Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

AKRESHA. 04

Kamu tahu? Aku memang pergi. Tapi, tidak menghilang dari bumi ini.


Akbar turun dari lantai atas dengan jas yang ia sampirkan di lengan kirinya, sementara lengan kanannya membawa tas kerjanya akan menuju tempat di mana Ayahnya berada--ruang tengah seperti biasa. Setelah bersiap-siap untuk berangkat ke kantornya, ia langsung akan menuju ke kantor.

Akbar mendengar suara kikikkan dari mulut Ayahnya yang ia lihat sedang menggeser-geser layar ponselnya. Akbar berjalan mendekatinya sambil mengerutkan kedua alisnya dalam.

"Ayah, masih pagi udah cekikikkan aja," ucap Akbar berdiri di samping sofa yang Ayahnya duduki itu.

Fadil menoleh ke samping, mendongakkan kepala karena posisi Akbar yang berdiri. "Ya, gimana, ya, inget-inget zaman kamu kecil dulu jadi pengennya ketawa terus," sahutnya.

Akbar menaruh tas dan juga jas kerjanya di sofa, lalu duduk di samping Ayahnya. Penasaran dengan apa yang Ayahnya beri tahu tadi. Fadil menyodorkan ponselnya pada Akbar, menampilkan foto-foto Akbar saat kecil, saat ia masih duduk di Taman Kanak-kanak.

Akbar menatap layar ponsel itu, jarinya menggeser-geser layar menampilkan foto yang berbeda-beda. Saat melihat foto-foto itu, Akbar hampir lupa kalau ia pernah mempunyai teman saat dirinya masih kecil. Bahkan, ia sudah tidak tahu lagi teman satu TKnya itu sekarang ada di mana.

"Lucu, kan?" tanya Fadil memperhatikan raut wajah Akbar yang sesekali mendengus, tersenyum geli, cekikikkan, bahkan sampai melotot ketika melihat wajah dirinya saat kecil yang cemong karena makan es krim.

Akbar menoleh pada Fadil kemudian fokus pada layar ponsel kembali. "Kok Akbar hampir lupa ya sama temen-temen TK?" tanyanya pada diri sendiri.

"Udah tua namanya," sahut Fadil membuat anak laki-lakinya itu menatap dirinya, seolah-olah tidak terima dengan apa yang ia katakan tadi.

Kini layar ponsel memperlihatkan foto Akbar kecil dengan dua perempuan memakai kerudung dan juga satu anak laki-laki. Posisinya, Akbar di ujung kiri, kemudian teman laki-lakinya di samping dirinya, sedangkan kedua perempuan yang memakai kerudung itu berdiri setelah temannya yang laki-laki.

"Yah, ini nama mereka siapa? Akbar lupa banget nama mereka."

Fadil menatap ponselnya sebentar, berusaha mengingat-ingat nama teman Akbar. Selang beberapa detik ia mengingatnya.

"Masa kamu gak inget? Ayah aja inget nama mereka."

Akbar menggaruk belakang kepalanya. "Ya... gimana lagi, Akbar bener-bener lupa. Kecuali sama nih yang laki-laki, kalo gak salah namanya.. Erik, ya Erik! Bener, kan?"

"Hm, bener. Dia Erik, terus yang perempuan dua itu siapa?"

Akbar mengingat-ingat kembali, memori otaknya ia putar habis. Seakan-akan, otak atas diputar ke bawah dan otak bawah diputar ke atas, siapa tahu saja dengan cara itu ia bisa mengingat zaman ia masih kecil.

"Lupa, Yah," ujar Akbar akhirnya.

Fadil mendengus kecil, mengambil alih ponselnya itu. Ia menatap dua anak perempuan itu yang tersenyum lebar, satu dengan senyuman manisnya dan satu lagi dengan senyuman yang membuat lesung pipitnya terlihat jelas di pipi sebelah kirinya.

"Ayah masih inget nama mereka berdua, tapi kalau wajahnya udah lupa. Mungkin wajahnya beda sama waktu mereka kecil, kali ya?"

"Kata ibu kamu dulu, yang berdiri di samping Erik itu namanya Adannaya, panggilannya Aya."

Akbar mengerutkan alisnya, dalam sekali. Ia berusaha mengingat-ingat perempuan yang bernama Aya itu. Seketika ia mengingatnya, berteriak heboh.

"Oh! Aya? Si pipi bolong!"

Fadil berjingkat kaget, mengelus dadanya. Ia menabok lengan Akbar, membuat sang empu mengaduh kesakitan.

"Biasa aja dong, Bar. Kaget tahu!"

Akbar mengelus lengannya yang terkena sasaran Ayahnya itu. Lalu terkekeh pelan, "Hehe, maaf, Yah. Terus yang di samping Aya itu siapa?"

Fadil kini menatap gadis yang berada di dalam foto itu, dengan senyuman khas miliknya. Kemudian menjelaskan, "Nah, kalo ini namanya Lintang seinget Ayah."

"Lintang?" beo Akbar.

Fadil mengangguk. "Mungkin kamu lupa banget sama dia. Dulu, dia satu TK sama kamu itu cuma satu semester, abis itu dia pindah sama keluarganya. Ya, setelah itu Ayah gak tahu lagi dia gimana."

"Kalo Erik sama Aya sekarang di mana ya, Yah? Ayah tahu gak?"

Fadil menggeleng. Kemudian berucap, "Gak tahu, tapi, mereka gak pindah luar kota, masih di Jakarta. Cuma, kalian bertiga pisah waktu masuk Sekolah Dasar. Ibu kamu juga dulu gak komunikasi sama orangtua mereka."

Akbar mengangguk mengerti sambil membulatkan bibirnya.

Seketika Fadil menabok kembali lengan Akbar, membuatnya terlonjak kaget.

"Heh! Gak mau kerja? Bisa bangkrut perusahaan Ayah! Udah sana kerja, nanti lagi keponya, kerja dulu sana!"

Akbar melotot besar, hampir saja bola matanya lolos dari wadahnya jika saja ia tidak mengerjapkan matanya. Kemudian langsung memakai jas kerjanya.

"Ayah sih bikin Akbar kepo tadi, kan jadinya lupa. Ya udah, berangkat dulu. Assalamu'alaikum."

Protesnya sambil mencium tangan Fadil dengan diberi bonus jeweran di telinga kanannya.

"Enak aja nyalahin Ayah! Mau nambah dosa kamu karena nyalahin Ayah, hah?!" sembur Fadil menatap berang pada Akbar yang menyambar tas kerjanya sambil ngacir keluar rumah.

"Ayah cetar banget jewerannya." gumam Akbar sambil mengusap telinganya. Memasuki mobilnya, dan bergegas menuju kantor.

•••

Esha menahan napasnya saat merasakan sesuatu yang sesak di dalam dadanya. Menatap kedua insan yang masuk ke dalam Cafe itu sambil bercanda gurau. Ya, matanya tak salah melihat, itu pasti dia. Dia yang saat ini masih menetap di hatinya, dari dulu, meskipun ia selalu menutupi perasaan itu dari siapapun.

Esha tahu, saat masih duduk di bangku SMA, ia dan lelaki itu tidak pernah menjalin hubungan lebih apapun--kecuali sahabat. Sahabat yang berujung akan kepahitan, kesakitan yang mendalam. Belum cukup ujian yang menimpa keluarganya, ia harus menahan ujian untuk hatinya saat melihat lelaki itu tidak pernah peduli lagi padanya saat mereka berpisah saat memasuki bangku perkuliahan.

Esha sadar, orang sepertinya tak pantas mendapatkan seorang teman ataupun sahabat untuk selalu menemaninya dalam keadaan apapun. Dulu, ia mempunyai sahabat bernama Nara dan Hasan.

Untuk Nara, perempuan itu kini kuliah di Solo, menetap di sana bersama Kakek dan Neneknya. Esha dan Nara masih berkomunikasi dengan baik, meski tak setiap hari. Untuk Hasan, Esha menyukainya. Lelaki yang baik dan juga selalu menghiburnya. Tapi sayang, Hasan menghindarinya dan juga tak menganggapnya lagi setelah mengetahui bahwa Esha menyukai dirinya. Padahal, Esha tidak pernah mengungkapkan rasa itu pada siapapun, kecuali Allah SWT.

Menghembuskan napas beratnya ketika mengingat masa lalunya kembali. Ia beristigfar dalam hatinya, menyingkirkan bungkusan ingatan tentang semua itu dari otaknya. Bahkan ia tak sadar kalau sedari tadi ada lelaki yang memanggil-manggil namanya.

"Halo? Apa ada nyawa di tubuh orang ini? Saya panggil daritadi gak nyaut-nyaut!"

Esha mengerjapkan matanya saat mendengar suara itu. Suara yang tidak asing? Ia menatap lelaki di depannya.

"Heh? Emm ... Maaf, Mas."

Lelaki itu memperhatikan mimik wajah Esha yang terlihat berbeda, seperti sedang memikirkan sesuatu hal?

"Kamu bengong aja. Sakit, Sha?"

Esha menggeleng cepat. Yang ia tahu, lelaki itu adalah lelaki yang ia temui di gerobak nasi goreng dan taman. Namun, ia belum mengetahui siapa nama lelaki yang berdiri berjarak di depannya.

"Masnya siapa?"

Pertanyaan itu lolos dari bibir Esha. Membuat lelaki itu jadi salah tingkah sendiri. Iya, ya, dirinya siapa? Batin lelaki itu.

"Kita pernah ketemu dua kali, dan kamu lupa sama saya?"

"Bukan itu maksudnya, Mas. Saya tahu kita pernah ketemu dua kali, tapi, maksud saya, Mas itu namanya siapa?"

Lelaki itu tersenyum geli. "Oh, jadi kamu kepo sama nama saya? Pengen banget tahu nama saya, gitu?"

Astagfirullah, medadak jantung Esha berdebar melihat senyuman geli dari lelaki di depannya itu. Ditambah dengan pertanyaannya yang membuat dirinya merasa kikuk sendiri.

Bola matanya berjalan ke sana ke mari. Untuk meredakan jantungnya yang deg-deg cepat itu. Memangnya apa yang salah dari pertanyaannya. Lagipula memang ia belum tahu nama lelaki di depannya itu siapa.

"Ya siapa tahu kalau Masnya jahat sama saya, saya bisa langsung laporin nama Mas sama polisi," kilah Esha.

"Alasan. Oke, nama saya Akbar." jedanya, "Kamu kerja di sini? Di Cafenya Gilang?" tanyanya melanjutkan.

Esha mengangguk. Untung saja saat ini Cafe lumayan lenggang, jadi ia bisa meladeni lelaki yang humoris di depannya itu. Apa? Humoris? Yang benar saja! Menyebalkan baru benar.

"Iya, Masnya temen dari Pak Gilang?"

Akbar menganggukkan kepalanya. "Iya. Kamu manggil dia pakai sebutan Pak?" tanyanya dengan nada tidak percaya.

"Iyalah, kan Pak Gilang bos saya, pemilik Cafe ini."

Dengan jail, Akbar memulai aksinya yang sedari dulu adalah kekurangannya. Yaitu dengan mengompori pikiran orang. Sangat kurang baik sekali aksinya itu.

"Dia mah gak cocok dipanggil Pak, cocoknya dipanggil Om."

Esha terkikik geli, bukan terkikik karena komporan Akbar. Tetapi, karena melihat Gilang berdiri di belakang Akbar. Ia baru saja datang di Cafe.

"Oh, jadi gitu ya kelakuan sahabat dari SMA kalo di belakang. Suka ngomporin orang. Bagus, kelakuan lo gak berubah dari dulu."

Akbar membalikkan badannya. Untuk kedua kalinya dalam sehari, ia melototkan kedua matanya, hampir keluar dari wadahnya jika ia tidak mengerjapkan kedua matanya.

Gilang di belakangnya, sambil memasang wajah yang sulit dideskripsikan.

••••

Aku gak mau alur-alur misteri, gak ahli wkwk. Semuanya ngalir di setiap partnya ya.

Siapa yang gemes sama AE?

Pasti belun dapet feelnya ya? Tenang, santai aja santai😄

Indramayu, 12 januari 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro