Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AKTARI || 9. Tante

"Jadi, kali ini ... siapa yang berulah?"

***

Aksara melerai pelukannya. Lalu rahangnya mengeras karena kehadiran seorang pria yang tak pernah diinginkanya.

Sedang sang pria, dia melepas helm dan mematikan mesin motornya. Dengan seragam sekolah yang masih melekat, dia menghampiri Aksara dan kembali memancing amarahnya.

"Ngapain disini? Ngemis uang? Ngemis perhatian? Kebahagiaan? Atau ... ngemis belaian?"

Bugh.

Aksara sedikit menyeringai.

Tari--yang sedari tadi berada di dalam mobil, segera keluar menghampiri mereka.

"Dua kali lo mukul gue. Jangan harap lo bisa senyum setelah ini."

Bugh.

Bugh.

"Aksara!"

Bugh.

"Kak Aslan, cukup!"

Bugh.

Bugh.

Eva dan Tari menyelinap menengahi keduanya. Berusaha melerai sebelum luka mereka semakin parah.

"CUKUP!" bentakan keras dari para wanita berhasil menghentikan aksi mereka.

Eva yang menghadap Aksara langsung memeluk dan berujar lirih, "jangan seperti ini."

Lalu Tari yang menghadap Aslan, terdiam dengan netra yang berkilat marah.

"Cukup Kak, cukup. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan otot."

"Aksara, ayo pulang." Eva menarik lengan Aksara. Dan Aksara menarik lengan Tari setelahnya.

Di perjalanan pulang, tak ada yang angkat bicara. Aksara segera memasuki rumah setelah mobilnya menepi di kediamannya.

Barulah setelahnya Eva angkat suara. Menyadarkan Tari yang tetap diam di tempatnya.

"Namamu siapa?"

"T-tari, Tante," canggung Tari tersenyum kaku.

Eva tersenyum hangat dan mengusap surainya lembut. "Ayo masuk. Aksara butuh kamu."

"I-ya, Tante."

***

"Ssh. Pelan-pelan."

Tari berdecak. Dasar payah. Untuk apa adu jotos jika diobati saja lebay seperti ini? Tapi tak ayal Tari memelankan gerakan tangannya.

Tari fokus pada luka di ujung bibir Aksara. Sedang Aksara, dia memperhatikan raut wajah serius Tari.

Menyadari sedang diperhatikan, Tari mendadak gugup. Matanya mulai tak fokus dan melihat ke beberapa titik. Hingga Aksara mencekal lembut pergelangan tangannya, berulah ia memfokuskan pandangan pada netra tajam milik Aksara.

"Lo gugup."

Deg.

Jantung, lo kenapa?

Aksara tersenyum tipis. Memperhatikan Tari yang tak sedikitpun berkutik.

"Cepat beresin lukanya," perintah Aksara mengembalikan kesadaran Tari sepenuhnya.

Tanpa banyak bicara dan berusaha fokus pada luka Aksara, Tari menyelesaikan kegiatannya.

Hari sudah sore. Tapi Aksara tak jua bangun dari tidurnya. Merasa bosan, Tari mencari keberadaan Eva. Setidaknya, dia memiliki teman untuk mengobrol.

"Tante," sapa Tari ceria saat dia menemukan Eva sedang bersama seorang wanita paruh baya di dapur.

Dia bi Uni. Orang yang mengabari kepergian Eva siang tadi pada Aksara.

"Tari ... Aksara masih tidur?" tanya Eva lembut.

"Iya Tante, gak apa. Mungkin Aksara sedang lelah," maklum Tari.

"Tari bantu masak, ya, Tante."

"Eh, jangan. Masa tamu ikut masak. Ayo, ikut tante saja." Eva menarik lengan Tari. "Bi, saya tinggal dulu, ya."

Di perjalanan yang Tari tidak tahu akan mengarah kemana, Eva bertanya hal yang membuat Tari terdiam beberapa saat.

"Kamu ... pacarnya Aksara?"

Setelah mempertimbangkan jawaban apa yang harus disuarakan, dengan kaku, akhirnya Tari menjawab, "i-iya, Tante."

Eva terkekeh. "Santai saja. Tante gak bakal musuhin kamu ko. Justru Tante senang. Akhirnya Aksara dapat pacar seperti kamu."

Eva menghela nafas pelan. "Dulu Aksara punya pacar. Tapi pacarnya ninggalin Aksara."

Eva beehenti berjalan. Lalu memandang Tari. Membuat Tari melakukan hal serupa secara alami. "Kamu jangan tinggalin Aksara, ya?"

Terdapat raut permohonan disana. Untuk beberapa saat, Tari hanya memandang Eva dengan raut bingung. Tapi setelahnya, Tari mengangguk seraya membalas, "iya, Tante."

Mereka kembali berjalan. "Ibu kamu gak bakal nyariin?"

"Tari udah bilang bakal pulang telat, ko', Tante," balasnya menenangkan.

Sampai di taman belakang rumah Aksara, mereka lantas menduduki sebuah kursi.

"Dulu, Aksara anak yang ceria. Hobinya bercerita. Dia juga manja sama papanya, selalu bilang kalo besar nanti dia ingin seperti papa, idolanya." Tatapan Eva menerawang.

"Tapi semenjak ... dia tahu sosok papa yang sebenarnya-"

"Tante," sela Tari kala melihat netra Eva yang berkaca-kaca.

Eva menggeleng pelan dan melanjutkan. "Dia selalu murung. Dia sedikit dingin dan tak pernah lagi bercerita. Keceriaanya seolah terbawa oleh kepergian papanya. Dia bahkan membenci hal yang berhubungan dengan papanya."

Tari mendekat dan memeluk tubuh Eva yang sedikit terguncang. "Gak apa Tante, nangis aja kalo itu membuat Tante lebih baik."

Eva menggeleng. "Aksara bakal sedih kalo lihat Tante nangis."

Teringat Aksara, Eva melepas pelukannya dan mengajak Tari segera masuk. Karena mungkin Aksara sudah bangun sekarang.

Di perjalanan, Eva menyuruh Tari membangunkan Aksara di sofa ruang tamu. Sedang dirinya, kembali ke dapur membantu bi Uni menyiapkan makan malam.

Sebelum sampai di ruang tamu, Tari melihat sebuah pintu yang sedikit terbuka. Awalnya dia acuh. Tapi karena Tari mengira itu toilet, dia menghampiri dan membuka handle pintu perlahan.

Gudang?

Perkiraan Tari salah. Disana--di ruang gelap dengan cahaya remang-remang, dia melihat sebuah gitar yang bertengger pada stand gitar.

Tari membawa langkahnya lebih mendekat. Lalu ia usap gitar usang itu. Bahkan debu menempel di jari telunjuknya.

Merasa melampaui batas, Tari kembali ke arah pintu, menutupnya rapat dan beranjak menuju ruang tamu.

Aksara tengah memainkan ponsel saat Tari sampai di hadapannya. Lantas dia duduk di sofa seberang Aksara.

Untuk beberapa saat keadaan hening hingga akhirnya Aksara mengangkat suara.

"Pulang?" Aksara bertanya dengan mengangkat pandangan sekilas.

"Iya, Kak. Udah sore juga," balas Tari seraya melirik jam di tangannya.

"Eh, mau kemana?" Pergerakan mereka terhenti kala suara Eva mengudara.

"Mau pulang, Tante."

"Makan dulu, sayang. Tante udah masak buat kalian berdua. Ayo," ajak Eva menarik lengan keduanya.

Tari terkekeh pelan. Sedang Aksara, dia menarik sedikit sudut bibirnya. Ya, bahkan author ragu menyebutnya sebuah seyuman.

***

Di perjalanan pulang, keduanya sama-sama diam. Entah apa yang Aksara pikirkan. Mungkin saja dia hanya fokus pada jalanan.

Tari masih bingung. Kenapa Mamanya Aksara tak ragu untuk menceritakan semuanya--entah itu semuanya atau tidak, yang jelas, untuk ukuran orang yang baru kenal, Tari merasa tak punya hak atasnya.

"Ekhm." Aksara berdehem. Tari mengembalikan kesadarannya.

"Udah sampe, Kak?" Pertanyaan retoris Tari membuat Aksara meliriknya sekilas.

Tersadar, Tari terkekeh lantas membuka pintu Mobil hendak keluar.

Tapi Tari mengernyit saat Aksara ikut keluar dan menghampirinya.

"Kenapa, Kak?"

"Orang tua lo, mana?"

"Mau apa?" Tepat saat Tari menyelesaikan ucapannya, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka.

"Tante, maaf, Tari pulang telat karena saya." Aksara menunduk sekilas. Sadar dengan situasi, Tari sedikit berdehem berusaha menahan tawa.

"Mau masuk dulu, nak?" tawarnya.

"Tidak usah, Tante. Sudah malam," tolak Aksara ramah. "Saya permisi, Tante."

Aksara kembali ke mobil. Lalu melesat meninggalkan mereka berdua.

Kak Aksara minta maaf? Tapi ... ke bi Sri?

"Ko' si kasep panggil bibi tante, Neng? Emang bibi keliatan masih muda, ya?"

Setelahnya, Tari tak mampu menahan lagi tawanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro