Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

30 🌸 Owari

O w a r i

🌸🌸🌸

Ada satu tradisi yang biasanya masyarakat Jepang lakukan ketika bunga sakura mulai mekar di musimnya. Bunga dengan kelopak merah jambu itu, tidak hanya sukses menarik minat masyarakat lokal saja. Bahkan hingga manca negara, penerbangan dengan tujuan Jepang akan menjadi paling padat karena banyaknya turis yang berkunjung.

Lalu bagaimana denganku? Sudah sekitar hampir dua tahun lamanya aku memiliki kartu resmi sebagai penduduk Jepang. Aku bukannya berniat untuk menetap selamanya di negara yang memberikan banyak kesan untukku. Namun karena suatu alasan, aku harus tetap berada di sini. Mungkin sekitar dua atau tiga tahun lagi.

Sesekali, aku berkunjung ke Indonesia untuk melepas rindu dengan keluarga. Termasuk di musim dingin kemarin.

Sayangnya, akibat badai yang cukup parah melanda Jepang. Perjalanan jalur udara ditutup sementara. Aku pun harus menunda pergi, padahal ada seseorang yang harus kuurus di negara yang letaknya bermil-mil jauhnya.

Kemudian hari ini, tibalah waktuku untuk kembali. Dihimpit oleh banyaknya manusia yang berdiri di dalam kereta, aku seakan kehabisan oksigen untuk bernapas. Harusnya tadi aku menyetujui saja tawaran orang itu untuk menjemputku di bandara. Daripada harus menyiksa diri seperti ini, datang-datang penampilanku pasti terlihat seperti habis terkena angin topan.

Aku sedikit bernapas lega karena pemberhentian berikutnya adalah stasiun yang kutuju. Meski selanjutnya aku harus memikirkan bagaimana caranya lolos dari himpitan para manusia ini.

Astaga, siapa pun tolong aku!

Kalimat wanita dari pengeras suara mulai terdengar. Pintu-pintu kereta dibuka, dan di saat itu lah, aku harus berjuang untuk maju sebelum arus manusia dari arah berlawanan kembali menyeretku masuk. Tapi sepertinya, tenagaku masih kurang kuat.

Harusnya aku pulang tidak di jam-jam sibuk Kota Osaka.

Di tengah keputusasaanku melawan arus. Sebuah tangan besar mencengkram kerah sweater yang kukenakan.

Cengkramanya sangat kuat, sampai aku berpikir mungkin sedang ditarik oleh seorang binaragawan atau sejenisnya. Satu yang kuharap, semoga sweater kesayangku ini tidak sobek karena cengraman orang ini.

Kejadian tarik menarik barusan berlangsung sangat cepat. Tiba-tiba badan dan koper yang kubawa, sudah tersipu di depan gerbong kereta yang siap untuk berangkat kembali.

Masih dengan setengah kesadaran, aku mendongak untuk melihat siapa orang yang sudah berbaik hati menolong wanita malang ini.

"Mau sampai kapan kau duduk seperti itu?"

Mata tajam dan wajah galaknya menjadi hal pertama yang kulihat.

"Ah, kau rupanya. Kukira orang aneh mana yang menarikku sedemikian kuat."

Wajah orang itu bertambah kesal. "Harusnya kau berterima kasih karena sudah kutolong, bukan malah mengatakan aku aneh."

Setelah otak kembali berjalan normal, aku berdiri dari duduk. Sembari menepuk-nepuk baju yang kotor, aku mengucapkan terima kasih padanya meski tidak terlihat tulus.

Di sini, mungkin hanya dia satu-satunya orang yang menyambut kepulanganku. Laki-laki yang pernah merepotkanku perkara masalah keluarganya itu, menguap lebar masih berdiri di samping. Padahal ini sudah menjelang makan siang, kenapa dia terlihat mengantuk begitu?

Ryou menarik koperku, sambil mengomentari berat barang bawaan yang amat ringan. Ia menyindir jika tidak ada oleh-oleh yang kubawa dari Indonesia. Dasar pemalas, memang isi di kepalanya hanya tentang makanan dan mesin saja.

"Kau datang sendiri?" Aku mengikutinya menuju tempat ia memarkirkan mobil. Laki-laki itu tersenyum misterius, sebelum menjawab pertanyaanku dengan kalimat bahasa Indonesia yang cukup menyebalkan didengarkan.

"Ada deh," serunya.

Aku berdengus, tidak ingin ikut dalam permainannya. "Jangan-jangan kau membawa barang ilegal?"

"Tentu," jawab Ryou cepat. Sementara aku melotot.

"Ryo—"

"Mama!" Kalimatku terpotong oleh teriakan anak kecil.

Suara yang kurindukan itu terdengar nyata dan amat dekat. Sampai kupikir mungkin aku hanya sedang berimajinasi karena ia tidak mungkin berada di sini.

Namun, sesuatu menyergap kakiku dengan sangat erat. Dekapannya menyadarkanku jika kehadirannya benar-benar nyata.

"Shota!"

"Okaeli, Mama!" ucapanya dengan wajah bulat lucu yang tersenyum ceria.

Aku membawa anak yang belum genap berumur empat tahun itu ke dalam pelukan. Menggendongnya, lantas menciumi pipi-pipi gempalnya yang empuk. Sementara Ryou tertawa kecil dan memandu kami kembali menuju mobil.

"Jadi ini yang kau maksud barang ilegal?"

Ryou mengangkat bahunya, tidak ingin menjawab. Hanya tersenyum lebar, karena melihatku dan Shota yang nampak senang bisa bertemu. Ia masih sama seperti Ryou yang kukenal tiga tahun lalu.

Setelah menyelesaikan urusanku di Indonesia dan kembali ke Jepang. Ryou menyatakan perasaannya padaku, tepat saat kelulusan kami berdua dari universitas itu. Ia mengatakan jika tidak butuh jawaban karena sudah tahu aku akan menolak.

Laki-laki yang susah sekali tersenyum itu hanya ingin mengatakan karena ia tidak ingin menyesal.

Tidak disangka, di balik sifatnya yang terlihat tidak acuh dan kasar. Ternyata Ryou adalah orang yang lembut, dan perhatian.

Dering teleponku berbunyi, menampilkan nama pemanggil yang membuatku mengulum senyum.

"Assalamu'alaikum." Orang di seberang menjawab salamku. Ia bertanya apakah aku sudah sampai di stasiun atau belum.

"Ah, aku sudah bersama Ryou. Rencananya kami mau langsung pulang ke rumah."

"Apa? Bersama Ryou?" ia menjerit terkejut.

"Tentu. Kau yang memintanya menjemputku kan?"

Sambungan terputus, sementara keningku mengernyit.

Aku tidak salah mengira kan?

Semburan tawa meledak dari sampingku. Ryou merebut ponsel merah jambu di tanganku. Lantas menyimpannya di saku celana. Mobil yang tadinya bergerak lamban dan pasti ke arah jalan menuju perumahan, mendadak berbelok arah.

He? Ada apa ini sebenarnya?

***

Suara tawanya pecah. Mungkin saking lucunya hal yang membuat ia tertawa, Akiyama Ryou sampai berguling di atas tatami ruang tamu.

"Dia langsung mematikan teleponnya?"

Aku mengangguk sebagai jawaban, sambil menyendok puding yang baru saja kuambil dari lemari pendingin pada Shota. Lagi-lagi, orang di seberang tempat duduk kami tergelak hingga air matanya keluar. Aku sempat berpikir, mungkin ia akan pingsan sebentar lagi karena kotak tertawanya hangus.

Untungnya, Shota tidak terlalu terganggu atau terkejut. Ia memakan cemilan siangnya dengan tertib. Mungkin pura-pura tidak dengar, atau memang tidak peduli pada laki-laki di sana.

Tidak berselang beberapa menit. Derap langkah kaki terdengar hingga ke ruangan kami. Pintu digeser keras, beriringan dengan teriakan nama Akiyama Ryou yang nyaring.

Kalau dua makhluk ini sudah bertemu, aku dan Shota harus cepat-cepat menyingkir jika tidak mau terkena masalah. Dua laki-laki itu mulai bergulat, sementara aku dan Shota berlindung di teras kecil samping rumah. Daripada melerai, aku lebih memilih membiarkan perkelahian bodoh mereka. Toh, keduanya sama-sama sudah dewasa. Gulat yang mereka lakukan bukan saling melemparkan pukulan mentah ke wajah lawan. Hanya menggelitiki perut atau ketiak seperti anak kecil.

"Mama, oleh inta agi?"

Anak yang sedari tadi bersamaku, mengangkat piringnya yang bersih. Dengan senyum lembut aku menyentuh kepalanya.

"Tentu, Biar aku ambilkan untuk Shota."

Ia menggeleng kuat. "Shota udah esal! Shota ambil sendiri!"

Susah payah ia berdiri, kemudian berlari ke arah dapur. Di usianya yang hampir menginjak balita, Shota mulai aktif berbicara dan bergerak. Padahal jika mengingat empat tahun sejak kedatangannya ke rumah Akiyama, Shota adlalah bayi laki-laki pendiam yang sering tersenyum saat tidur.

Ia jarang menangis, dan lebih sering tertidur. Satu waktu ia tersenyum dalam tidurnya, membuatku dan Mio bertanya-tanya sebenarnya apa yang dimimpikam bayi mungil itu.

Akiyama Shota, nama yang diberikan sensei pada anggota keluarga baru mereka. Tepat setelah kelulusanku dan Ryou, sensei membawa seorang bayi dari panti asuhan untuk keluarga mereka adopsi.

Melihatnya tumbuh dengan sehat dan ceria, seakan berkaca pada diriku di masa lalu. Bedanya, waktu adopsi kami yang tidak serupa. Jika Shota sudah diadopsi sedari ia masih bayi, maka aku harus menelan banyak kecewa dan kalimat kurang menyenangkan dahulu sebelum akhirnya dipertemukan dengan keluarga Yayah. Aku bernapas lega, karena Shota tumbuh tidak dengan pengalaman kurang mengenakkan sepertiku.

Tidak genap satu bulan merawatnya bersama Mio. Aku harus pulang kembali ke Indonesia.

Tentu kalian tidak lupa dengan penculikan di sekitar kafe Bian bukan? Kukira, nyawaku sedang dalam bahaya saat itu. Namun begitu membuka mata, dua orang yang menculik dan membawaku kabur adalah orang yang kukenal. Mereka adalah kakak-kakak sepupu dari Binar.

Tepatnya calon-calon kakak ipar sepupu karena di saat itu pula, Binar melamarku di tempat yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari.

Meski mengesalkan setelah pengakuan orang yang menabrakku di bandara maupun di Ditonbori adalah dirinya, aku tetap menerima lamaran Binar. Ia juga menjelaskan jika kepergiannya dari Cordoba awalnya memang untuk menjemputku di Jepang. Binar sudah merencanakan itu dengan Bang Arsa, tapi begitu sampai dan bertemu di bandara, pemuda itu berubah pikiran dan coba bermain petak umpet denganku.

Ia bahkan ada di pesta alumni meski bolos dari tugas sebagai panitia. Katanya, karena sering merepotkan Bian untuk rencananya, Binar harus membayar mahal bantuan teman sekamarnya saat di pondok itu.

Acara pernikahan digelar satu tahun setelah kelulusan. Acara sederhana namun tetap berkesan menjadi konsep pernikahan kami. Hingga setelah akad, aku dan Binar sepakat, kalau kami akan sama-sama meneruskan kuliah di Kota Osaka.

Dan di sinilah kami sekarang. Sembari tetap berkuliah, aku dan Binar mencari kerja sambilan untuk memenuhi kebutuhan selama di Jepang. Diterimanya suamiku itu sebagai pengajar di salah satu universitas ketika kami menyelesaikan pasca sarjana, membuatku dan Binar berinisiatif untuk mendaftarkan diri sebagai warga negara Jepang. Bukan tidak mencitai tanah kelahiran, namun itu adalah salah satu syarat dari pekerjaannya.

Selama itu pula, aku membantu Mio mengurus Shota karena kepindahan sensei ke Prefektur Tokyo. Di umurnya yang baru bisa berucap "a" dan "i" saja, anak itu memanggil Mio dengan sebutan Mimi, dan aku dengan Mama. Sementara Binar dan Ryou masing-masing disbut Baba dan Riri.

Menggemaskan sekali bukan?

Hari ini harusnya jadwal Mio membawanya ke Tokyo untuk bertemu sensei. Jadi kukira, aku tidak sempat bertemu dengannya karena jadwal kereta mereka biasanya berangkat pagi.

"Tadaima!" Suara gadis yang kuhafal di luar kepala menggema ke seisi ruangan. Aku tersenyum, lantas beranjak menuju pintu depan.

Sementara dua orang yang tadi masih sibuk bergulat, sudah memiliki kegiatan lain sambari tertawa bersama.

Haaa, dasar manusia-manusia ini.

"Okaeri!" balasku. Bersamaan dengan Shota yang berlari dari dapur untuk menyambut Mio.

"Onee-san! Kapan kau datang?" Mio menggendong Shota, lantas memelukku setelah melepas sepatunya.

"Baru saja. Mungkin sekitar setengah jam yang lalu. Tapi Bukankah kalian harusnya di Tokyo hari ini?"

"Eh? Nii-san tidak memberitahumu? Besok kita akan pergi bersama ke Tokyo! Harusnya hari ini, tapi karena Onee-san pasti lelah setelah perjalanan jauh. Aku bilang kalau kita akan berangkat besok."

Keningku mengernyit sebagai respons. Karena yang kutahu, besok dan lusa Mio masih masuk kuliah. Jadi tidak mungkin rasanya kami bisa berpergian jauh.

"Kau tidak sedang berencana untuk bolos kuliah kan?"

Mio tertawa. "Tidak! Justru karena tugas akhirku sudah selesai, kita akan pergi berlibur tanpa beban!"

Eh? Selesai? Serius?

Gadis yang tersenyum lebar di depanku mengangguk berulang kali. Ia seakan menjawab pertanyaanku lewat telepati.

Jerita senang keluar dari mulut kami. Sembari berpelukan erat, kami melompat-lompat saking bahagianya. Mungkin terlihat berlebihan di mata orang lain. Namun percayalah, suatu saat ketika ada di penghujung semester, kamu pasti akan merasakan lega yang tiada ujung. Kebahagiaan yang nilainya tidak bisa diukur dengan uang.

Tidak hanya bersyukur aku bisa mendampingi dan membantu Mio di saat-saat tersulitnya. Satu perubahan juga terlihat setelah ia memasuki kuliah semester pertama, yaitu keputusan Mio untuk menutup aurat di kepalanya.

Ia mengatakan, meski terasa asing dan malu karena terlihat berbeda dengan orang-orang Jepang kebanyakan. Tapi ia ingin lebih dekat dan mencintai kepercayaannya seperti sang Ibu. Terlihat berbeda di mata orang lain tidak masalah bukan? Yang terpenting, ia makin terlihat sama seperti orang-orang salih di mata Tuhan kami.

Akiyama Ryou pun sudah memutuskan untuk kembali. Dari buku yang ia baca, semua bayi terlahir dengan kepercayaan pada Allah SWT. Namun karena mereka lemah dan tidak memiliki ingatan saat itu, orang tua dan lingkungannya yang memberikan mereka pelajaran. Jadi saat Ryou teguh untuk memeluk islam, ia tidak pernah mengatakam jika dirinya pindah keyakinan. Tapi, kembali kepada kepercayaannya.

Akhir bahagia untuk semua orang bukan? Kuharap begitu. Banyak impian yang ingin kami gapai, semoga diberikan umur agar bisa menyimpan lebih banyak kenangan lagi.

Aamiin.

***

Nb:
*Owari: akhir
*Dan, selamat! Kamu sudah menuju akhir dari penutup kisah Meda di Osaka. :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro