Salma membela Audrey. "Emang kenapa, Ya? Cinta itu 'kan buta."

"Tapi kalo cintanya kayak gitu, namanya cinta itu goblok, Sal."

"Enggak apa-apa goblok. Yang penting Pak Galang jadi milik gue!" Audrey melet ke Cahaya.

Bulan diam saja. Ia tidak ingin menggubris. Takut-takut dia salah kata. Dan membuat Audrey dan Salma menjadi jijik sama Bulan yang sudah otomatis menjadi teman mereka berdua karena jadi teman Cahaya. Jadi Bulan hanya terus memakan baksonya sambil tertawa kecil melihat kelakuan mereka. Bulan 'kan mau punya teman, genk perempuan sendiri sama seperti yang selalu ia lihat.

Selagi Bulan memakan bakso uratnya sambil menonton pertengkaran antara Cahaya, Salma dan Audrey di kantin. Samudra datang, duduk bersebrangan dengan meja mereka bersama Romeo. Samudra tertawa. Lucu melihat senyumannya.

Aduh, Bulan senyum-senyum sendiri sekarang. Dia harus menyembunyikannya. Kalau Aya tahu dia senyum sendirian kayak orang gila gara-gara Samudra yang manisnya ngelebihin gula merah, habis dia diledekin.

Namun Aya terlebih dahulu menyadari gelagat aneh teman lama dan barunya itu. Ia berbisik pada Bulan. Tidak lagi bertengkar.

"Kenapa senyum-senyum sendiri? Cowok yang kamu suka ada di sini?"

Dengan cepat Bulan menggeleng.

"Bohong."

Audrey dan Salma penasaran. "Apaan sih, Ya, Lan? Jangan bisik-bisik dong. Ngomongin kita, ya?!"

"Pe-de kamu, Drey." Mata Aya melotot. "Ini loh, Bulan itu suka sama cowok dari kelas satu yang katanya manisnya bikin diabetes, terus 'kan tadi dia cuman diem-diem aja nih sambil makan bakso--sesekali nyengirin kita. Eh, tiba-tiba dia senyum-senyum sendiri sambil nunduk malingin wajahnya."

"Terus?"

"Ya, pasti gara-gara cowok itu ada di sini sekarang--di kantin."

Mati. Kenapa Cahaya pakai ngomong-ngomong sama Salma dan Audrey, sih? Kalau semua orang tahu bagaimana? Kalau Samudra tahu juga tahu? Ah, mending dia jadi cangkir kopi saja sekarang.

"Siapa, Lan?" Audrey tiba-tiba kepo. "Ganteng?"

"Pasti."

"Gue enggak nanya lu, ya, Cahaya." Audrey sebagai perempuan agresif yang Bulan tahu bilang. "Kalau lu suka sama orang, kasih tahu. Sebelum nyesel."

"Sebagai cewek, jual mahal dikit dong, Drey...."

"Sekarang jamannya emansipasi, Sal!"

Bulan menggeleng. Mau ditaruh di mana mukanya?

"Emang kenapa?"

"Terlalu mustahil. Aku 'kan jelek," aku Bulan.

"Ya emang kenapa?" Audrey kekeh.

"Cowok itu 'kan makhluk visual, Drey." Salma ada benarnya. Secara tidak langsung juga, ia setuju bahwa Bulan jelek. Lagipula kuda nil 'kan hidup di rawa-rawa, bukan di lautan luas yang bernama samudra.

"Eh, makanya baca novel dong! Banyak cerita tentang pangeran tampan jodohnya sama itik buruk rupa tahu."

"Tapi ada benernya juga loh, Lan, kata-kata Audrey." Kini giliran Cahaya. "Kamu harus ngomong sama orang yang kamu suka itu. Seenggaknya dia tahu perasaan kamu kayak apa. Bodo amat dia mau suka juga sama kamu atau enggak. Aku juga pernah kok bilang suka sama cowok yang aku taksir, dan hasilnya, sekarang aku sama dia udah pacaran lebih dari setahun."

"Ciyeee ... tuh, Lan, Sal, lihat Aya. Walaupun dia enggak pernah ngasih tahu siapa nama pacarnya sama gue atau Salma, tapi dia berani 'kan? Emang kata siapa kalau cewek bilang suka duluan itu murahan?"

Bulan kebingungan. Apa yang harus ia katakan? Apa dia memang harus bilang suka sama Samudra? Kalau nanti pangerannya malah benci dan jijik sama gadis jelek ini, apa kabarnya nanti? Tapi mendengar apa yang Cahaya dan Audrey katakan, serta melihat kelakuan Samudra yang hangat seperti berbicara padanya saat hujan kala itu, mengobatinya saat tertabrak waktu itu dan memakan kuenya sembari bercanda, membuat jantungnya melompat. Jatuh ke dalam sumur.

"Kamu harus bilang, Lan!" semangat Audrey.

Aya tersenyum--mengangguk.

Samudra tidak akan membencinya apalagi jijik kalau Bulan bilang suka sama sang Pangeran. Dia laki-laki baik dan manis idaman Bulan, bukan? Itu tidak akan mungkin.

Jadi dengan sedikit keresahan. Kecil. Bulan menjawab. "Aku coba nanti."

Ia melihat Samudra yang sedang memakan mi ayamnya. Melihatnya lamat-lamat. Manis. Meski jaraknya lumayan jauh, namun Bulan bisa mencium aroma tubuhnya yang seharum melon baru dipetik. Ah, Bulan deg-degan. Ini sama saja kayak ngajak Samudra pacaran sama Bulan, enggak, sih?

Dan ginjalnya sekarang berdansa kala Samudra mendapati Bulan memperhatikannya terus-menerus. Samudra tersenyum, meski mi ayamnya masih ada di mulut. Membuat pipi sang Pangeran tembam--imut, manis, romantis. Mengapa, sih, Samudra suka bikin usus besar dan kecil Bulan jadi mulas dan berbunga-bunga?

Pangeran lautan idamannya, tunggu Bulan, ya!

...

a.n

Ini baru seperempat jalan cerita tentang Bulan, Gemintang dan Samudra. Konfliknya saya bocorkan sedikit-demi sedikit, meski saya enggak yakin cerita ini bakal layak buat remaja di bagian pamungkasnya nanti atau enggak.

Tapi sebisa mungkin cerita ini saya dedikasikan buat remaja yang hormonnya masih labil dan meledak-ledak seperti saya ini. Hahaha.

Salam,

Orang Ketiga Yang Menanti Sang Kekasih Berhenti Mencintai Orang Lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro