Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

04 • Bulan Yang Membenci Pasangannya Di Langit

"Jangan nangis lagi," katanya, sebelum sang pangeran memasuki bis oren itu. Bulan tersenyum--di dalam jiwanya. Ternyata Bulan tidak pernah salah untuk senyukai Samudra sejak kelas satu, bahkan walau ia tidak pernah tahu keberadaan Bulan selama satu tahun. Bulan tidak bisa tidur semalaman karena hal kecil tersebut. Apakah ini rasanya diperhatikan seseorang? Apalagi ini Pangerannya. Bagaimana Bulan bisa melupakan perasaan itu?

Bulan juga tidak tahu, mimpi buruk apa yang membuat hidupnya di sekolah semakin buruk ketika ia duduk semeja dengan laki-laki paling nakal, tidak teratur dan sok tampan seperti Gemintang.

"Kenapa lihat-lihat?!" Gemintang menatap tajam mata Bulan.

Bulan tersentak mendengarnya. Tuhkan, ini yang Bulan khawatirkan. Maksudnya, mengapa dia tiba-tiba berteriak? Bulan hanya melihatnya sekilas, tidak menatap matanya seolah-olah dirinya adalah cowok tertampan sedunia--mengalahkan Nicholas Saputra.

"Enggak usah lihat-lihat! Nanti lo suka lagi sama gue!" Matanya tajam, seperti elang.

Bulan ingin berteriak. Ingin mengatakan bahwa dia bukan gadis kebanyakan yang menyukai laki-laki sok ketampanan itu. Dia tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Dan jelas, Gemintang bukan sekadar buruk, dia lebih dari itu--biadab.

"Lu jangan gitu sama Putri kita dong, Tang," celetuk Mario sembari tertawa kecil di depan meja Gemintang.

"Kaya gini dibilang Putri?" Gemintang menunjuk wajah Bulan, tepat di depannya. "Nama sama mukanya aja sama."

"Sama gimana?"

"Lu lihat aja bulan pas malem gimana!"

"Cakep." Mario menjawab.

"Itu kalo dari jauh. Kalo dari deket?" Gemintang menyunggingkan bibirnya.

"Wah, parah lu, Tang. Gradakan maksud lu?" Mario tertawa kencang. Ibu Dini yang duduk di singgasananya mendesis ke arah Mario. Mario diam sementara.

Bulan hanya harus tidak peduli. Dia tetap mengerjakan tugas yang diberikan Ibu Dini. Karena jika ia peduli, mereka tidak akan bosan dan berhenti mengejek fisiknya. Memangnya mengapa kalau dirinya jerawatan? Ini wajar terjadi. Pubertas, siklus bulanan. Apa laki-laki itu ingin merasakannya?

Gemintang dan kawan-kawannya jelas jauh berbeda dengan saudara kembarnya--Samudra. Mengapa ia tidak ditakdirkan semeja dan sekelas dengan Samudra? Mengapa harus bersama saudara kembar pangerannya yang sifatnya jauh lebih bejat dibandingkan preman yang suka menggoda perempuan.

Samudra dan Gemintang, persamaan mereka hanya sama di fisik. Mereka tampan, populer, kaya, tubuh mereka atletis untuk seukuran remaja SMA, mata mereka seperti elang--tajam sedikit naik, rahang mereka terbentuk keras, sepatu mereka selalu keren--tidak seperti Bulan.

Perilaku mereka yang berbeda. Samudra jelas laki-laki sempurna, ia selalu membantu seseorang, pintar, pakaiannya selalu rapi, wanginya seperti buah melon--Bulan suka mencium wanginya, dan yang membuat Bulan ingin mati ketika melihat Samudra adalah--senyumannya--merah muda.

Dibandingkan Samudra, jelas, Gemintang tidak lebih dari seorang pengamen yang suka perawatan di salon kecantikan. Ia selalu menindas orang-orang lemah, bodoh, baunya seperti kemenyan--wangi yang seksi kata mereka--gadis-gadis yang buta oleh ketampanan, dan bibirnya--Bulan ingin sekali menempelkan pewarna merah untuk bibir Gemintang yang seperti warna kayu pohon mahoni.

Mereka jelas berbeda untuk dikatakan kembar, bahkan Bulan sendiri tidak percaya jika mereka benar-benar dilahirkan di rahim yang sama. Bisa saja Gemintang adalah ari-ari Samudra yang hidup, siapa yang tahu?

Gemintang berbisik. "Yang ngomong gradakan bukan gue loh, ya."

"Terserah."

"Gemintang, nangis lu anak orang!" kata Mario. "Enggak dikasih jawaban matematika lagi lu!"

"Eh, jangan!" Gemintang berbisik kencang. "Yaudah, deh. Gue minta maaf ya, Putri Bulan." Gemintang meraih tangan Bulan yang ada di atas meja. Namun gadis itu menarik tangannya.

"Yah, enggak dimaafin dong," kata Gemintang pada Mario.

"Kasih apa kek, biar seneng." Mario menimpali.

Gemintang mengarahkan pandangannya lagi pada Bulan. Mencolek lengannya. "Kalo dicium, dimaafin, enggak?"

Bulan terdiam dari pekerjaanya. Risih. "Apaan, sih?"

"Cium."

Mario tertawa. "Kapan lagi coba nyium Putri paling cantik di kelas ini," godanya. Menyindir. Tertawa busuk.

Mendengar kebisingan itu--tawa Mario yang seperti genderuwo, Ibu Dini yang duduk dengan damai sedari tadi terpancing. "Mario! Kenapa kamu ketawa? Kamu kesurupan? Apa yang lucu?!"

Mario terdiam. "Ini, Bu. Anu."

"Apa?!"

Dengan kilat. "Gemintang mau nyium Bulan, Bu! "

Sontak seisi kelas ribut karena kalimat bodoh Mario. Benar-benar bodoh. Bahkan monyet amazon saja tidak akan sebodoh itu. Bagaimana bisa Mario berkata seperti orang idiot?

"CEPET CIUM TANG...!"

"Ya, Tuhan ... Gemintang udah enggak waras!"

"Nyebut, Tang, nyebut!"

Bulan menundukkan wajahnya, malu--mencoba menyembunyikan hatinya, namun percuma, ia tidak bisa bersembunyi, hanya jika saja badannya yang besar tidak terlihat.

"Enggak usah malu-malu lagi." Gemintang menatap mata Bulan--mata genit, wajah penuh kebohongan rayuan laki-laki. "Kapan lagi di cium sama cowok seganteng gue? Belom pernah kan lo?"

Bulan menjauhkan badannya dari Gemintang, mencoba menghindar. Lagipula mau setampan apapun Gemintang, dia tidak akan lebih menjadi sampah di mata Bulan--tidak berguna. Dan hidup dengan menyusahkan orang lain.

Gemintang semakin nekat. Kini wajahnya mendekati Bulan. Mulutnya maju, menembus angin dan debu. Semakin dekat, lebih dekat, makin dekat. Sedetik itu juga, sebuah penggaris mendarat di bibir Gemintang. Ibu Dini berdiri seperti malaikat peniup sangkakala.

"Aduh, sakit, Bu, sakit...."

Ibu Dini terus menampar bibir Gemintang dengan penggaris kecilnya. "Masih mau buat ribut lagi?"

"Enggak, Bu. Enggak ... Ampun...."

Ibu Dini berhenti.

Gemintang memegang bibirnya. "Saya laporin Kak Seto, ya, Bu."

Seisi kelas tertawa, menertawakan Gemintang sekarang. Bulan juga di sana, ikut tertawa--meski kecil dan tidak terdengar.

Hingga suara-suara menyakitkan itu terdengar lagi--salah satu temannya--bukan, bukan temannya. Bulan tidak tahu.

"Yah, enggak jadi ada atraksi nyium kuda nil, dong?"

***

a.n

Kalian pernah enggak, sih, fisik kalian diejek sampai kalian ngerasa bahwa hidup enggak pernah adil? Kalau pernah, boleh kok cerita di pundak saya. Saya enggak akan marah.

Salam,

Laki-laki yang Sedang Menunggu Cintanya Berhenti Memeluk Orang Lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro