Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AKRESHA. 12

Bagiku, alasan untuk tidak mau bertemu denganmu lagi itu sudah jelas. Kalau aku memang tidak butuh kehadiranmu lagi di sisiku.
-AE-

Sinar mentari mulai datang. Tetesan embun masih menempel pada permukaan dedaunan. Ayam berkokok saling bersahutan. Dan aktivitas para manusia mulai berjalan seperti biasa kembali.

Di pagi yang cerah ini, dengan celmek yang masih menempel di tubuhnya, Esha menatap kalender yang ada di atas kulkas dapur. Perempuan itu sedang menghitung. Berapa hari lagi untuk ia akan bertemu dengan sosok yang ia harapkan tidak akan pernah memunculkan wajahnya lagi--setelah mereka bertemu nanti.

Sulit baginya untuk melupakan masa lalu. Sulit. Amat sangat sulit. Dan untuk bisa bangkit sekokoh ini--meskipun pada nyatanya ia masih rapuh--itu bukanlah hal yang mudah untuk ia lalui sendirian. Untuk seorang perempuan seusianya, untuk bisa berada di titik ini adalah pencapaian yang sangat disyukuri olehnya.

Ia tahu, Allah--yang Maha Pengasih--tidak akan membiarkan Hamba-Nya kesusahan. Ia yakin, Allah akan selalu ada untuknya. Membantu dirinya saat orang yang tersayangnya malah meninggalkannya begitu saja. Ia sangat yakin akan kebesaran Allah. Sampai pada akhirnya, ia berada di titik kebangkitan. Titik di mana ia bisa berdiri untuk melanjutkan hidupnya yang dilanda kehampaan, rasa sakit karena kehilangan, dan juga patah hati.

Esha tidak sadar. Perempuan itu malah melamun di depan kulkas sambil menatap lurus-lurus kalender yang ada di sana. Membiarkan tempe yang sedang ia goreng itu warnanya sudah berubah--hampir gosong. Bahkan ia tidak sadar kalau Caca sudah memanggil-manggil namanya. Saat gadis kecil itu menggoyangkan tangannya, ia baru sadar. Mengerjapkan matanya beberapa kali dan menundukkan kepalanya. Menatap Caca yang sudah rapih menggunakan seragam sekolah.

"Mbak dipanggil-panggil kok diem aja? Ngelamunin apa sih, Mbak?"

Pertanyaan adiknya belum sempat ia jawab. Hidungnya sudah terlebih dahulu mencium bau gosong. Seakan teringat sesuatu, Esha langsung menghampiri kompor. Dan mematikannya. Menatap wajan yang berisi tempe goreng gosong. Lalu meringis pelan.

Mengangkat tempe itu dan menaruhnya di piring, Esha menoleh pada Caca yang masih berdiam di tempatnya. Gadis itu memperhatikan kakaknya yang sudah memperlihatkan tempe gosong yang ada di piring ke arahnya.

"Gosong," ucap Esha.

Caca langsung tertawa. Dan tawa lucu yang keluar dari gadis itu menular pada sang Kakak. Esha ikut tertawa melihat hasil gorengannya sendiri. Ini semua karena ia tadi asyik melamun. Memikirkan sesuatu yang tidak jelas.

"Yah ... padahal gak ada bahan masakan lain, Ca. Mbak nggak beli sayur tadi. Kalo sekarang beli pasti nggak sempet. Makannya pakai nasi gorengnya aja nggak papa kan? Telur juga abis." Esha berujar. Menatap tidak enak pada Caca.

Gadis itu membulatkan bibirnya. "Nggak papa. Yang penting sarapan. Mbak, ada susu nggak?"

Esha mendesah. Persediaan di dapur sudah mulai habis. Gula tinggal sedikit. Susu tidak ada. Telur. Minyak. Dan kebutuhan dapur lainnya sudah mulai mengikis. Dan ia belum sempat membelinya lagi.

Ia menatap Caca dengan tatapan yang semakin merasa tidak enak. Rasa bersalah kini mulai menyerang. Ia merasa kalau dirinya tidak bisa diandalkan. Padahal itu kebutuhannya dan Caca. Tapi kenapa ia bisa sampai lupa untuk mengecek kebutuhan dapur yang sangat penting?

"Teh manis aja, gimana?" tawar Esha dengan ragu. Padahal ia tahu, Caca tidak terlalu suka teh manis. Gadis kecil itu lebih menyukai susu dan air putih.

"Air putih aja deh."

Ya sudah, Esha menarik senyumnya. Lalu menyuruh Caca untuk duduk di meja makan kecil dekat dapur terlebih dahulu. Sementara dirinya mengambil gelas dan mengisinya dengan air dari dispenser di samping kulkas. Melepas celmek dan menyusul Caca yang sudah duduk manis di meja makan.

"Mbak minta maaf ya. Mbak lupa kalau kebutuhan dapur udah mulai habis. Nanti malem, habis Mbak pulang kerja, kita ke toko sembako, gimana? Caca mau nemenin Mbak nggak?"

Tangan kurusnya mengambil nasi goreng untuk Caca. Setelah selesai, ia mengambil untuknya sendiri. Gadis kecil itu mulai memakan sarapannya setelah berdoa dan mengangguk lesu. Dan Esha melunturkan senyumnya untuk sesaat.

"Kok sedih?"

Caca menggelengkan kepalanya. Berhenti mengunyah untuk sesaat. "Caca nggak sedih, Mbak." Lalu menyedokkan kembali nasi pada mulutnya. Dan sesaat kemudian juga, ia menahan kunyahannya lagi. Lidahnya merasakan sesuatu yang berbeda. Tidak seperti biasanya.

"Terus, kenapa mukanya jadi lesu gitu?"

Dengan ragu, gadis kecil itu menjawab, "Nasi gorengnya hambar, Mbak."

Esha segera memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Lalu perempuan itu meringis pelan. Menatap Caca sambil tersenyum paksa.

Kali ini bukan karena kebutuhan dapur yang menipis. Bukan karena garam atau penyedap rasanya sudah habis, tapi karena saat memasak pikirannya jauh melayang entah ke mana. Berkelana pada suatu hal yang ia sendiri tidak tahu jawabannya apa.

Khawatir akan pertemuannya dengan laki-laki itu akan berbuah pahit untuk dirinya sendiri.

•••

Memilih untuk makan siang di Cafè milik sahabatnya sendiri--Gilang--Akbar menuju ke sana. Setelah melaksanakan sholat dzuhur di jalan tadi, ia langsung tancap gas ke tempat yang akan ia tuju.

Laki-laki humoris itu telah melepas jas kerjanya. Menyisakan kemeja biru langit yang lengannya ia gulung sampai siku. Dan juga dengan dasi yang masih menyekik lehernya. Entah kenapa, hari ini ia seperti memerlukan udara luar yang menyegarkan. Matanya suntuk melihat layar laptop dan tumpukkan dokumen di atas meja kerjanya sendiri. Hidungnya juga bosan menghirup udara di dalam ruangan terus-menerus.

Oke. Pada intinya ia butuh kesegaran.

Tapi, kenapa tempat yang ia tuju harus Cafè Hehe? Apa karena ... Oh-tidak! Mendadak jantungnya berdetak cepat. Memikirkan bagaimana alur pertemuannya dengan perempuan itu. Membayangkan senyum manis yang dimiliki perempuan itu. Senyum manis yang sebenarnya sudah melalui banyak masalah kehidupan, dan ia tahu perempuan itu tidak setegar senyuman manisnya yang selalu diperlihatkan.

Buru-buru Akbar menampar pipinya sendiri dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya masih memegang setir mobil. Bagaimana ia bisa membayangkan sesuatu yang seharusnya tidak boleh ia bayangkan?

"Ngebayangin apaan sih?! Kalau kayak gini, harus konsultasi sama Ayah pulang nanti. Ya, harus. Jangan sampai enggak."

Lima menit kemudian, mobilnya sudah sampai di parkiran Cafè. Akbar keluar dari sana dan melangkah memasuki Cafè yang cukup ramai di jam makan siang ini. Lonceng berbunyi saat ia membuka pintu untuk masuk ke dalam.

Esha yang habis mengantar pesanan di meja dekat pintu masuk itu menoleh ke arah pintu. Menemukan laki-laki yang menyandang sebagai teman masa kecilnya. Sesaat ia sedikit terpana melihat ketampanan Akbar. Tapi kemudian, ia langsung menampar dirinya sendiri dengan menunduk. Dan bergegas pergi.

Laki-laki itu menuju meja dekat jendela. Mendudukkan dirinya di kursi. Menatap ke sekitarnya. Tadi, ia memang melihat Esha yang sudah lebih dulu menatapnya sambil memeluk nampan bundar. Tapi, saat ia akan menyapa, perempuan itu malah lebih dulu menunduk dan pergi begitu saja.

Dua menit kemudian, perempuan yang akan disapanya tadi menghampirinya. Esha. Perempuan itu memberikan senyumannya. Dan Akbar tidak bisa untuk tidak memperlihatkan senyuman lebarnya.

"Siang, Sha," sapa Akbar.

"Siang, Mas. Tumben mampir ke sini?" Esha memberikan buku menu pada Akbar. Laki-laki itu langsung membaca menu apa yang akan ia pesan.

"Emm, lagi pengen keluar aja sih. Suntuk di dalem kantor terus. Butuh kesegaran."

Esha sempat terkekeh pelan. Saat Akbar mendongak dan membacakan pesanan yang laki-laki itu mau, Esha segera menuliskannya. Membaca ulang dan berlalu ke belakang.

Akbar mengeluarkan ponsel sambil menunggu pesanannya datang. Ia menerima beberapa pesan. Salah satunya dari Ayahnya dan juga adiknya, Ziya. Jarinya membuka pesan dari ayahnya terlebih dahulu.

Ayahku
Nanti pulang beliin martabak!

Akbar langsung mengetik balasan untuk ayahnya itu.

Iya, siap bosku😎

Lalu ia beralih pada pesan dari Ziya. Feelingnya sih adiknya itu menyuruhkan mampir ke rumahnya. Yang sudah pasti nanti akan berujung untuk menghadapi keponakan kecilnya. Pasti keponakannya itu sudah merindukannya. Jadi Om yang gampang dirindukan itu memang sudah. Baru seminggu tidak bertemu saja keponakannya itu langsung merindukannya.

Adek Ziya
Kalo libur ke sini ya bang. Al nyariin trs. Katanya kangen sma Omnya

Jdi org gnteng emang susah, gampang dikangenin😎

Akbar merasa geli dengan apa yang ia ketik tadi. Terkekeh sebentar. Kemudian kursi yang ada di depannya berdecit pelan. Menandakan kalau ada seseorang yang duduk di sana. Ia mengangkat kepalanya, dan langsung mendapati Gilang memasang wajah sengak.

"Apa?" tanya Akbar tidak suka.

Gilang menyenderkan tubuhnya di kursi. "Lo ke sini karena mau pedekate ama dia, ya?" Dia yang dimaksudnya adalah Esha.

"Dia siapa? Pedekate sama siapa sih? Gue suntuk di kantor terus. Butuh udara segar!"

"Permisi. Ini, Mas, pesenannya."

Esha datang memotong obrolan mereka. Gilang menyeringai. Sesudah Esha pergi, Gilang langsung berkata, "Tuh. Sama yang tadi. Udah, nikahin aja."

Dengan gamblangnya Gilang berkata seperti tadi. Apa itu tidak salah? Hei! Menikah itu tidak segampang mengedipkan mata. Untung saja Gilang itu sahabatnya, kalau bukan, sudah pasti Akbar akan menimpuk wajahnya dengan sepatu.

"Berisik! Gue mau makan! Laper!" Akbar tidak ingin membahas sesuatu yang bahkan belum ia pikirkan dengan jauh.

°°°
Jangan lupa vote dan komennya ya:)

See you :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro