Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Si Nomor Enam Belas

Lelaki berkulit langsat itu mengendus tengkuk gadis berparas ayu yang terbaring lemah di hadapannya. Aroma darah menyelimuti seluruh ruang temaram ini. Aku tak mampu berkata. Hanya menatap tanpa suara.

Seringai tersirat di wajah tampan itu. Percikan darah menghias rupa-nya. Dibelainya lembut pipi merona si gadis ayu itu. Dikecupnya pelan kening penuh darah si gadis.

Seringainya makin lebar.

"Kita berhasil lagi, bukan?" tanyanya seakan tak perlu jawaban. Matanya melirik tajam ke arahku.

Kuhela napasku pelan.

"Kamu, bukan aku," ujarku seraya memalingkan muka.

Aku sudah terbiasa dengan amis menyengat yang terhirup hidung bangirku. Namun, entah mengapa, kali ini terasa berbeda. Ada perih menyayat hati. Ada mual menyelusup dada.

Lelaki itu menggenggam jemariku erat. Diberikannya pisau bersimbah darah padaku. Senyumnya kembali merekah. Semakin lebar. Semakin menyakitkan.

Tangan penuh darahnya menyibak rambutku. Menyentuh bibirku.

"Kamu urus sisanya, ya?" Mata sayunya menatapku manja. Menghadirkan kembang api di dadaku. Jantung berdegup layaknya pesta tadi malam.

Aku berpasrah. Terbuai akan rayu tanpa bual. Kuanggukkan kepalaku, tanda setuju. Seperti sebelumnya, selalu begitu. Aku tak mampu menolaknya, mengabaikan tatapnya.

Kuseka tubuh polos gadis ayu di hadapanku. Kubersihkan setiap tetes darah yang hiasi kulit mulusnya. Tubuhnya layu, bak boneka kain. Belum membeku.

Kupakaian dia gaun putih layaknya mempelai wanita. Kusisir rapi rambut tebalnya. Kupoles perona di pipi berisinya. Kutabur bedak ala kadarnya. Bibir tipisnya kulukis merah. Sempurna.

Dia akan jadi mempelai tercantik hari ini. Andai nyawa masih menempati raganya.

Terdengar suara terkikik di belakangku. Aku sontak menoleh. Lelaki berkulit langsat itu menutup mulutnya dengan jemari. Berusaha menahan tawa.

Aku tertegun menatapnya. Dia lalu berjalan melewatiku, mengambil sebuah buku catatan usang yang teronggok di pojok ruang.

"Si... la..., done." Dicoretnya nama di buku itu dengan pena merah.

Diusapnya buku usang itu. Tatapannya kosong, meski sebuah senyum tersungging di wajahnya. Tatapannya lalu berubah, cerah. Dia tertawa. Terbahak.

"Sudah tiga belas...," ujarnya sambil terkekeh, "pantas saja aku ingin menikmatinya. Begitu hangat. Begitu membekas dalam ingatan."

Aku hanya mampu membisu. Ada luka menoreh hatiku.

Lelaki berkulit langsat itu melirikku.

"Selanjutnya akan lebih menarik." Tatapannya menakutiku. "Kali ini, akan kulakukan saat jiwa masih bersama raga." Tawanya membahana, memenuhi ruang temaram bercahayakan lampu lima watt ini.

▲▲▲

"Bagaimana pestamu kemarin malam?" Sebuah suara serak memecah lamunanku.

"Ah, meriah," jawabku singkat.

Lelaki berkemeja hitam itu duduk di hadapanku.

"Dia bertingkah lagi?" tanyanya menyelidik.

Kukernyitkan dahiku. "Dia?" Kupasang wajah heranku.

Lelaki di hadapanku berdecak. "Lelakimu," ucapnya sambil terkekeh.

"Ah..., Raka? Dia bukan lelakiku, perlu kau tahu."

"Lalu? Dia tak mungkin lelakiku, bukan? Hei, aku masih normal." Kekehannya semakin jadi.

Aku hanya mengulas senyum.

"Baiklah kalau kau mau menyangkal. Bukan masalah bagiku."

Aku tak menyukai lelaki di hadapanku. Dia terlalu ingin tahu. Tak akan kubiarkan rahasia Raka terkuak. Aku pula yang akan terkena imbasnya. Polisi akan menangkapku, menuduhku kaki tangan kejahatan Raka, meski memang begitu kebenarannya.

Aku beranjak dari dudukku. Kutinggalkan lelaki berkemeja hitam itu seorang diri. Senyumnya masih terukir. Tampak menyeramkan di mataku.

▲▲▲

Raka menutup wajahnya dengan bantal. Terdengar redup pekikannya.

"Raka!!" Segera aku berlari menghampirinya. Membawanya dalam dekapku.

Raka menatapku nanar. Air mata tampak tergenang. "Aku telah gagal...," isaknya kini terdengar.

Kurengkuh ia semakin erat. "Siapa? Bagaimana mungkin?"

"No... vi.... Perempuan laknat itu berhasil melarikan diri!"

Kubelai lembut rambutnya.

"Bagaimana bisa? Ceritakan padaku."

Raka menghapus air matanya. Di saat seperti ini, dia terlihat hanya seperti bocah lima tahun. Tampak polos dan lugu. Sayang itu hanya tampilan luar. Iblis sudah berhasil menggerogoti jiwanya, menghasut hatinya, merusak logikanya.

"Aku memulai terlalu cepat. Kupikir akan berhasil. Aku ingin menikmatinya! Aku lapar akan hangat tubuhnya!" Raka mengerang. Matanya memerah, begitu pula wajahnya. "Kupikir aku akan berhasil tanpa perlu melumpuhkannya," suaranya meredup kali ini, "tapi dia memukulku. Tepat di bagian berhargaku. Terlalu sakit untuk kutahan. Mana mampu aku mengejarnya."

Kulepaskan pelukanku. Kukecup kening lelaki penguasa logikaku.

"Aku akan membawakan tubuhnya untukmu. Dengan jiwa masih dalam raga."

Aku melangkah pergi dengan hati yang tersayat. Bukan hangat tubuhku yang diinginkannya. Bukan kehadiranku yang dirindukannya. Lantas untuk apa aku masih bertahan di sisinya?

Cinta masa lalu telah membutakanku. Hasrat melindungi telah merusak batinku. Aku begini demi cinta yang tak kan pernah untukku. Aku begini demi lelaki yang bahkan hanya mengganggapku ilusi semata.

▲▲▲

Lelaki pemilik hati, penguasa logikaku, mencumbu mesra tubuh lunglai gadis nomor empat belas dalam daftarnya. Dikecupnya ringan bibir tipis gadis bernama Novi itu. Dirabanya pelan dada kencang khas gadis belia milik sang pemuas nafsu.

Tak sehelai benang pun menutupi tubuh mungil gadis itu. Seluruh tubuhnya terekspos penuh oleh lelaki yang kucinta.

Dadaku sesak. Cemburu membakar hati. Kenapa bukan aku yang kau jamah? Kenapa bukan aku yang kau setubuhi? Kenapa bukan aku yang jadi si pemuas nafsu?

Tubuh mereka bersatu, padu. Lenguhan demi lenguhan terdengar, semakin menyesakkan dada. Menggores hati. Kupalingkan wajahku. Kutatap nanar tembok di sampingku. Air mata masih tertahan. Emosi ingin menyeruak.

"Mmm...," suara sang gadis mulai terdengar lemah.

Sial, kesadarannya mulai pulih. Gadis itu mengerjapkan matanya. Tak lama, membelalaklah dia, bersama dengan lenguhan panjang Raka-ku.

Raka menyeringai puas. Gadis itu mulai menyadari yang terjadi, dia mencoba melepaskan diri. Sayang, kegesitannya tentu kalah oleh iblis yang baru saja bangkit dalam diri lelaki berkulit langsat itu.

Raka meraih pisau andalannya. Dihujamkannya tepat pada belahan dada si gadis belia pemuas nafsunya. Seringainya terlihat menakutkan.

Sekali. Dua kali. Tiga kali. Dihujamkannya berkali-kali pisau yang selalu terasah setiap pagi itu. Darah mengalir deras. Membasahi lantai keramik putih tempat kami berpijak.

Raka mulai terkekeh. Dia nikmati setiap erangan kesakitan gadis nomor empat belas dalam daftar panjangnya. Air mata menari di pelupuk mata gadis itu.

Aku hanya mematung jadi penonton. Pembersih bagi segala kejahatan Raka. Penghapus segala jejak. Kuhela nafasku panjang saat amis mulai tercium indra.

Tak seperti yang sebelumnya, tubuh Novi penuh sayat. Raka sungguh membabi buta. Kehilangan kendali. Matanya seakan bersinar cerah. Penuh nafsu serta amarah. Penuh hasrat dan kebahagiaan.

Napasnya terdengar mulai tersengal. Dia melirikku sesaat. Keringat membasahi tubuh dan wajahnya, memberi kilap penuh pesona di mataku. Tubuhnya bersimbah darah. Bukan darahnya tentu. Darah si nomor empat belas.

Raka terseok menyingkir dari tubuh terkulai gadis pemuas nafsunya. Dikecupnya lagi perlahan bibir berdarah sang gadis, sebelum pandangannya teralih pada sosok gadis lain di ruangan ini.

Jantungku berdegup kencang, seakan ada konser di dalam sana. Kutahan nafasku. Raka merangkak mendekatiku. Sinar matanya menunjukkan iblis dalam dirinya. Kupejamkan mataku. Jantungku berdegup semakin cepat. Terdengar desah napas Raka. Keringat mengucur di pelipisku.

Terdengar suara lenguhan lembut Raka-ku. Kubuka mataku perlahan. Tak ada. Dia tak ada. Raka tak ada di depanku. Kulirik sampingku. Raka berbaring di atas tubuh gadis lain. Bonus yang kubawakan untuknya. Sang pelipur lara. Anroy, si nomor lima belas. Kuhela napas lega. Aku belum akan mati hari ini.

▲▲▲

Dua gadis bak mempelai wanita terbaring kaku di hadapanku. Gaun putih melekat pada tubuh mereka. Perona salem tersapu manis pada pipi mereka. Bibir mereka terlukis merah dengan menggoda. Sempurna.

Sesi foto selesai. Kutatap hasil foto polaroid di tanganku. Aku tersenyum tipis. Raka pasti menyukainya. Kutempelkan foto itu pada halaman buku usang milik Raka. Sudah lima belas. Masih ada tiga puluh gadis lagi belum tercoret namanya. Segera, buku ini akan selesai.

Kulirik pojok ruangan temaram ini. Tumpukan selusin buku usang yang sama, sudah menanti. Ruangan tanpa jendela ini menjadi saksi bisu gairah lelaki berkulit langsat-ku.

▲▲▲

"Bagaimana kemarin malam?" Seperti biasa, sebuah suara serak memecah lamunanku. "Apa yang terjadi? Tampaknya kau lelah." Senyumnya seakan menyiratkan makna lain yang tersembunyi.

"Biasa saja," jawabku tanpa memandangnya.

Tanpa permisi, dia duduk di hadapanku. Benar-benar sudah menjadi kebiasaannya.

"Lagi pula, bukan urusanmu." Aku mendengus kesal.

Lelaki di depanku menopang dagunya, menatap lurus ke arahku yang tertunduk. Dia kemudian mengikik.

"Baiklah.... Baiklah...."Dia tersenyum memandangku. "Bagaimana dengan lelakimu?"

Dia berhasil membuatku dongkol dengan mudahnya.

"Maksudmu Raka? Berhenti menyebutnya lelakiku!" bentakku kesal.

Lelaki di depanku terkekeh. "Lalu harus kusebut apa? Bukankah dia memang lelakimu? Kalau bukan, untuk apa kau selalu bersamanya nyaris sepanjang waktu?"

Aku mendelik kesal. Kurapikan bukuku yang berserakan di meja. Lelaki itu tersenyum penuh arti, menggapai tanganku, menggenggam jemariku.

"Berhenti menghindariku," ujarnya tegas sambil menatapku.

Kutepis tangan kekarnya. "Bukan urusanmu."

Lagi, aku pergi meninggalkannya seperti yang selalu terjadi.

Namun sial, hari ini sedikit berbeda. Lelaki itu mengejarku. Menyamakan langkahnya denganku. Dia jalan berjalan di sisiku.

"Sampai kapan mau menghindariku?"

Kupercepat langkahku.

"Kurangkah pesonaku?" tanyanya lagi.

Dia berhasil menghentikan langkahku. Kutatap dia jenuh.

"Tak bisakah kau ganggu yang lain saja? Mengapa harus aku? Aku bahkan hanya sekedar mengenal namamu."

Lagi-lagi dia terkekeh.

"Sayangnya, aku terlalu mengenalmu."

Aku tertegun, tentu saja. Tatapan lelaki ini tak kalah menyeramkan dengan Raka saat iblis menguasainya. Kulangkahkan cepat kakiku, berusaha melepaskan diri dari sosoknya.

Sial, tangan kekar lelaki itu mencengkramku. Sorot matanya tajam. Seakan ingin menerkamku.

"Sudah lima belas, bukan?" tanyanya sambil menyeringai.

Aku terbelalak.

"Kau bergerak cepat rupanya," lanjutnya.

Aku tertegun kali ini. Apa maksud semua ini? Siapa dia sebenarnya? Apa maunya?

"Aku tak mengerti maksudmu, Fei," ujarku berusaha berkilah. Tak berani lagi kutatap matanya.

"Hmm...." Lelaki bernama Fei itu menggosok dagunya yang kuyakin tak gatal. "Benarkah?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.

Jantungku berdegup cepat. Kutahan napasku gugup. Tanganku sepertinya mulai bergetar.

Fei mendekatkan bibirnya ke telingaku. Embusan hangat napasnya memaksa kudukku berdiri. Jantungku berdesir. Perasaanku tak keruan.

"Haruskah kau menggantikan sang pelepas penat, Ola? Si nomor enam belas?" tanyanya sambil terkekeh menyeramkan.

Kakiku melemah. Aku jatuh tak sadarkan diri.

◆◆◆

Feat vlossme

For rebellionID

C A S T

Ollakazumi

Raka_Putra

AlFairyzi

novilrn

Anroy_

syafsilarozaoctaria

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro