AKRESHA. 05
Bismillah. Komen yang banyak dong.
Itu memang masa lalu, tapi tak seharusnya disalahkan. Tapi, seharusnya kita menjadikannya sebagai pelajaran untuk masa depan.
"Mbak perhatiin, kamu lebih banyak diam dari kemarin, Sha. Kenapa? Ada masalah, ya?"
Suara itu terdengar bersama dengan usapan lembut di bahu kiri Esha. Saat ini, Esha dan Dinda ada di taman dekat rumah Esha. Taman yang kecil, tapi sangat hijau.
Hari ini hari libur kerja keduanya. Dua hari yang lalu, sistem kerjanya diubah. Esha dan Dinda mendapat jatah libur hari minggu dan senin. Aneh bukan? Tapi yang jelas, semua pegawai di Cafe Hehe itu memiliki jatah libur dua hari dalam satu minggu.
Beberapa saat yang lalu, Esha datang lebih dulu dari Dinda. Ia hanya merasa butuh udara segar sambil mengobrol ringan tentang hal apa saja. Dan, ya, hanya pada Dinda ia bisa seperti itu. Lantas pada siapa lagi? Ia tidak mempunyai orang yang paling dekat dengan dirinya kecuali Dinda.
Dinda duduk di samping kanan Esha sambil menyodorkan satu botol minuman teh dan disambut langsung olehnya. Hening, keduanya masih sibuk dengan minuman masing-masing.
Esha belum menjawab pertanyaan yang Dinda lontarkan tadi. Ia menutup botol minumannya dan memainkan botol yang isinya sisa setengah itu. Sedangkan Dinda, diam-diam masih memperhatikan mimik wajah Esha.
Banyak hal yang sudah Dinda tahu tentang Esha. Salah satunya adalah jika ada sesuatu yang mengganggu pikiran gadis itu, pasti wajahnya akan berubah dan lebih sering melamun. Entah memikirkan hal apa. Yang jelas, Dinda tak pernah memaksa Esha untuk menceritakan dengan cepat apa yang ia rasakan. Karena ia juga tahu, semuanya butuh waktu.
"Sha? Astagfirullah, ngelamun terus. Mbak dianggurin udah lima menit, lho. Tega kamu, ya?"
Hanya dengan cara itu agar Esha bangkit dari lamunannya. Dinda menegurnya dengan nada dibuat kesal.
"Esha!"
Masih diam.
"ESHA!!"
Barulah perempuan itu menoleh dengan terkejut. Kemudian mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Kamu kenapa, sih?! Ngelamun terus!" sungut Dinda dengan tidak sabaran.
Esha meringis mendapat pertanyaan itu. Menggaruk pelipisnya, bingung harus menjawab apa.
"Emm.. emang aku ngelamun ya, Mbak? Duh, Mbak salah orang kali."
Dengan gemas Dinda mencubit lengan Esha. "Hih! Kan daritadi Mbak di sini sama kamu. Terus yang dimaksud Mbak salah orang itu apa?"
Esha meringis, merasakan panas di lengannya yang terkena serangan Dinda. "Hehe.. maaf, Mbak, maaf. Santai, kalem, jangan nyubit, Mbak."
"Ya, kamu, lagian kenapa ngelamun aja, sih? Kalau ada masalah, cerita, Sha."
"Eng ... Gak, kok." Lalu melamun lagi.
"Tapi serius lho Sha, kamu itu lagi kenapa? Cerita aja sama Mbak, kan biasanya gitu." Dinda tak mau bertele-tele lagi. Ia tipe orang yang malas jika membicarakan yang bukan tujuannya.
Mimik wajah Esha kembali berubah. Ia menghela nafasnya sebelum membalas, "Kenapa ya, Mbak, ngelupain perasaan sama lawan jenis itu susah?"
Dinda masih diam, memberi ruang untuk Esha berbicara dengan lebih jelas lagi tentang apa yang ia rasakan. Sebelumnya, Esha tak pernah menceritakan hal ini dan ini pertama kali Dinda mendengarnya. Sedikit terkejut, karena ia pikir gadis macam Esha tak berurusan dengan hal seperti ini. Namun nyatanya? Perasaan seseorang memang tidak ada yang tahu.
"Beberapa hari yang lalu, aku lihat dia lagi. Di Cafe pas jam makan siang, dia sama perempuan, kelihatannya deket banget. Aku juga belum pernah tahu siapa perempuan itu sebelumnya, Mbak." Esha mengambil jeda, kemudian melanjutkan, "Dia sahabat aku, dulu. Sebelum semuanya jadi seperti ini, berjarak dan nggak pernah terlihat lagi. Aku suka dan sayang sama dia, Mbak, sahabat aku sendiri. Saat dia tahu kalau aku suka sama dia, dia menjauh dan gak mau berurusan lagi sama aku. Benar-benar udah gak mau peduli lagi, Mbak."
"Rasanya ... Menyakitkan," lirihnya.
Seklebat kilatan kenangan hari di mana saat yang membuat Esha jatuh untuk yang kesekian kali itu muncul di benaknya. Menutup kedua mata, berusaha menghilangkan kejadian itu. Kemudian menceritakannya pada Dinda dengan rasa sakit yang menghimpit dada.
Hasan, lelaki yang menjadi mahasiswa baru di salah satu universitas di Jakarta--sama seperti Esha itu--kini tengah menunggu sahabatnya di taman kampus. Guna untuk membicarakan sesuatu hal pada gadis itu.
Beberapa saat yang lalu, ia diberi tahu oleh temannya yang memang dulu satu SMA dan saat ini satu kampus juga dengannya, kalau Esha menyukai dirinya. Bagai disambar petir di siang cerah itu, Hasan terkejut dengan kenyataan yang baru ia tahu saat itu.
Selama ini, hubungan persahabatnya dengan Esha dan Nara itu tidak ada yang aneh. Mereka bersahabat tanpa menimbulkan perasaan lebih di salah satunya. Namun, ternyata Esha menyukainya--yang saat itu ia menganggap Esha tidak lebih dari sahabat.
Beberapa saat kemudian, orang yang ditunggu akhirnya datang juga. Esha, gadis itu menyapa Hasan sambil duduk di gazebo taman. Sedangkan Hasan berdiri dengan radius tiga meter dan tak membalas sapaan Esha.
Esha heran dengan tingkah sahabatnya yang hanya diam. Cukup lama hening menyelimuti keduanya. Hingga akhirnya, suara Esha memecahkan keheningan itu. Ia menatap punggung Hasan yang membelakanginya.
"San? Ada apa? Tumben banget, deh, kamu ngajak ketemu di sini."
Hasan memutar badannya dengan kedua tangan yang ia masukkan di kantung celana. Ia tak menatap Esha, memandangi rumput yang tumbuh kecil itu. Menarik nafas dan mulai mengangkat bicara.
"Kenapa, Sha? Kenapa harus aku orang yang kamu suka? Kenapa bukan orang lain? Aku sahabat kamu, Sha, sahabat!" Mengambil jeda, Hasan masih enggan melihat Esha yang tercengang mendengar ucapannya. "Selama ini, aku pikir kita memang hanya sebatas sahabat dan gak akan melibatkan perasaan di salah satunya, tapi aku salah, kamu melibatkan perasaan lebih dalam persahabat kita, Sha."
"Maaf kalau ini menyakitkan, lebih baik aku putuskan dari sekarang, daripada nanti kamu akan lebih dalam memiliki perasaan itu untukku. Berhenti dan menjauh, Sha, cukup sampai di sini. Maaf jika selama menjadi sahabatmu, aku melakukan kesalahan."
"Aku mohon, pergi dari hidupku mulai sekarang."
Hari itu, di bawah sinar matahari yang sedikit tertutup awan, sebagian harapannya untuk bahagia telah runtuh. Salah satu alasan kenapa ia bisa bertahan sekokoh ini malah meruntuhkan dinding kokoh itu. Dan untuk kesekian kalinya, orang yang ia sayangi pergi jauh meninggalkan dirinya.
Esha sadar itu adalah risiko jika ia mempunyai perasaan pada lelaki, ditinggalkan atau meninggalkan. Hanya ada dua pilihan, dan di antara keduanya, ia merasakan pilihan yang pertama. Ditinggalkan oleh orang yang ia cintai, lagi.
Dirinya tersenyum sendu, menangis dalam diam tanpa isakan. Di bawah langit yang malah semakin memancarkan sinarnya, tapi berbanding terbalik dengan kondisi hatinya. Mendung dan kemudian hujan.
"Kenapa, Mbak? Kenapa, di saat aku udah mulai bisa lupain dia, dia malah menampakkan wajahnya lagi? Meskipun aku tahu kalau itu udah jadi takdir yang mengharuskan dia datang lagi, tapi, tetep aja Mbak, aku gak bisa lihat wajah dia. Bayangan saat dia memilih untuk pergi itu selalu datang, sakit, Mbak. Hiks.."
Direngkuhnya tubuh mungil itu ke dalam pelukan Dinda. Sekarang Dinda tahu bagaimana konfliknya, tapi tak tahu titik poin sebenarnya. Bisa saja kan kalau keputusan Hasan itu mempunyai alasan yang lebih dalam, sehingga memutuskan untuk pergi dan menjauh dari Esha. Entahlah, mungkin memang benar-benar murni tak ada alasan atau ada alasan besar dibaliknya, hanya lelaki itu yang tahu.
"Sakit, Mbak, di saat aku kehilangan orang yang aku sayang, dan dia malah ikut ninggalin aku. Menurut Mbak, aku harus gimana?"
Dinda mengelus punggung yang sudah tak bergetar itu. Menjauhkan tubuhnya dari tubuh Esha. Mengusap lembut pipinya yang basah.
"Ikhlas, Sha, ikhlasin dia dan terima keputusan dia buat pergi dari hidup kamu. Jangan pernah salahkan dia lagi atas pergi dan datang laginya dia di hidup kamu. Semua takdir udah ditentukan sama Allah. Kita sebagai umat-Nya harus bisa terima ini semua. Memetik pelajaran di setiap masalah dan ujian yang menimpa kita."
"Mungkin cara Hasan meninggalkan kamu itu salah, tapi, memang harusnya begitu. Maksudnya, seharusnya kamu berhenti untuk memiliki perasaan itu, perasaan yang kapan saja bisa menutup rasa cinta kamu pada sang Maha Kuasa, Allah SWT."
"Tuhan memberi cobaan karena kamu kuat, bukan karena lemah. Tuhan percaya kalau kamu bisa melewati semuanya dengan ikhlas."
"Lupakan dan lepaskan, lalu ikhlaskan, Sha. Ingat, jangan pernah menggenggam apa yang membuat kamu tersakiti."
••••
Assalamu'alaikum. Senang dapet notifikasi ini? Alhamdulillah kalo iya
Insya Allah, satu minggu ke depan bakalan bisa update kembali seperti biasa, dikarenakan Ujikomnya diundur bulan april hehe.
Ngegantung ya? Kasian, yang nunggu Bang Akbar tapi dia gak nongol di part ini.
Kabur ah kabur😁
Indramayu, 09 feb 2018 (dalam keadaan sedang diberi sakit oleh Allah, hehe)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro