15 • Samudra Tidak Pernah Tahu Seberapa Dalam Dirinya
"Pakai stroberi, enggak?" tanya si perempuan.
Pacarnya hanya tersenyum, gigi-giginya terlihat bersih. Menatap sang gadis penuh tawa. Sebenarnya perempuan itu ke sini mau beli tepung, gula, mentega dan buah buat dijadiin kue atau dijual lagi buat dapat uang untuk bayar spp sekolah atau bagaimana, sih? Maksudnya, kamu enggak lihat, satu keranjang ini sudah enggak muat karena tepung beras, telur, meteor, asteroid dan lainnya? Dia bisa gila kalau begini caranya. Atau mungkin ini saatnya laki-laki itu pergi ke meja kasir terus ngobrol sama mba-mbanya supaya dapat nomor telepon?
"Samudra?!"
"Udah enggak muat keranjangnya, Aya," katanya. "Berat ...," tambahnya lagi. Samudra terkekeh.
"Jangan jadi cowok aku kalau enggak kuat, pergi sana!"
"Oke." Samudra melepas keranjang pacarnya. Berbalik, berjalan pergi. Cahaya benar-benar kesal sekarang. Samudra memang suka bikin jengkel!
"Samudra!"
Samudra tertawa. "Lagian tadi kamu suruh aku pergi. Ya, aku turutin."
"Terus kalau aku suruh kamu nyebur ke sumur, kamu juga mau?!"
"Kalau itu emang bisa bikin kamu bahagia, kenapa enggak?"
Cahaya mencubit perut Samudra yang dilapisi kain sweter hangat pemberiannya. Kalau bukan pacar, wajah Samudra pasti sudah biru karena ditinju Cahaya, lagipula ini 'kan di pusat perbelanjaan, bisa-bisa dia masuk penjara gara-gara nonjok pipi Samudra.
Samudra akhirnya menukar keranjang tentengannya dengan troli. Memangnya dia samson yang kuat apa? Samudra ya Samudra. Makanya kenapa Aya suka pemuda manis dan penolong itu, itu yang Samudra tahu.
Mereka asik sekali memilih-milih buah apa yang pas buat kue kali ini. Cahaya mau masak, dan ini pertama kalinya gadis itu memasak, Samudra hanya bisa tertawa kala kekasihnya itu bilang bahwa ia akan buat kue kali ini untuk Samudra. Karena yang laki-laki itu tahu, Aya tidak bisa masak, bahkan saat ia merebus air. Samudra yakin, pasti airnya gosong.
"Kamu yakin mau masak?"
"Yakin," katanya. Mereka masih berjalan mencari bahan-bahan masakan di pantri pasar modern. Aya tertawa melihat ke mata Samudra yang lebih tinggi darinya. "Kenapa?"
"Emang mau buat kue apa sampai beli segini banyak? Perut aku bukan gentong, kamu tahu 'kan?"
"Kue cokelat stoberi, Samudra ... pasti enak."
Samudra mengejek Cahaya. "Kamu masak air aja gosong. Sok-sokan buat kue."
Cahaya mencubit perut pacarnya itu sekali lagi. Gemas. "Rasain!"
Samudra mengaduh. Perempuannya ini memang sangat ganas, untung Samudra sayang Aya. Ia merangkul Aya, berjalan bersama sambil membawa troli. "Ini sih namanya belanja bulanan."
Cahaya mencubit kembali perut samping Samudra. Mereka tertawa. Mesra sekali.
...
Samudra memandangi Cahaya di meja makan, pacarnya itu sibuk mengaduk adonan kue yang akan ia buat. Keringat menetes di pelipis Cahaya--basah, Samudra mengelapnya.
Cahaya menatap Samudra. Tertawa melihat kelakuan sang kekasih. Perempuan mana, sih, yang tahan tidak melompat ke dasar jurang kalau separuh hatinya melakukan hal kecil namun penuh perhatian seperti itu?
"Mau dibantuin?"
"Enggak. Itu sama aja aku enggak buat kue untuk kamu," katanya. Samudra mengiyakan. Cahaya memang seperti itu.
Laki-laki itu jadi teringat kue basah yang pernah ia makan di sekolah, yang sisa-sisa lengket kue itu ada di pipinya--gara-gara gadis itu. Sumpah demi apapun, Samudra ingin tertawa sekarang.
Lantas ia jadi teringat juga, bagaimana Bulan dengan Cahaya. Apa gadis itu sudah merasa tidak sendirian sekarang? Apa wajahnya sudah tidak memerah? Apa lebih baik?
"Aya?"
Perempuan yang masih mengaduk adonan itu menoleh ke asal suara. "Kenapa?"
"Kemarin Bulan main ke sini 'kan? Rumah kamu."
"Ah, iya. Bulan masih asik kayak dulu. Dia pendengar yang baik, dia masih sama--enggak berlebihan buat cerita tentang dirinya sendiri. Aku suka dia, karena dia bukan orang yang maunya cuman di dengar aja. Diturutin aja."
"Kamu temenan sama Bulan udah lama? Kenapa aku baru tahu sekarang? Kenapa kalian enggak terlihat dekat? " tanyanya.
"Kita beda kelas pas kelas satu SMA, Dra. Itu yang buat kita agak menjauh, tapi aku masih suka nyapa Bulan, kok."
"Dan sekarang satu kelas bareng. Kenapa kalian enggak dekat lagi?"
"Gimana ya, Dra? Salma sama Audrey enggak suka sebenarnya sama Bulan. Kata mereka, dia aneh. Suka ngomong sendiri, satu kelas juga enggak ada yang suka sama dia."
Samudra bangkit dari kursinya mendengar perkataan Cahaya. Apa maksudnya? Ia mendekat. Senyumannya hilang.
Aya tahu raut wajah pacarnya itu. Pasti Samudra akan menceramahinya, jadi sebelum itu, Aya harus segera berbicara. "Tapi kamu 'kan minta tolong sama aku buat jadi temen dia, jadi kenapa enggak kalau itu bisa bikin Samudranya aku bahagia? Lagipula Bulan itu tetap teman aku 'kan?"
Tadinya Samudra ingin mengoceh pada Aya. Mengapa pacarnya itu tidak mau menjadi teman Bulan sebelum Samudra mintai tolong? Apa dia malu punya teman kaya Bulan? Apa gengsinya Cahaya setinggi langit? Namun mendengar kalimat terakhir Cahaya, pemuda itu lebih tenang.
Cahaya memegang lengan Samudra dengan tangan kirinya yang masih bersih dari adonan kue. Tersenyum. "Jangan khawatir."
Samudra tersenyum. Menatap mata Aya. Gadis itu melihat danau di dalam kornea sang pemuda. Memandanginya lekat-lekat. Wajah mereka saling berdekatan. Bibir itu tertempel lagi. Rasanya dingin. Segar di siang hari.
Samudra melepasnya. "Bulan cerita apa aja?"
"Banyak."
"Misalnya?"
"Tentang Ibunya yang suka nyuruh dia buat kue pagi-pagi buta. Tentang adiknya yang lucunya enggak pernah ketolong," jawabnya. "Dan yang paling penting, tentang cowok yang dia taksir dari kelas satu, aku enggak percaya kalau Bulan suka sama cowok--aku kira dia bakal menuhin hari-hari sekolahnya dengan belajar dan belajar aja."
Samudra penasaran. "Cowok yang dia suka?"
"Iya."
"Siapa?"
Cahaya menaikkan bahunya. "Enggak tahu. Dia enggak bilang soalnya. Curang banget 'kan?"
...
an
Kemalasan saya sepertinya sudah stadium empat. Ada yang bisa sembuhin?
Terimakasih ya yang sudah berkontribusi di cerita ini entah itu ngeshare cerita ini ke orang-orang, atau vote cerita ini, atau berkomentar yang bisa bikin saya semangat lagi, atau hanya baca cerita. Pokoknya saya sayang kalian.
Kalau ada yang minta pelukan, boleh banget sini!
Salam,
Pangeran Tanpa Kuda Yang Tidak Bisa Bermain Pedang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro