AKRESHA. 08
Selamat membaca part 8, semoga masih banyak yang setia sama ini cerita😭
Maafkeun aku ngaret, suka lupa kalo mau update dan ya ujian kehidupan nyata gak bisa dihindari kan, hehehe..
••••
Tawa mereka meledak bersamaan. Tidak, bukan mereka--tapi lebih dominan tawa Akbar, Erik dan Aya yang meledak. Sedangkan Esha, perempuan itu hanya terkekeh. Mereka berempat masih tak percaya dengan takdir yang telah mereka terima.
Setelah keterkejutan Esha itu. Akbar meminta perempuan itu untuk menunggunya kembali saat sore hari tiba. Dengan alasan, ia akan mempertemukannya dengan dua orang--Erik dan Aya.
Esha bingung harus apa. Ia tak meng-iyakan perkataan Akbar, menolaknya pun tidak. Ia hanya diam membisu, menampung banyak pertanyaan di benaknya.
"Tatang?!"
"Hah?!"
Akbar melangkahkan kakinya mendekati Esha. Ia berdiri dengan jarak tiga meter di depannya.
"Kamu gak inget sama panggilan itu?" tanyanya membuat alis perempuan di depannya itu menekuk dalam.
"Maksudnya yang tadi Mas panggil Tatang itu?"
"Iya,"
"Gimana sih, Mas maksudnya?"
Akbar menghembuskan nafasnya pelan. Ia sudah menebak kalau Esha pasti tidak akan ingat dengan semuanya, termasuk panggilan darinya sewaktu kecil dulu.
"Gini deh, kamu kan masih jam kerja, nanti sore tunggu saya di sini. Saya bakal temuin kamu sama dua orang, setelah itu kamu bakal tahu nanti. Saya permisi, semoga kamu mau nunggu. Assalamu'alaikum."
Setelah mengatakan itu, Akbar pergi meninggalkan Esha yang hanya bisa diam terpaku sambil memeluk nampan bundar. Menampung banyak pertanyaan di benaknya.
"Maksudnya apa sih? Duh, udah ah kerja dulu aja, itu urusan nanti."
Namun, sekarang jawaban atas pertanyaan yang ada di benaknya itu terkuak habis. Semua kejelasan telah ia dapatkan. Dari mulai nol hingga seratus, ia sudah paham akan semuanya.
Takdir Allah memang tak bisa ditebak, sangat sulit. Ini adalah sebuah kebahagiaan yang Esha rasakan karena dapat bertemu dan bersama dengan temannya kembali. Meskipun--teman saat ia masih belum mengerti sama sekali apa itu yang dinamakan teman.
Dulu, saat masih kecil. Esha memaksa pada ibunya untuk segera memasukkannya ke Taman Kanak-kanak. Umurnya saat itu masih empat tahun, dan ia sudah minta untuk masuk. Ibunya berusaha memberi pengertian padanya untuk tidak masuk ke sana terlebih dahulu.
Namun, Esha si kepala batu itu tetep kuat dengan keputusannya, dasar anak kecil. Ibunya akhirnya hanya bisa pasrah. Esha kemudian masuk ke Taman Kanak-kanak itu. Saat sudah masuk, ia sulit mendapatkan teman, karena teman satu kelasnya itu nakal dan juga suka membuat Esha menangis.
Akhirnya, saat Esha menangis karena ulah teman kelasnya. Akbar, Erik dan Aya datang menghiburnya. Mereka yang saat itu menginjak umur 7 tahun sudah bisa bersikap dewasa--menghibur gadis kecil itu agar tidak menangis.
Sejak saat itu, mereka berteman. Esha hanya dekat dengan mereka. Hingga saat libur akhir semester 1, ia dan keluarganya harus pindah ke Bekasi karena urusan kerja ayahnya.
Esha yang saat itu masih kecil, hanya bisa menurut dan diam saja. Ia pergi meninggalkan ketiga temannya yang sudah ia anggap seperti Kakaknya sendiri.
Akbar, Erik dan Aya sempat mencari-cari Esha. Tapi, saat diberi tahu oleh orang tuanya kalau Esha pindah, mereka hanya bisa menerima kenyataan itu dengan lesu.
Hari berganti jadi minggu, kemudian berganti menjadi bulan, dan tahun. Di tahun-tahun berikutnya, mereka sudah seperti saling melupakan. Tapi, setidaknya kenangan mereka masih ada, melekat di pikiran. Ya, meskipun kenangan itu tertutup oleh kisah dan kenangan baru yang mereka rasakan.
Kini, Tuhan dengan baiknya mempertemukan mereka kembali menjadi satu. Mereka sangat bersyukur dan sangat senang sekali. Meskipun kondisi di salah satu dari mereka sudah tak sama lagi.
"Kenapa kamu gak muncul dari lama aja sih, Sha?" tanya Aya yang duduk di samping Esha.
Di hadapannya ada Akbar dan Erik yang hanya memperhatikan dua perempuan yang hanya terpaut dua tahun itu. Mereka kini berada di Cafe, setelah Esha selesai kerja, tiga orang itu datang menemuinya.
Esha sudah menghubungi Bu Maya--tetangga samping rumahnya untuk menitipkan Caca di sana. Takut jika ia pulang telat dan adiknya itu nanti mencari dirinya.
"Ya, aku juga enggak tahu, Mbak. Kan ini takdirnya kita dipertemukan sekarang," sahut Esha.
"Ih! Aku masih gak percaya kalo kita bisa kayak gini lagi. Kangen banget..."
Esha terkekeh pelan saat Aya memeluknya. Sifat perempuan yang sudah sah menjadi istri seorang lelaki yang bernama Erik itu tidak berubah. Masih seperti dulu, berisik, cerewet dan lucu. Sedangkan Esha cenderung diam tak secerewet Aya--tergantung pada siapa ia berbicara.
"Iya, aku juga masih kaget, hehe.."
"Terlebih sama aku, ya kan, Sha?" tanya Akbar dengan percaya dirinya.
Lelaki humoris itu kini menaik-turunkan alisnya. Hih! Ingin sekali Erik yang duduk di sampingnya itu menarik alis tebalnya.
Mereka sudah sepakat untuk tidak berbicara dengan formal menggunakan saya-kamu, tapi berganti menjadi aku-kamu. Yang tetap sama hanya Akbar pada Erik, begitupun sebaliknya.
Esha tak mengelak pertanyaan Akbar yang memang--ia masih belum percaya kalau mereka itu berteman saat kecil. Sungguh, takdir Allah memang sangat luar biasa.
...
"Kamu pulangnya gimana?" tanya Aya pada Esha yang berdiri di sampingnya.
Kini mereka berdua berada di parkiran Cafe, menunggu dua lelaki yang sedang mengambil kendaraan mereka masing-masing. Setelah melaksanakan sholat isya bersama, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing.
"Sepeda aku ada di bengkel deket sini, Mbak. Tinggal jalan kaki aja, nanti juga sampai, kok," jawab Esha sambil tersenyum meyakinkan.
"Lho? Jangan jalan kaki, sama aku aja ya? Bareng aja, Sha. Masa iya kamu jalan kaki ke bengkel. Terus emang bengkelnya masih buka? Kalo udah tutup gimana? Nanti kamu pulangnya gimana?" tanya Aya beruntun dengan satu tarikan nafas.
"Enggak usah, nanti aku ngerepotin Mbak sama Kak Erik lagi."
Aya mengibaskan tangannya. "Ah, enggak. Aku khawatir nanti kamu di jalan kenapa-kenapa. Atau mau sama Akbar aja?"
Esha menghentakkan kaki kanannya pelan. "Ih! Janganlah, Mbak, gak enak. Apalagi gak ada orang ketiganya. Nanti jadi fitnah lagi." balasnya bertepatan dengan dua mobil yang berhenti di depan mereka.
Aya sedikit salfok (salah fokus) dengan ucapan Esha tadi. Orang ketiga, itu maksudnya apa ya? Aya jadi ambigu.
"Orang ketiga? Kok lucu ya, Sha, hihi..."
Esha menggaruk pipinya. Mungkin ia salah mengucap kalimat. Yang ia maksud orang ketiga itu adalah orang lain yang bisa ikut ke dalam mobil--jika ia bersama Akbar. Bukannya orang ketiga seperti di sinetron, istilahnya--pelakor. Tidak, bukan itu yang dimaksud Esha.
"Maksudnya itu gak ada orang lain yang bisa nemenin, Mbak. Jangan berpikir yang aneh-aneh, ya, Mbak. Awas, lho!"
Aya hanya mengangguk saja sambil tertawa kecil. Akbar dan Erik keluar dari mobil, menghampiri dua perempuan yang memiliki sifat berbeda itu.
"Kamu pulangnya gimana, Sha?" tanya Erik.
Sebelum Esha menjawab. Perempuan di sampingnya itu sudah lebih dulu berbicara. "Esha pulang sama kita aja ya, Mas? Katanya sepedanya itu di bengkel."
Esha menggeleng keras. "Enggak, Kak! Gak usah bareng, aku bisa pulang sendiri, kok."
Akbar yang mendengarnya hanya mengerutkan kedua alisnya. Erik hanya menatap Esha dan Aya bergantian, bingung.
"Oh, iya. Sepeda kamu kan di bengkel tadi pagi ya, Sha?" tanya Akbar.
Esha menganggukkan kepalanya. Kemudian perempuan itu pamit untuk pulang lebih dulu.
"Ya udah, aku duluan ya, mau ke bengkel dulu."
Dengan cepat mereka semua mencegahnya.
"JANGAN!"
Esha menatap ketiga orang itu dengan heran. Sebelum ia ingin berbicara, dengan cepat Akbar sudah mendahuluinya.
"Kalo gak mau bareng Erik sama Aya, ya udah sama aku. Udah malem, Sha, gak mungkin kamu pulang sendirian. Bahaya, paham?"
Aya terkikik geli mendengar nada bicara Akbar yang sangat terkesan memang khawatir. Ia tak mau berpikir macam-macam tentang hal itu. Biarlah semuanya akan terkuak dengan sendirinya.
"Bener kata Akbar, biar dia anterin kamu sampai rumah. Kalo dia macem-macem tinggal lapor aja." ujar Erik melirik Akbar sekilas, namun tangannya meraih tangan Aya. Kemudian langsung menariknya untuk memasuki mobil.
Erik dan Aya kompak memberikan lambaian tangan untuk Akbar dan Esha. Mereka meninggalkan dua manusia yang kini sedang diserang bom canggung.
Akbar berdehem setelah melihat mobil yang dikendarai Erik melaju. "Duduk di belakang lagi, ayok!" ajaknya pada Esha yang sedari tadi hanya diam.
Esha mengangguk dan mengekori Akbar dari belakang yang sudah jalan lebih dulu di depannya.
●●●
Garing or biasa aja or aduh lanjut dong?😅
Indramayu, 02 maret 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro