Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AKTARI || 10. Weekend dan Aksara

Sinar mentari pagi tak mengusik seorang gadis yang tengah terbaring nyenyak di kasurnya. Bantal yang sudah menjadi guling juga sebaliknya, dan selimut yang tergeletak di lantai sepenuhnya-menunjukan seberapa bar-barnya dia saat berada di alam bawah sadarnya.

Tepat saat dia mendengar dering ke-tiga-mungkin lebih-dari ponselnya, dia meraba nakas dan menggeser tombol snooze disana.

Terus seperti itu hingga bunyi dering selanjutnya berbeda dengan biasanya.

Ada telepon.

Dengan tidur menyamping dan netra yang masih terpejam, dia mengangkat dan meletakan ponsel diatas telinganya. "Halo," seraknya malas.

"Siap-siap sepuluh menit. Cepat."

"Hm?"

Tut.

Tari mengernyit. Dilihatnya orang yang meneleponnya barusan, Aksara. Lalu sebuah pesan menyusul.

Aksara

30mnt. Gue jmpt. Cpt.

What?

Ini weekend dan Tari harus menyia-nyiakan waktu tidurnya? Lalu mandi saat masih pagi seperti ini?

Ya, masih pagi versi Tari itu pukul delapan.

Tapi, tunggu. Bukannya di telepon tadi Aksara bilang sepuluh menit, ya? Tau deh. Mungkin Tari salah dengar.

Tapi Tari tidak salah dengar. Setelah Aksara mendengar suara khas bangun tidur Tari di seberang sana, dia memutuskan untuk menunggu Tari lebih lama. Karena sepuluh menit, tak akan cukup untuk bersiap dan sebagainya. Ya, setidaknya, itu bagian dari definisi perempuan.

Dengan berat hati dan sedikit menggerutu, dia mulai mengambil langkah ke kamar mandi. Karena dia tahu, ucapan pria itu tak pernah main-main.

"Tumben udah rapi," ketus seorang gadis dengan bandana merah di rambut kepalanya.

"Cantik gak, gue?" Bukannya menjawab, Tari justru mengibaskan rambutnya dihadapan gadis itu.

"Halah. Masih cantikan gue ke mana-mana," pd-nya merapi-kan bandana yang sudah sangat rapi.

"Pd lo selangit, Liv."

"Mau ke mana, sih?"

"Temen ngajak keluar." Tari mengambil alih toples yang berada di pelukan Olive.

"Heh, punya gue itu!" rebut Olive tak terima.

"Ck. Pelit-" Ucapan Tari terhenti oleh notifikasi ponselnya--sebuah pesan pemberitahuan dari Aksara bahwa dia sudah menunggu di depan. "Mama papa udah berangkat?" tanya Tari dengan jawaban yang sudah dapat dipastikan.

"Hm. Nanti si Jeje main ke rumah kok. Biar gue gak sendirian."

"Bagus, deh. Gue berangkat, ya. Bye!"

"Eh! Titip camilan, Kak! Yang banyak!" cegah Olive berteriak.

"Iya!" balas Tari juga berteriak.

"Ortu?" tanya Aksara sebelum mempersilakan Tari memasuki mobil.

"Udah berangkat kerja, Kak."

"Weekend?"

"Hm." Terdengar nada tak rela disana. Membuat Aksara tak ingin bertanya lebih jauh dan segera duduk di belakang kemudi untuk memacu kendaraannya.

"Mau ke mana, Kak?"

Sepuluh menit, tak ada jawaban. Tari mengerucutkan bibir. Tentu saja. Bibir Aksara terlalu mager untuk sekadar mengeluarkan suara.

Alhasil, Tari kembali bungkam dan memilih memainkan ponsel di kursi samping kemudi.

"Rumah gue. Mama pengin ketemu." Eh? Aksara jawab? Sungguh keajaiban.

"Tari! Kamu datang juga. Tante kangen, loh!" Eva memeluk Tari sekilas.

"Tari juga, Tante." Tari membalas pelukan dan tersenyum manis.

Padahal mereka baru bertemu kemarin, 'kan?

"Ayo, masuk," ajak Eva menggandeng lengan Tari. "Kamu sudah sarapan, Sayang?"

"Belum, Tante," kekeh Tari.

"Nah, kebetulan. Ayo, sarapan sama Tante."

Eva orang yang sangat ramah, lembut, juga penyayang. Siapapun yang berada di dekatnya pasti merasa nyaman.

Andai Tari bisa mengahabiskan weekend dengan mamanya. Tapi, rasanya mustahil.

"Ayo dimakan, Sayang. Kok melamun?"

"Iya, Tante," ujar Tari tersentak. Lalu melirik Aksara yang tengah fokus memainkan ponsel dengan kedua tangannya sekilas.

Pasti game.

"Aksara udah sarapan, Sayang," gurau Eva. Aksara melirik sekilas. Tari tersenyum malu. Ketahuan, 'kan, liatin doi sama calon mertua?

Calon mertua?

Selesai sarapan, Eva mengajak Tari ke ruang tamu. Mengabaikan Aksara yang menghela napas berat. Ck. Sampai kapan dia diasingkan seperti sekarang?

Ternyata Aksara baperan, ya?

Entah karena mereka wanita, sepertinya, topik pembicaraan tak pernah habis. Terus meleber kemana-mana. Tak luput diselingi tawa yang Aksara tak mengerti dimana letak humornya.

Bosan, Aksara menyenderkan tubuh pada sofa yang didudukinya. Dan Eva menyadari titik bosan Aksara.

"Aksara, kamu ajak main Tari, sana!" Sungguh, Eva cukup peka, ternyata.

Tari menghentikan sisa tawanya. Lantas dia mengalihkan atensi pada Aksara.

"Ayo," ajak Aksara seraya bangkit dari duduknya.

Setelah pamit pada Eva dan diberi wejangan agar tidak pulang terlalu malam, Aksara memacu kendaraan membelah jalan kota yang cukup ramai.

***

Terkadang, weekend merupakan hari yang paling ditunggu oleh sebagian umat manusia. Karena di hari itu, mereka bisa memanfaatkan waktu luang untuk hal yang jarang dilakukan.

Entah untuk beristirahat setelah bekerja dan sekolah selama weekday, bermalas-malasan mengencani seperangkat alat rebahan-ini khusus Tari-, atau memanfaakannya untuk menghirup udara segar bersama orang tersayang.

Tapi catat, itu hanya untuk sebagian orang. Sebagian yang lain, menganggap weekend tak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Contohnya, yang gila kerja tetap saja berangkat kerja. Oke, itu unek-unek dari lubuk hati Tari untuk kedua orang tuanya.

Kini, Tari dan Aksara memilih menghabiskan weekend-nya dengan menikmati udara segar di bawah pohon rindang di sebuah taman. Dengan jajanan pinggir jalan di genggaman. Mereka memperhatikan interaksi orang di sekelilingnya. Dengan sesekali Tari yang mengomentari perilaku yang menarik perhatiannya.

Dan Aksara tentu saja, tak menyahut. Jika mendesak dia hanya merespon dengan deheman.

"Dulu pas aku kecil, aku sering main ke sini juga. Sama mama, papa, kak Adit, kak Mitha, Olive." Tatapan Tari menerawang, "Aku suka sama hari weekend. Karena di hari itu, kami bisa jalan-jalan-menghabiskan waktu bersama."

Aksara diam mendengakan. Tari tersenyum. Mereka kembali menyuapkan telur gulung ke dalam mulut masing-masing hampir bersamaan.

"Tapi sekarang, weekend gak ada apa-apanya. Di rumah sepi. Kalo bukan karena Olive, mungkin aku gak bakal keluar kamar dan males-malesan sampe ketemu hari besoknya." 'Kan, Tari memikiki jiwa mager-an yang tinggi. "By the way, Olive adik aku. Temen aku juga kalo di rumah. Kalo gak ada dia, mungkin aku bakal mati kesepian."

Beruntunglah, Olive tak mendengar penuturan Tari. Jika tidak, sudah dapat dipastikan Olive akan besar kepala.

Kembali hening. Tari menghirup udara. Angin segar sedikit menampar lembut permukaan pipinya. Hingga beberapa helai anak rambut sedikit bertebaran di sekitarnya. Tari menikmati dengan memejamkan matanya. Dan hal itu, tak luput dari atensi pria di sampingnya.

"Tapi sejauh ini, aku bersyukur. Setidaknya aku masih memiliki mereka. Banyak di luar sana yang bahkan untuk melihat wajah orang tuanya saja, mereka takkan lagi bisa." Karena dia sudah tiada, lanjutnya membatin.

"Mungkin mama sama papa memang gila kerja. Tapi sebisa mungkin, mereka tak pernah melalaikan kewajiban sebagai orang tua." Tari menghela napas sejenak, lalu berkata lirih, "Mereka berjasa untuk kita. Kita gak bisa menilai mereka hanya dari apa yang mereka lakukan saat ini."

"Terlepas dari apa yang mereka lakukan di masa sekarang ...," Tari memalingkan wajah memandang Aksara. Pandangan mereka bertemu. "... bagaimanapun, mereka orang yang mengenalkan kita pada dunia. Mereka yang menjadi guru dan tempat sekolah pertama saat kita baru membuka mata."

***

Langit tak menampakan biru cerahnya lagi. Sebagian besar tertutupi oleh awan hitam yang menggumpal. Tapi, Tari tak bisa pulang tanpa camilan yang Olive inginkan. Dia sudah berjanji, tentu saja. Lagipula, Olive hanya meminta camilan. Itu sebuah hal yang kecil-seharusnya.

"Kak, mampir ke alfamart, ya, Olive titip sesuatu," pinta Tari yang hanya dibalas deheman kecil oleh Aksara.

Yang banyak! Permintaan Olive seolah berputar di kepalanya. Tari berdecak. Lalu dia mengambil setidaknya sepuluh bungkus-atau lebih-camilan yang berbeda. Dia juga mengambil beberapa yang ia butuhkan. Seperti alat tempur wanita untuk persediaan di rumah, contohnya.

Tari menyuruh Aksara menunggu di dalam mobil. Karena Tari yakin, ini takkan lama.

Sampai di kasir, dia menyerahkan belanjaannya. Setelah menyebutkan nominal yang harus dibayar, Tari merogah dompet kecil dan hendak menyerahkan beberapa lembar uang. Tapi sebuah tangan mendahului pergerakannya.

Tari memalingkan wajah ke samping. Dan sedikit terhenyak saat melihat wajah seorang di sampingnya.

"Kak Aslan?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro