AKRESHA. 13
Dengan satu piring martabak kacang, dua gelas teh manis, sepasang Ayah dan anak itu duduk berdampingan. Menatap layar televisi yang menayangkan sinetron Indonesia. Mereka masih sama-sama belum membuka suaranya.
Tadi, Akbar pulang jam delapan malam sampai rumahnya. Setelah membersihkan diri dan makan malam, ia menyusul ayahnya yang sudah duduk di sofa sambil memakan martabak yang ia beli sebelum pulang tadi.
"Yah?" pangil Akbar pada akhirnya membuka suaranya terlebih dahulu.
"Hm?"
"Abang mau konsultasi."
Fadil, sang Ayah langsung tersedak martabak. Menatap sebal pada Akbar yang sudah menampakkan cengiran lebarnya. Menyeruput tehnya terlebih dahulu agar tenggorokannya lebih enak. Setelah itu mulai fokus pada anaknya.
"Konsultasi apaan? Ayah ini bukan dokter! Nggak usah ngada-ngada deh."
Akbar mendengus. Bukan itu maksudnya. Bukan konsultasi masalah penyakit atau apa. Tapi ini masalah ... hati? Oke, Akbar sebenarnya tidak yakin kalau ia akan berkonsultasi masalah hati kepada ayahnya.
"Bukan itu. Abang mau konsultasi masalah hati."
"Apa?!"
Air liurnya sampai menyembur. Saking kagetnya.
Akbar mengusap wajahnya. "Astaghfurullah. Biasa aja dong, Yah," katanya.
"Ya lagian, siapa suruh ngomong asal ceplos kayak tadi? Maksud kamu konsultasi masalah hati itu apa? Oh-Ayah tahu! Pasti kamu habis ditolak sama perempuan yang kamu ajak nikah, ya? Atau jangan-jangan kamu belum bisa ngelupain masa lalu? Jadi, kamu mau minta saran sama Ayah karena patah hati?!"
Oke, ini lebay.
Akbar menatap cengo pada Ayahnya. Deretan kalimat yang ayahnya ucapkan tadi benar-benar di luar dugaannya. Dan seketika ia menyesal telah berkonsultasi pada pria yang umurnya berbeda jauh dengan dirinya.
"Ck, bukan Ayah! Bukan gitu!"
Fadil tertawa. "Oke-oke. Jadi apa?" Tawanya sudah hilang. Tergantikan dengan raut serius.
"Abang bingung. Kayak ada rasa mau melindungi, tapi masih ragu. Abang mau jadi tempat dia pulang saat dia merasa gak tahu lagi harus ke mana dan berlari ke siapa. Dia enggak setegar itu buat berdiri sendiri tanpa ada tangan orang lain yang mengulurkan buat bangkit. Ya, meskipun pada nyata Abang belum tahu masa lalu dia sepenuhnya itu kayak apa, tapi tetep aja ... Aduh, gimana sih ya! Perasaan Abang belum jelas. Makanya konsultasi sama Ayah."
"Bentar. Dianya itu siapa? Perempuan mana? Kayak gimana orangnya?"
"Esha." Akbar menyaut pendek.
"Esha? beo Fadil. "Maksud kamu Esha temen kecil kamu?" tanyanya memastikan.
Akbar menganggukkan kepalanya. Dan mulai bercerita, "Orangtuanya udah meninggal semua, Yah. Sekarang Esha cuma tinggal sama adiknya yang masih berumur tujuh atau delapan tahun. Di rumah yang besarnya cukup untuk mereka berdua tinggal. Harta keluarganya habis sewaktu perusahaan orangtuanya bangrut ditipu orang lain. Sekarang Esha cuma fokus ngebesarin adiknya, sambil kerja di Cafè milik sahabat Abang, si Gilang."
Fadil tersentak mendengar cerita itu. Ia membayangkan bagaimana kehidupan Esha semasa berada di titik terbawahnya. Titik yang memiliki cobaan terbesar dalam kehidupan perempuan itu. Bahkan semasa hidupnya selama ini, Fadil tidak pernah melalui cobaan sebesar itu.
"Terus, gimana lagi?"
"Tiap ngelihat senyumannya, Abang tahu, senyum itu melalui banyak kisah yang nggak gampang buat dilewatin. Tapi, Esha kuat. Dia bisa melalui semuanya sendirian. Dan Abang aja gak yakin kalau bisa kayak Esha.
"Abang mau ngejagain Esha. Ngelindungin dia. Ngebahagiain dia. Nggak tahu kenapa rasa ingin memberi kebahagiaan buat dia itu tiba-tiba ada. Atau itu cuma karena rasa simpati sebagai temen lama?"
Ada jeda sebelum Fadil menjawab. Laki-laki itu menepuk punggung Akbar beberapa kali. Menatap anak laki-lakinya. "Bang. Coba biarin dulu perasaan kamu ngalir. Kasih waktu beberapa hari buat kamu bisa mastiin sendiri apa yang kamu rasain. Dan juga, pasti maksud dari penjelasan Abang tadi itu, mau nikahin Esha, kan?"
Dan Akbar. Membiarkan pertanyaan itu menguar hilang dengan sendirinya.
Ayahnya benar. Ia harus bisa memastikan perasaannya sendiri. Jangan sampai ia meminang perempuan itu, tapi perasaanya belum jelas. Apa yang ia rasakan masih ragu. Dan dirinya akan berhadapan dengan suatu hal yang sering dihindari oleh kebanyakan orang. Yaitu: perasaan.
•••
Menulis apa saja keperluan yang harus dibeli, Esha mencoba mengingat-ingat apa yang sudah habis di dapur. Saat ingat, perempuan itu menulisnya di secarik kertas. Duduk di meja makan dengan ditemani oleh Caca yang sedang melahap bolu kukus. Gadis kecil itu terus mengunyah. Sesekali melirik Esha yang masih serius dengan kertas dan pulpen.
"Kamu doyan apa laper, Ca?" tanya Esha saat selesai menulis apa saja yang akan ia beli di toko sembako setelah ini. Perempuan itu menutup pulpen dan menaruhnya di atas meja. Melipat kertas dan memasukkannya ke dalam tas kecil yang berisi dompet dan ponsel yang ada di atas meja.
Caca nyengir dan memasukkan suapan terakhir ke dalam mulutnya. "Habisnya Mbak lama banget. Nanti keburu malem tahu, Mbak!" katanya.
Esha terkekeh. Bangkit dari duduknya dan memakai tas kecilnya. Mengajak Caca untuk ke toko sembako. Sesuai apa yang ia bilang kamarin.
"Ayo, Ca. Kita berangkat."
Caca langsung berdiri dan berjalan keluar rumah. Diikuti Esha di belakangnya. Setelah mengunci pintu dengan benar, Esha melangkah menuju sepedanya yang berada di teras rumah.
Setelah Caca duduk di belakang dengan benar, Esha mulai mengayuh pedal sepeda. Menuju toko sembako yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah.
Sepuluh menit kemudian, mereka sampai. Parkir sepeda dengan benar dan berjalan masuk. Mengambil keranjang belanjaan berwarna biru. Dan mulai berbelanja kebutuhan dapur.
Esha mengeluarkan secarik kertas yang isinya tulisan kebutuhan dapur yang harus ia beli. Sedangkan Caca membawa keranjang belanjaan. Gadis kecil itu mengamati sekitar. Toko sembako masih ramai di jam 7 malam ini.
"Mau bantuin Mbak nggak?"
Caca sontak mendongak. "Mau dongg!!" katanya dengan semangat. Esha terkekeh sebentar.
"Yaudah. Tolong ambilin gula pasir dua bungkus sama susu putih yang kalengnya dua. Bisa kan? Mbak tungguin di rak sebelah itu ya." Sambil menunjuk rak tempat sabun cuci baju dan piring. Gadis kecil itu mengangguk dan berlalu ke rak tempat gula dan susu yang sudah ia hafal tempatnya di mana.
Caca sering menemani Esha belanja. Bahkan saat kakaknya itu melarangnya supaya tidak ikut, ia akan merayu dengan rayuan mautnya agar bisa ikut. Entahlah. Menurutnya, ikut ke mana pun dengan kakaknya akan terasa lebih asyik. Walau ke toko sembako sekalipun.
Membiarkan Caca menyelesaikan apa yang Esha minta, perempuan itu berjalan ke arah rak sabun-sabun berada. Meneliti satu persatu sabun yang akan dibelinya. Biasanya sih, ia membeli sabun yang mendapatkan satu piring cantik bila membelinya. Piring putih beling yang di putaran sampingnya terdapat gambar bunga.
Oke, tidak usah sebut nama produknya apa. Kalau yang sering biasa belanja ke toko sembako membeli sabun cuci, tahu itu sabun apa.
Esha mengambil dua bungkus sabun yang berat masing-masingnya tidak sampai satu kilo itu. Memeluknya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya memilih sabun cuci piring.
"Mbak, udah. Nih." Caca datang dengan keranjang belanjaan yang sudah berisi dua bungkus gula pasir dan dua kaleng susu. Gadis itu menaruh keranjang di samping kaki Esha.
Esha menoleh dan mencubit pipi adiknya. "Pinter! Makasih, Sayang." Caca nyengir sebagai jawaban.
"Mbak, apalagi yang diambil?"
Esha melihat kertas dan membacanya. "Emm, sabun mandi. Terus, sikat gigi kamu sama punya Mbak juga udah abis stoknya. Odol. Minyak telon. Bedak. Udah, itu aja," jelasnya.
Caca sempat menganga. "Banyak banget," ucapnya polos. Esha tertawa. Menaruh sabun yang tadi ia peluk ke dalam keranjang. "Yaudah. Biar nanti aja sama-sama ngambilnya. Sekarang Mbak mau ngambil sabun cuci piring dulu."
Setelah selesai mengambil semua yang dibutuhkan, mereka melipir ke kasir. Menunggu antrean yang tidak terlalu banyak. Caca menarik lengan baju kakaknya.
"Mbak. Mau es krim. Boleh?"
Melihat kegigihan Caca dalam membantu dan menemaninya belanja, Esha langsung mengangguk mengiyakan. Asal jangan membeli banyak. Cukup satu atau dua saja. Bisa-bisa adiknya itu sakit gigi jika memakan terlalu banyak es krim.
Caca langsung berterima kasih sambil berlalu. Meninggalkan Esha yang tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Getaran di ponselnya membuat Esha langsung menaruh keranjang belanjaan di bawah. Tangannya mengambil ponsel yang ada di tas kecil yang ia pakai. Dan melihat siapa yang mengiriminya pesan.
Hasan
Besok jgn lupa
Esha langsung tertegun. Apa? Besok? Yang bener aja, gumamnya dalam hati. Menatap lamat-lamat pesan itu. Dan mendesah pasrah. Kenapa hari berlalu begitu cepat? Sementara ia berharap kalau hari itu akan tiba dengan sangat lambat?
Semesta memang suka bercanda dengan makhluk yang ada di bumi. Apalagi manusia.
Oke, jangan salahkan semesta. Ataupun Tuhan. Jangan. Ini sudah jalan takdirnya seperti ini.
Baiklah. Jika memang besok ia akan bertemu dengan laki-laki itu, maka, ia sudah siap dengan apa pun yang akan terjadi nanti.
Tanpa membalas pesan itu, Esha kembali memasukkan ponselnya. Dan menunggu Caca kembali sambil terus mengantre.
•••
Di sini siapa aja yg suka ke toko sembako? Atau mungkin mini market buat beli kebutuhan dapur disuruh emak? Ayo berkumpul hehehe
Baca ini ya! Biar gak pada nunggu update
Kemungkinan besar, part depan dan selanjutnya akan slow update. Jadi, jangan nunggu ya. Hehe
Makasih :)
Indramayu (dipublish di Jakarta) 24 oktober 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro