Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AKTARI || 19. Usai

Kali kedua setelah beberapa tahun, Aksara terdiam di depan sebuah pintu kayu jati. Kembali menggapai handel pintu untuk menariknya terbuka. Terdiam, memandang objek yang pertama tertangkap oleh netranya.

Jika sebelumnya dia berbalik kembali saat nyaris mengambil langkah, kali ini dia memaksa menghampiri saatu-satunya objek yang tersorot cahaya lampu dari celah pintu.

"Terkadang, seseorang menekan rasa karena tak ingin menerima."

Sudah sekian lama, dia mengabaikan keinginan hati kecil karena hal yang sebetulnya belum ia terima. Menepis segala ingin karena kecewa yang masih bersarang.

"Membuang kecintaan karena benci yang terlanjur mengakar."

Gitar adalah cintanya. Gitar adalah bahagianya. Gitar adalah kenyamanannya. Tapi ia membuang semua itu karena kebencian pada sang papa.

"Mengabaikan keinginan hati karena logika yang memegang kendali."

Terkadang, dirinya ingin bermain dengan alat musik itu. Mencurahkan segala emosi dengan bantuannya. Tapi sering kali, keinginan hanya tertahan di hati. Karena dia pikir, dia tak membutuhkannya lagi.

"Aku tau, tak ada yang mudah. Karena satu dan beberapa hal yang membuat semuanya berubah."

Dia sadar, semua telah berubah setelah masa sulit menimpanya. Semua telah berubah saat Aksara bergeming melihat Heri beranjak meninggalkannya. Semua telah berubah saat sang ayah mengecewakannya.

"Setidaknya, jangan membenci apa yang sebenarnya dicintai. Karena itu cukup menyiksa diri."

Dia boleh saja membenci ayahnya. Tapi gitar, dia hanya benda mati yang tak bersalah. Tak seharusnya dia terus berpaling dari sumber bahagianya. Benda yang mengajarkan banyak hal padanya. Benda yang berperan sebagai penghantar emosinya. Benda yang sangat berarti di hidupnya.

Lalu akhirnya, semua pemikiran itu mengantarkan pada tempat yang dituju.

Tapi untuk menyentuh benda besar usang itu, ragu menyisip pada kalbu. Semenit berlalu, dia masih terdiam memandang kosong objek di hadapan. Dari jarak selangkah, dadanya terasa berdetak abnormal kala netra itu tak berpaling sesenti pun dari sana.

Untuk sejenak, dia lupa caranya mengambil napas.

Debas berat terdengar sebelum akhirnya jemari kanan menyentuh senar itu perlahan. Lalu sensasi sengatan ringan terasa kala leher gitar itu berhasil tergenggam.

Dadanya bergemuruh hebat. Dia tak tahu perasaan apa yang melingkupinya saat ini.

Yang jelas, ini terlalu--atau mungkin sudah--asing untuknya.

***

"Gue minta maaf banget, tapi gue harus terbang ke Singapur hari ini." Hilda menatap satu per satu temannya. Mendapat kabar buruk dari keluarga ayahnya, dia harus lekas pergi ke negara tetangga.

"Nggak papa, kita semua ngerti--"

"Tapi pertunjukan yang udah kita siapin, gimana? Semua orang di divisi vokal udah dapet bagian masing-masing buat acara nanti. Nggak mungkin gue minta salah satu dari mereka buat gantiin gue. Apalagi waktunya udah mepet banget." Hilda kembali menyela putus asa saat Sofa mengangkat suara.

Kini, semua terdiam. Mencari solusi dari permasalahan yang tak teduga. Penampilan mereka di atas panggung tinggal menunggu tiga hari lagi. Tak mungkin jika mencari vokalis baru dan berlatih semuanya dari awal. Hingga Yasmin yang tiba-tiba menggebrak meja mengalihkan atensi keempat orang di sana--

"TARI! Kemarin, lo manggung di Kafe bokapnya si Sofa, 'kan?"

--Tari mengangguk ragu sebagai jawaban.

Sedetik, dua detik. Semua masih terdiam hingga otak mereka terkoneksi mengambil satu kesimpulan.

"Nggak, nggak. Gue nggak mau lagi dipaksa nyanyi kayak kemarin. Gila aja, gue harus nyanyi di depan semua angkatan di sekolah ini? Gue, 'kan, pegang gitar jugaaa. Mending minta si Fanya buat gantiin ...."

Oh, shit. Sejak kapan ketiga temannya bertingkah sok memelas dengan puppy eyes mereka?

Tak ada pilihan lain, Tari mencebik mengiyakan dengan sepenuhnya enggan setelah firasat tak enak lagi-lagi sampai di hatinya.

***

Tari sudah memelankan langkah sejak Aksara menjemput ke depan kelas. Langkah yang penuh keragu-raguan, jemari yang saling bertaut dan suasana hati yang tidak pernah tenang, dia tak tahu. Kapan Tari tidak lagi merasa gelisah saat langit menunjukkan sedihnya?

Waktu bersama yang dilalui mereka berdua cukup membuat Aksara peka. Maka mundur satu langkah dengan menggenggam jemari Tari setelahnya menjadi langkah awal untuk menenangkannya.

Tari mengerjap memandang sekeliling, sepi. Koridor sudah lenggang sejak sejam yang lalu. Hanya tersisa beberapa murid yang bersiap pulang setelah berlatih ekstrakulikuler, seperti dirinya.

Mengambil napas banyak-banyak, dia mencoba menenangkan diri walau tentu akan sulit.

Lalu dering ponsel membuat genggaman keduanya terlepas. Mengernyit, Tari menggulir layar gawai ke atas, menerima panggilan dari adiknya.

"Hal--"

"Kak Tari--hiks. Kak Tari di--hiks ... mana?"

"Di ... sekolah. Kenapa, Liv?" cemas Tari.

"Ma--ma ..."

Firasatnya semakin tak enak.

"... kecelakaan."

Seolah tak cukup, petir menyambar membuat Tari semakin gemetar.

Aksara sigap. Merangkul gadisnya dengan elusan lembut di rambutnya walau sedikit kaku.

Sedetik kemudian, Tari berontak. Dengan ari mata yang sudah membendung, dia meracau pada Aksara yang menatapnya dengan kelembutan.

"Tenang." Kali ke sekian yang terucap oleh mulut Aksara.

"Aku mau ke sana sekarang. Ma--ma, aku mau liat mama." Napasnya naik turun. Dia bahkan melupakan hujan yang sudah turun sejak tiga menit yang lalu.

"AYO, KAK!"

Saat itulah, Aksara yakin Tari akan melawan rasa takutnya.

Bayangan sang bunda yang terkapar lemah tak berdaya saat beberapa tahun silam kembali menghantui pikirannya. Dia tak ingin kehilangan seorang ibu untuk kedua kalinya. Maka saat mendengar beliau kecelakaan, Tari mengesampingkan segala trauma. Karena saat ini, yang ada di pikirannya hanya sang mama.

Rasa takut dan gelisah itu masih ada, hanya saja, semua rasa tertuju pada sang mama.

Aksara melirik Tari lewat kaca spionnya. Memandang gadisnya dengan tatapan teduh. Lalu kedua tangannya berangsur menarik pergelangan Tari untuk memeluk pinggangnya sebelum melaju membelah jalan di tengah derasnya hujan.

Tari manut lantas menyandarkan sisi kepala pada punggung Aksara. Mencari kenyamanan di tengah kegelisahan yang mendera. Sementara air mata tak henti turun dari sana.

Tari melawan rasa takut untuk pertama kali. Menerjang hujan dengan mengenyahkan segala kenangan buruk di masa kecil.

"Mereka memang berisik, tapi menenangkan di saat yang bersamaan."

Untuk sejenak dia terpejam lalu menajamkan indera pendengaran. Merasakan segala bising yang ternyata ... cukup menenangkan. Napasnya perlahan teratur dengan dahi yang tak lagi terdapat kerutan.

Tari tak menyangka, setelah sekian lama, ia bisa merasakan dingin yang menusuk dibalik seragam sekolahnya. Dia mengendurkan pelukan erat pada Aksara. Lalu menengadah merasakan setiap tetesan dibalik punggung kokohnya.

Aksara menyadari setiap tingkah Tari. Dirinya membagi fokus antara jalan di depannya dengan kaca spion yang memantulkan wajah Tari.

Tari sudah mulai tenang, walau keadaan sang mama tak pernah sekali pun luput dari pikiran. Maka saat melihat sebuah Rumah Sakit yang sudah di depan mata, dia berinisiatif turun terlebih dahulu dan membiarkan Aksara menyusul setelah memarkirkan motornya.

Hujan sudah mulai reda. Dia melepas kaitan helm dan menyerahkan pada Aksara.

Aksara tampak tak enak hati. Dia meraih pergelangannya sebelum Tari menyebrang, lalu dia berbalik dengan pandangan yang hampir kosong.

"Hati-hati." Tari mengangguk. Dilanjutkannya langkah yang sempat terputus, dia menyebrang dengan pikiran mengembara pada sang mama.

Aksara masih di tempat. Memastikan Tari menyebrang dengan selamat.

Di pertengahan jalan raya, Tari menghentikan laju sebuah mobil putih dengan tangan kanannya. Dia berjalan. Tak menyadari sebuah motor yang melaju cepat di samping mobil yang dihentikannya. Maka saat dirinya melewati mobil tersebut--

"TARI!"

--terlambat. Tari terserempet dengan lengan kiri yang menyentuh aspal terlebih dahulu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro