AKTARI || 18. Debar
Meski sudah menemukan titik ternyamannya, Tari masih tak menemukan lelapnya. Tangan kiri ia biarkan terkulai lemas. Sedang tangan kanan ia gunakan untuk menyingkap dan menutup kepala dengan selimut tebal secara berulang.
"Dan kita semua tahu, bahkan Papa mengakui, bahwa menikahi mamamu menjadi kesalahan besar pada saat itu."
Pandangannya ia luruskan pada lampu neon─tepat di tengah lagit-langit kamar─yang tidak menyala. Sedang untuk penerangan, ia nyalakan lampu LED temaram yang ditanam di dalam plafon─memberikan kesan cahaya yang tersembunyi.
"Gue benci karena bokap pilih nyokap atas dasar kasihan...."
Menyingkap kembali selimut yang menutupi wajah kusutnya dengan kasar, debas berat mengudara.
"Jauhin Aksara dan kita mulai dari awal, ya...."
Dia mengubah posisi tidurnya. Menyamping menghadap nakas di mana gawai berada.
Ada apa dengan hatinya? Setelah dua tahun dia berusaha membuat rasa itu tiada, mengapa tiba-tiba goyah hanya karena obrolan dua jam bersamanya?
Benarkah ... sudah goyah? Lalu, Aksara? Adakah dia di hatinya?
Refleks, Tari mengarahkan tangan kanan pada dada kirinya. Mencari apakah ada Aksara di sana.
Ck. Tari berdecak karena tingkah bodohnya. Untuk ke sekian kali, dia menghembuskan napas berat.
Dia bukan tipe orang pendendam. Karena perihal memaafkan, sudah Tari lakukan. Hanya saja, hatinya cukup enggan jika harus kembali memulai apa yang sebenarnya telah usai.
You broke me first.
Ya, kisahnya dan Aslan sudah berakhir sejak Aslan pergi meninggalkan.
Debas putus asa mengudara. Ia meraih gawai dan mengetuk layar dua kali dengan gerakan cepat. Waktu menunjuk pukul sembilan lewat dua puluh malam.
Jam segini, biasanya Olive belum tidur.
Tari menyingkap selimut dari tubuh sepenuhnya. Lalu beranjak setelah mengikat rambutnya asal. Mungkin menemui adiknya bisa merubah suasana hatinya sekarang ini. Lagipula, dia sedikit merindukan adiknya itu.
Dia menarik handle pintu porselen yang akan membawanya pada kamar millik Olive. Lalu sedikit mengernyit saat tak ditemukan adiknya di sana. Tari masuk lebih dalam. Membawa langkah menuju balkon dan dugaannya benar. Olive tengah berdiri dengan tangan yang menyangga pada pagar besi di hadapannya.
"DOR!"
"Anjir!"
Olive merotasikan bola mata, menepis kedua tangan Tari yang berada di bahu dengan kesal.
"Melamun aja terus." Tari mendudukkan bokong pada kursi kecil di belakang Olive, "Kesambet setan, baru tau rasa."
Mungkin Tari lupa, dia menghampiri Olive karena tak ingin kesambet setan.
"Kak,"
Tari berdehem. Sedikit heran dengan tingkah Olive yang tidak seperti biasanya.
Beberapa menit berlalu, Olive baru melanjutkan membuka suara. "Mama sama papa, kenapa ... ribut?"
Deg.
"R-ribut?" Tari balik bertanya. Olive berbalik. Menyandarkan separuh tubuh menghadap Tari sepenuhnya.
"Tadi gue gak sengaja denger, mereka lagi adu mulut gitu," sungut Olive. Terlihat kesal walau sebenarnya khawatir. "Mereka nggak akan ... kenapa-napa, 'kan?"
Tari menghela napas samar. Dia kembali teringat tubuh berbaring sang bunda dengan bahu yang terguncang.
Bukannya mengalihkan pikiran, otaknya malah mendapat tambahan beban.
Bukannya memamerkan senyum manis menenangkan--yang berujung creepy bagi dua saudari itu, Tari berdecak hiperbola. Meyakinkan sang adik walau dirinya dilanda sedikit ragu.
"Nggak akan. Mungkin, mereka lagi ada sedikit masalah."
Jeda, Tari berdecak lagi. Bangkit dan menyentil bibir manyun Olive sambil lalu.
"Lo jelek, Liv."
"Ish, KAKAAAK!"
***
"Look at the stars
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah, they were all yellow."
Aksara bangkit dari kursinya. Bersiap untuk melangkah saat suara lembut seorang gadis diiringi petikan gitar menyapa gendang telinga. Melangkah dengan dada yang bergemuruh, sekuat tenaga, ia tulikan pendengaran agar petikan dawai menyebalkan itu tak sampai pada telinga.
"I came along
I wrote a song for you
And all the things you do
And it was called 'Yellow'."
Tanpa dikendalikan, putaran kenangan masa lalu terngiang di kepala. Mengantarnya kembali pada kisah seorang ayah yang mengajari sang anak bermain gitar. Bagian kenangan manis bagi banyak orang di luar sana.
"So, then, I took my turn
What a thing to've done
And it was all yellow."
Semakin sayup--hingga berada di ambang pintu setelah melewati tikungan kecil, dia terdiam memandang lurus ke depan. Lalu, bagaimana dia sanggup meninggalkan gadis itu saat langit sedang menumpahkan tangisnya?
"Your skin
Oh, yeah, your skin and bones
Turn into something beautiful
And you know
You know I love you so."
Kini, dia membiarkan sesuatu berdebat di pikirannya. Membiarkan dua kubu saling menyahut antara kembali atau tetap berjalan. Berbalik ke belakang, atau melanjutkan ke depan. Tetap menyaksikan, atau pergi meninggalkan.
Beberapa detik masih belum ada pergerakan, hingga ...
"You know I love you so."
... Aksara berbalik. Membawa kaki gemetarnya melangkah kembali ke tempat semula. Membiarkan debaran aneh menyeruak di lubuk sana. Menekan segala rasa agar tak meluap ke permukaan. Hingga punggung tegapnya kembali menyandar pada sebuah kursi dari kayu jati, dia terdiam memandang Tari dengan tatapan tak terbaca.
"I swam across
I jumped across for you
Oh, what a thing to do
'Cause you were all yellow."
Lain dengan Aksara, Tari tampak masih rileks di atas panggung sana. Memangku sebuah gitar dan melantunkan suara lembut dengan mata sesekali terpejam. Mendengungkan tiap nada menyebar ke tiap sudut ruangan. Membawa para pengunjung Kafe untuk larut pada irama yang ia bawakan.
"I drew a line
I drew a line for you
Oh, what a thing to do
And it was all yellow."
Senyum manis tak luput dari bibir tipis dengan polesan lip tint-nya. Segala rasa dan pikiran yang menyesakkan terlepas perlahan. Tak bisa dipungkiri, segala hal tentang musik bisa mengalihkan pikirannya. Bahkan gerimis di luar sana tak Tari sadari sama sekali.
"And your skin
Oh, yeah, your skin and bones
Turn into something beautiful
And you know
For you, I'd bleed myself dry
For you, I'd bleed myself dry."
Aksara tetap membatu. Sesuatu yang terasa asing menyeruak di dalam sana. Sesuatu yang membuatnya terusik. Sesuatu yang masih coba ia pahami dengan tetap memandang objek yang sama di panggung kecil sana. Memandang lekat seakan tak ada hal lain yang bisa diperhatikannya. Nyaris tak berkedip sama sekali.
"It's true
Look how they shine for you
Look how they shine for you
Look how they shine for you
Look how they shine for you
Look how they shine for you
Look how they shine."
Debaran ini, yang dulu pernah ia rasakan saat pertama kali sang ayah mengenalkan musik padanya. Kini, ia merasa rasa itu kembali ada. Menyapa sisi hati yang lama tak terjamah. Membawa serpihan kehangatan pada hati yang membeku.
Setelah hanya pandangan menerawang dengan sesekali terpejam, Tari mengalihkan pandang menatap lurus Aksara. Membiarkannya tenggelam dan hanyut antara mata tajam dan nyanyian yang ia vokalkan. Memorak-porandakan si pemuda dengan desiran aneh sebelumnya.
Kini, pandangan keduanya berada pada satu garis lurus.
"Look at the stars
Look how they shine for you
And all the things that you do."
Hanyut.
Untuk kesekian kali, Aksara jatuh pada pesona Tari.
Tapi untuk pertama kali, dia hanyut oleh segala yang ada pada Tari. Cara dia bernyanyi, kelihaian setiap jari memetik tiap senar bak tanpa intruksi, pembawaan santai yang membuat siapa pun tak ingin melewati pertunjukan ini, Aksara baru mengetahui Tari pandai dalam semua hal ini.
Belum menyingkirkan petikan halus pada gitar di pangkuan, Tari berujar tanpa mengalihkan atensi.
"Terkadang, seseorang menekan rasa karena tak ingin menerima. Membuang kecintaan karena benci yang terlanjur mengakar. Mengabaikan keinginan hati karena logika yang memegang kendali. Aku tau, tak ada yang mudah. Karena satu dan beberapa hal yang membuat semuanya berubah."
Tak ada yang berpaling dari tatapan sarat makna. Menikmati detak cepat tak berirama. Keduanya tenggelam tak menyadari kehadiran orang lain di sekitar mereka.
"Setidaknya, jangan membenci apa yang sebenarnya dicintai. Karena itu cukup menyiksa diri."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro