Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AKTARI || 13. Kak Aksara, Kenapa?

"Liv, gue berangkat duluan, ya. Nanti jangan lupa suruh bi Sri kunci pintunya." Gadis dengan tinggi 160 cm itu bangkit dari duduknya. Lantas ia menggendong gitar dalam tas semi gig bag-nya dan menenteng tas sekolah dengan tangan kirinya.

"Tasnya gak lo tinggalin lagi, 'kan, Kak?" tanya Olive seraya melirik Tari sekilas.

Tari mendelik, membuat sang adik lantas terkekeh. Lalu segera menuju pintu utama saat sebuah notifikasi mampir di ponselnya.

Aksara bilang, dia akan menjemputnya. Lalu dengan sedikit ragu, Tari meminta Aksara menjemputnya lebih pagi. Dia hanya tak ingin menjadi pusat perhatian hanya karena menggendong gitar di punggungnya.

Lalu tanpa bertanya alasan, tanpa disangka pula Aksara meng-iyakan.

Membuka pagar, Tari disuguhi perubahan raut tak biasa Aksara yang tiba-tiba. Tanpa banyak bicara dia menghampiri dan menerima pemberian helm dari Aksara.

Masih mengaitkan tali helm, Tari memperhatikan raut wajah Aksara. Tatapan yang tak mengarah padanya, serta rahang yang tampak mengeras membuat nyali Tari untuk sekedar menyapanya tiba-tiba lenyap seketika.

"Cepat." Tari sedikit tersentak kala Aksara menyadarkannya dengan sedikit membentak. Merasakan aura dingin yang menusuk, dengan segera Tari menaiki kuda besi milik Aksara.

Sedetik setelah Tari berhasil mendudukan bokongnya, Aksara langsung menancapkan gasnya. Mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Tari merapalkan doa dalam hati. Tangannya ia gunakan untuk memegang erat ujung jaket kulit milik Aksara.

Beberapa kali pengendara lain meluncurkan protesan berupa sumpah serapah. Tapi sepertinya, Aksara tidak peduli.

Tari ingin meminta Aksara memelankan laju kendaraanya. Tapi untuk sekarang, nyali Tari benar-benar lenyap tak tersisa.

Yang dia lakukan sekarang hanya meminta keselamatan sampai tujuan. Dia masih ingin hidup-tentu saja.

Sampai di parkiran sekolah, Tari bernafas lega. Dirinya sedikit oleng saat tiba-tiba Aksara menurunkan standar samping Kawasaki-nya bahkan sebelum Tari turun dari sana.

Aksara menerima helm yang diberikan tanpa memandang Tari. Lalu setelahnya, dia melenggang pergi begitu saja. Tanpa kata dan tampak enggan memandang netra Tari walau sedetik.

Hal itu membuat gelanyar tak nyaman menyapa Tari sepintas. Masih memandang punggung Aksara yang perlahan hilang ditelan tikungan, dia bertanya dengan sepenuhnya heran. Aksara kenapa?

Setelah punggung Aksara sudah sepenuhnya tak terlihat, Tari mulai melangkah menyusuri koridor yang masih sepi.

Di tengah perjalanan, dia berjalan ke arah yang berlawanan dari kelasnya. Ia ingin mampir ke ruang seni musik untuk menyimpan gitarnya setelah meminta penjaga sekolah untuk membuka kunci ruangannya.

Membuka pintu, dia disuguhkan oleh banyak alat musik yang tertata di sana. Lalu pandangannya terkunci pada sebuah gitar akustik yang bertengger cantik di stand-nya.

Seketika, ingatannya membawa kilasan kejadian di rumah Aksara tempo hari. Saat dirinya tanpa sengaja membuka pintu sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat sebuah gitar yang telah usang.

Setelah diingat-ingat, Aksara tampak lebih dingin jika itu berhubungan dengan gitar. Saat gitar Tari jatuh di hadapan mereka, saat Tari bilang tidak bisa pulang bersama karena ada latihan, dan juga ... kenapa gitar itu ada di gudang?

Setelah berfikir cukup lama, sebuah praduga muncul dalam benaknya.

Apa iya? Tapi ... kenapa?

***

Ting nong!

Jam pertama, akan dimulai dalam lima menit.

Ting nong!

"Si Aksara dimana, Ta?" Pria yang sedang memegang ponsel dengan kedua tangan itu kembali menunduk setelah celingak-celinguk mencari keberadaan salah satu sahabatnya.

"Mana gue tahu. Coba lo WA." Pria yang duduk di ubin putih di sudut ruangan membalas tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel pintarnya.

"Tanggung. Gue lagi ng-game. Lo aja, sih."

"Gue lagi ng-game juga, elah." Tak akan selesai bila terus menimpali, akhirnya Ervan membuka roomchat dengan Aksara di salah satu aplikasi dengan icon hijau.

"Di rooftop, dia. Samperin, gak?"

"Hayu. Bolos aja. Jam pertama sama Miss Ane, 'kan? Tadi pagi gue gak sarapan roti ataupun keju. Bakal kesulitan kalo disuruh ngomong bahasa inggris."

"Ngawur."

"Heh, tunggu, Pan. Bangunin gue dulu." Patta mengangkat tangan kanannya. Memperlihatkan seringai tipis, Ervan menjilat telapak tangan kanannya sebelum mengulurkannya di hadapan Patta.

Berdecak kesal, Patta bangkit sendiri melewati Ervan seraya mendesis, "Najis."

"Eh, Thaf. Lo habis berapa batang? Itu puntungnya, kok, bertebaran kayak harapan yang perlahan menghilang?" Baru saja mereka menunjukkan diri di hadapan Aksara, mulut Patta tak bisa dikontrol meski hanya menahan suara.

"Bahasa lo dangdut banget, Ta." Ervan mengedikkan bahu jijik tanpa menghentikan langkah untuk duduk tak jauh dari tempat Aksara merokok.

"Ada masalah, Thaff?" Ervan melirik Aksara sekilas setelah menyadari raut tak biasa dari Aksara. Lalu tangannya ia gunakan untuk merogah saku guna mengeluarkan ponsel di sana.

Yang ditanya enggan menimpali barang mengalihkan pandangan menatap Ervan.

Beberapa menit hanya diisi oleh pekikan gemas dari Ervan dan Patta. Dengan ponsel pintar di genggaman masing-masing, sesekali mereka mengumpat melampiaskan rasa kesalnya.

"Thaff! Mau ke mana?" Patta yang menyadari pergerakan Aksara bertanya.

"Bolos."

Patta bangkit. Dimasukannya ponsel ke dalam saku, dia berujar, "Gue ik-"

"Sendiri."

Patta melorotkan bahunya. Ditatapnya punggung Aksara yang semakin menjauh, dia bermonolog dengan netra yang dibuat sesendu mungkin. "Lagi-lagi Patta Sagara tidak diharapkan keberadaannya."

Dan Ervan tak mampu menahan gelak tawa setelahnya.

***

Tari mendesah kecewa, saat netranya melihat last seen akun Aksara di salah satu aplikasi yang biasa disebut WA. Di sana menunjukan pukul enam lewat sepuluh menit pagi-waktu di mana Aksara mengabarinya sebelum berangkat sekolah.

Pelajaran sudah berakhir, tapi Tari tak mendapat kabar sama sekali. Bahkan di kantin, dia tak melihat Aksara di antara kedua temannya.

Berniat pergi ke toilet sebelumya, dia mengurungkannya saat melihat Patta dan Ervan berjalan tak jauh dari tempatnya.

Ragu, Tari termangu menunggu mereka melewatinya. "K-kak!"

Kedua pria itu menghentikan langkah dan berbalik menghadap Tari yang berada dua langkah di belakangnya.

Saling pandangan sejenak, Patta memicingkan mata lalu mengangkat suara. "Lo ... Nari, 'kan?"

Tari tersenyum canggung. Menautkan jari tangannya, dia berujar membenarkan. "Tari, Kak."

Patta tertawa sejenak. Lalu Ervan berkata setelah meredakan tawa pelan. "Ada apa, Tari?"

Setelah berpikir menimang, Tari bergumam bertanya, "Kak Aksara ... di mana?"

"Oh, bolos dia mah. Dari pagi gak masuk kelas. Tumben juga, sih."

Tari ber-oh pelan. Dirinya mengangguk sekilas lalu berkata, "Um, kalo gitu, aku pergi dulu, Kak. Makasih sebelummya."

Sebenarnya ... kak Aksara kenapa?

***

"NGGAK! GUE GAK MAU HUAA." Gadis itu meraung. Mengabaikan air mata yang merembes melewati pipi tirusnya. Menjadikan ruang seni musik bergema karena tangisan keras yang cukup memekakkan telinga ketiga orang yang berada di sana selain dirinya.

"GUE GAK MAU HUAA." Dia mulai terduduk. Menelungkupkan wajah di antara lipatan lututnya.

"Min, berhenti, dong." Orang yang dipanggil 'Min' mendongak. Dengan mata yang masih sembap, dia kembali meraung tak jelas.

"Lo gak boleh gini. Kek bocah, yaampun. Emang kenapa, sih, kalo lo punya a-"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro