05 • Gemintang Selalu Bersinar Di Angkasa
Pemuda itu menggiring bolanya, maju ke depan, daerah musuh. Kemudian menendang sang bola, masuk--ke dalam gawang. Gadis-gadis bersorak dan laki-laki lain yang ikut menonton bertepuk tangan.
Gemintang berlari setelahnya menuju satu perempuan yang sedari tadi seperti orang kesurupan di pinggir lapangan. Shania menyodorkan botol air mineral pada Gemintang. Gemintang menerima--mendongakkan kepala--minum dengan cepat. Seragam putih abu-abu yang ia kenakan dengan tiga kancing atas yang terbuka, memperlihatkan kaos hitam membungkus dada bidang berkeringatnya itu semakin basah.
Shania ingin mati sekarang melihat Gemintang. Jessika yang ada di sebelah hanya tertawa dan menyenggol-nyenggol lengan Shania.
"Jadikan anterin gue balik?"
Gemintang melempar botol plastik yang sudah tidak berisi itu jauh ke pot tanaman sekolah. "Yuk," Katanya. Shania tersenyum pada Jessika.
"Nat, Rang, Yo! Gue balik duluan!" Gemintang melambaikan tangannya.
Mereka menangguk. Melanjutkan permainan. Gemintang dan Shania berjalan menuju parkiran, orang-orang mulai membicarakan mereka. Gemintang tidak peduli, dia sudah biasa, seperti artis.
"Selamat ya Shan," kata mereka. Gemintang hanya tersenyum, Shania malah tertawa. Gemintang sudah tahu.
Kemudian gadis berkucir kuda dan berponi itu mengaduh kesakitan. Keseleo, katanya. Maka Gemintang membantunya, merangkul Shania--meski Gemintang tahu, dia berpura-pura. Lagipula, ini menguntungkan, memegang tubuh salah satu gadis populer dan seksi di sekolahnya, bukan?
Semakin ramai lah obrolan orang-orang tentang mereka--tentang pangeran bintang dan putri buminya. "Gue nggak apa-apa kok, Tang." Namun tangannya melingakar di perut sang pangeran.
Mereka masih berjalan menuju parkiran, sedikit lebih lama. Ah, manis sekali kalau kata orang-orang. Setelahnya, sebuah botol air mineral menggelinding di hadapan mereka. Sosok gadis bertubuh besar itu membuat bumi berguncang, berlari merunduk mengambil botol minum birunya--menabrak sepasang merpati.
Shania terjatuh. Berteriak. "Lo apa-apaan, sih?!" katanya. "Udah tau badan lo segede gajah! Nggak liat kaki gue lagi sakit?!"
"Maaf."
"Aduh, Kuda Nil.... " Gemintang meringis. "Tolol banget sih lu!"
Bulan hanya diam. Matanya basah. Botol yang digenggamannya ditarik paksa oleh laki-laki berkeringat itu. Gemintang membanting botol minumnya, pecah, membelah dua. Shania menahan Gemintang. Mengajaknya pulang.
Orang-orang yang memperhatikan kejadian barusan menatap Bulan. Bergunjing.
Gemintang bangga. Shania pasti berpikir bahwa Ia bisa diandalkan--menjaga gadis itu dan membuat harga dirinya tinggi--tidak ada yang bisa menginjaknya. Ini hal yang lucu. Lagipula, siapa yang peduli dengan kaki Shania? Toh dia hanya berpura-pura, agar bisa memeluk Gemintang. Gadis mana yang tidak ingin bersentuhan dengan Gemintang?
"Nanti mau main sebentar di rumah?" tawar sang gadis. Gemintang setuju.
Mereka menaiki motor besar hitam Gemintang. Shania memeluknya erat. Di jalanan dekat sekolah terlihat keramaian. Gemintang berhenti.
"Kenapa berhenti, Tang?"
Gemintang tidak menjawab pertanyaan Shania. Ia turun dari motor yang ia tinggalkan di dekat pedestrian. Mendekat ke kerumunan. Ada pertikaian di sana.
"Motor gue rusak ini, lo harus ganti!"
"Tapi 'kan kamu yang nabrak aku!"
"Motor gue sama badan lo, gedean badan lo, Gendut!"
Gemintang sadar itu siapa. Ia memperhatikan sesaat. "Yang nabrak siapa, yang harus ganti rugi siapa," katanya.
Orang-orang di sana beralih melihat Gemintang.
"Lo siapa? Pacarnya? Bagus. Pacar lo nih nabrak motor gue!" Pemuda berseragam sama dengannya namun berbeda sekolah menunjuk-nunjuk Bulan yang berdiri sambil menahan sakitnya. "Gue nggak mau tahu, motor gue itu lebih mahal dari harga dirinya, bahkan dari diri lo!"
"Lebay banget sih lo jadi cowok! Cuman kaya gini doang. Lagipula juga lo yang salah, Tolol! Mana ada orang jalan yang nabrak motor?!" Dadanya terbakar. Gemintang memang nakal, namun setidaknya ia tidak bodoh seperti orang ini.
Walaupun tubuh Bulan seperti kuda nil, wajahnya buruk rupa penuh jerawat dan tonjolan layaknya bulan yang sesungguhnya, serta sifatnya yang aneh terkadang, namun Bulan tetap temannya. Teman sekolah, sekelas dan sebangku. Gemintang sadar itu. Tidak ada anak sekolah lain yang boleh berbuat onar pada teman-temannya. Tidak. Maka itu sama saja menyulut jiwa Gemintang.
Maka Gemintang merogoh dompet yang berada di celananya, mengambil beberapa lembar uang merah dan kartu debit--melempar itu semua ke wajah laki-laki tolol tersebut. "010197" katanya. "Itu nomor pinnya. Puas?!"
Laki-laki itu menghitung uang yang Gemintang beri.
Gemintang menatap buas. Bulan tidak mengerti. Ia tidak pernah mengerti sejak awal. Laki-laki itu akhirnya menaiki motornya. "Jangan ulangin lagi lo, ya!" awasnya.
Gemintang masih berdiri di tempatnya. "Hati-hati!" Pada laki-laki itu.
Pemuda itu menyalakan mesin motornya. Suara knalpot berteriak. Saat itu juga Gemintang kembali ke motornya di belakang, mengambil helm miliknya, berlari. Memukul kepala sang pria dengan benda itu. Gemintang mengumpat. "Brengsek!" Lebih dari sekadar berengsek.
Pria tolol itu terjatuh. Gemintang menindihnya. Memukul sang pria dengan cepat, darah tercetak di tangannya.
Orang-orang semakin ramai. Mencoba melerai. Ricuh. Asap kendaraan, sinar mentari dan debu, darah itu tercium. Bulan mundur, terjatuh ke belakang, rok bagian lututnya semakin menggelap akibat darah tabrakan laki-laki itu, sakit, mencoba mencerna apa yang terjadi.
Gemintang, bocah laki-laki itu. Bocah yang selalu sama, seperti dulu. Dia tidak pernah berubah rupanya.
...
Catatan.
Jadi, menurut kalian, Gemintang itu orangnya gimana sih? Saya mau tahu XD
Omong-omong, saya enggak suka cerita yang bertele-tele, tapi saya juga enggak bisa buat cerita yang tidak bertele-tele. Sungguh bertentangan sekali hati dan pikiran saya, kan?
Terimakasih juga loh sudah membaca cerita ini, saya harap apa yang kamu mimpikan jadi nyata, ya.
Salam,
Laki-Laki Yang Tidak Akan Sesempurna Ryan Gosling. (Jadi, Jangan Pernah Menyesal).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro