Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24 🌸 Raibaru

R a i b a r u

🌸🌸🌸

Rumput-rumput yang basah karena embun, menjadi pemandangan pertamaku begitu melintasi halaman samping. Kolam ikan yang sebelumnya ditutup untuk menghindari beku dan tumpukan salju karena musim dingin, mulai diisi kembali dengan ikan-ikan peliharaan Otou-san. Udara menghangat, bahkan angin musim semi yang sejuk sudah tidak sekering kemarin.

Semua makhluk yang takluk di bawah selimut putih yang menyelimuti Osaka, mulai menjalankan aktifitasnya masing-masing. Bahkan alam yang seolah berhenti berputar karena membeku, kini mulai mencair dan bergerak kembali.

Sama halnya dengan awan-awan yang melewatiku, hari-hariku pun terlewati begitu saja tanpa mendengar tawa yang biasa mengisi kekosongan. Apakah hari-hari sepi seperti ini akan terus berlanjut jika ia tidak kembali?

Terlebih lagi, seseorang yang nampak akan membawanya pergi menjauh dariku datang kemari dan menginap.

Kirameki, orang itu memperkenalkan dirinya menggunakan Bahasa Jepang. Laki-laki yang Mio ceritakan bisu sedari lahir, ternyata ia sudah pernah melakukan operasi dan berlatih berbicara sejak umur delapan tahun.

"Ohayou 'jiwa'," katanya dengan rambut acak-acakan dan wajah yang setengah mengantuk.

"Jiwa apa maksudnya?" Aku mengulang kata terakhir yang dia ucapkan karena terdengar asing. Mungkin itu Bahasa Indonesia?

Orang itu tertawa kecil dan ikut meregangkan tubuh. "Jiwa dalam bahasa Jepang artinya tamashii, kalau aku tidak salah. Aku tahu itu kata dari salah satu youtuber asal Indonesia yang pernah belajar di sini. Dia juga mengganti kata konnichiwa, dengan kata konnijiwa saat opening."

Aku menaikkan alis, arti dari Bahasa Jepang yang dicampur dengan bahasa lain rasanya terdengar aneh di telingaku.

"Kau belajar Bahasa Jepang dari si youtuber itu?"

"Sedikit. Tentu lebih banyak dari panduan dan buku. Aku melihatnya karena konten orang itu menyenangkan dan mengedukasi, dan tentu saja karena kebetulan aku juga akan ke Jepang. Jadi aku butuh beberapa pengetahuan sebelum datang kemari."

Di luar dugaanku, Kirameki yang selalu berbicara singkat lewat teks ternyata berkebalikan ketika dia sudah mengeluarkan suaranya.

Ia kemudian duduk di pinggiran kolam ikan, memperhatikan koi milik Otou-san yang sedang berenang. Tidak seperti penampilannya sebelum memutuskan untuk berbicara, ia yang tampak tenang dan berkharisma ternyata memiliki sisi humoris dan mudah beradaptasi. Mio, ayah, bahkan aku sekarang seakan sudah menjadi kenalan lama pemuda asing ini.

Laki-laki berparas cantik itu sama sekali tidak kaku, berkebalikan dengan Andromeda yang masih terlihat sedikit sungkan meski tinggal lebih lama dari Kirameki. Yang sama dari keduanya hanyalah sifat ramah yang membuat banyak orang nyaman dan mudah menjadi akrab.

Apakah karena mereka berteman cukup lama? Atau karena sifat yang mirip itu akhirnya keduanya menjadi teman? Entahlah, namun jika hanya teman. Tidak mungkin rasanya orang ini akan jauh-jauh datang dari Cordoba ke Jepang hanya untuk menemui Andromeda.

"Bisa ke sini sebentar?" Aku memanggilnya ketika Mio datang membawakan camilan pagi. Adikku itu tidak ikut bergabung, karena buru-buru harus pergi ke suatu tempat. Ia hanya menitipkan pesan jika sarapan sudah siap di meja makan.

"Orang Jepang memang makan cemilan dulu sebelum sarapan?" tanyanya, yang sudah duduk di sebelahku.

"Biasanya tidak. Tapi karena kau tamu, kami jadi harus menjamu."

"Wah, aku jadi merepotkan sekali ya."

Kalau kau tahu merepotkam harusnya kau cepat pergi bukan?

Kirameki mengambil kue beras yang Mio siapkan dan mencicipi teh hijau sedikit demi sedikit. Aku ingat waktu ia pertama kali datang, dan disuguhi teh hijau hangat. Matanya berbinar seolah menemukan hal baru, namun wajahnya langsung berubah masam ketika menyeruput dengan semangat teh itu.

"Pahit." Kata sama yang pertama kali ia keluhkan. Memang ada teh manis? Yang kutahu, semua teh di Jepang memiliki rasa pahit. "Sepertinya aku mulai sedikit terbiasa dengan lidah masyarakat Jepang."

Aku tertawa kecil melihat tingkahnya. Padahal semalam kami sempat perang dingin ketika mulai membahas Andromeda. Insting seolah ingin membunuh terasa sekali darinya ketika aku menyebutkan sederet sifat gadis itu. Dari tatapannya, aku merasa dia memang kemari bukan hanya karena ingin menemui teman lama.

Sebagai sesama laki-laki, kami biasanya memang tidak suka mendengar pria lain bercerita tentang orang yang sama-sama disukai. Tapi sifat tidak sukanya terlihat jelas sekali. Terang-terangan memberikan sinyal bahwa kami adalah rival.

Namun, coba lihat hari ini. Ia bahkan terlihat berbeda sekali dengan Kirameki yang semalam.

"Ah, yang kemarin. Aku minta maaf," ucapnya. Aku dan dia tidak bisa dibilang akrab, tapi bermusuhan juga nampaknya bukan sifat dasar kami.

"Aku paham. Sebagai sesama laki-laki, aku tahu bagaimana rasanya ingin menjaga orang yang disukai agar tidak direbut orang lain. Tapi, perlu kau sadari. Andromeda masih bukan milik siapa-siapa."

Orang ini tersenyum. "Tentu, aku hanya tidak bisa mengontrol emosi saja semalam."

"Kukira kau tipe orang yang tenang seperti Andromeda."

Ia tertawa sebelum menjawab, kaki-kakinya berayun pelan. "Itu hanya berlaku di wajahku saja. Ngomong-ngomong kau belum menjawab pertanyaanku."

Pertanyaan? Yang mana?

Kirameki meneguk teh hijau di gelasnya dalam satu tegukan, ia berseru dalam Bahasa Indonesia, sebelum akhirnya berlari ke dapur. Mungkin mengambil air minum. Dia bilang mulai terbiasa hidup di Jepang, tapi reaksinya selalu seperti itu setelah meminum teh hijau.

"Mau baik-baik saja? Butuh permen?" tawarku yang ikut masuk sembari membawa sisa kue. Otou-san sudah berangkat mengajar dari pagi, jadi hanya tersisa aku dan orang asing ini di rumah.

"Akiyama-san, apa Meda selalu minum ini saat di Jepang?"

Kepalaku mengangguk sebagai jawaban. "Jadi pertanyaan apa yang belum aku jawab?"

Orang yang terduduk lemas di depan tempat cuci piring itu membisu, ia menatapku cukup lama dalam diam. Menusuk kornea seakan sedang mencari sesuatu. Hingga jarum jam dinding di ruang dapur menunjukkan pergantian angka, Kirameki mengangkat suara.

"Kau ... menyukai Meda?"

"Hum, aku menyukainya." Tidak perlu jeda, aku langsung menjawab pertanyaannya tanpa ragu.

Masih bertahan di tempat yang sama dengan raut wajah serius, orang ini melempar pertanyaan baru padaku. Dibanding rival, dia seperti calon ayah mertua yang sedang menguji calon menantunya.

"Apa yang kau suka darinya?"

Sayangnya, pertanyaan keduanya tidak bisa kujawab dengan cepat. Aku melempar balik pertanyaan itu padanya.

"Bukankah sudah jelas?" ujarnya. Pemuda itu berdiri dari duduk dan pindah ke kursi yang berhadapan langsung dengan meja makan. "Meda itu, selain sifatnya yang bisa membuat siapa pun jadi nyaman berada di dekatnya. Dia juga manis dan cantik. Tapi tentu saja ada hal lain yang membuatku menyukainya."

"Apa itu?"

"Kau penasaran?" Ia tersenyum licik, seakan menantang. Tentu aku balas dengan senyum sinis, tidak ingin kalah.

Aku baru tahu. Kalau selain tidak bisa pandai menyembunyikan emosi, Kirameki juga tidak pandai menahan tawa. Coba saja lihat dia sekarang, orang yang tadinya amat serius menantangku malah tertawa terbahak-bahak begitu. Kenapa banyak sekali orang-orang unik di sekitarku?

"Akiyama Ryou, kau menyukai Meda karena ia pernah menyadarkanmu bukan? Mah, aku juga menyukainya karena pernah menolongku. Tapi sebenarnya alasan kita sama-sama jatuh hati padanya karena segala hal yang melekat pada gadis itu. Sifat, tingkah, cerita, dan lain-lain. Karena terlalu sering mengamatinya, tanpa sadar kita membuka hati dan memberikan dia posisi penting bukan? Bahkan kita tidak tahu jika sedang jatuh cinta. Merasa ada di dekatnya memang terasa semenyenangkan itu, dan baru menyadari perasaan sendiri ketika tiba waktu untuk berpisah."

Apakah memang benar begitu? Aku bergumam, mencerna kalimat yang diucapkan orang ini sembari mengingat pertemuan hingga kedekatanku dengan Andromeda. Kalau diingat, memang tidak ada alasan khusus aku tiba-tiba menyukai gadis itu. Andromeda memang sempat menolongku untuk mencari jawaban, tapi bukankah sebenarnya aku sendiri yang menjawab kebingunganku?

Jika alasannya karena kami dekat dan sering bertemu, dengan Sayou pun aku juga sama-sama dekat dan jauh lebih sering bertemu daripada dengan Andromeda. Semakin dipikirkan, semakin tidak tahu apa alasan diriku menyukainya.

Mungkin benar apa yang Kirameki katakan. Karena terlalu sering memperhatikan, tanpa sadar, pintu yang sudah lama usang dan berkarat terbuka karena senyum dan tawa hangat dari gadis itu.

"Kau merasakannya juga bukan?" Ia tersenyum ramah. Mungkin karena dapat membaca jika kami ada di satu kapal yang sama, Kirameki terlihat lebih bersahabat sekarang. Kalau saja ia tinggal lebih lama, sepertinya kami akan menjadi lebih akrab.

"Kau benar. Setelah mendengar ceramahmu, aku jadi tidak tahu alasan kenapa aku menyukai gadis itu. Karena semua yang ada padanya, bisa dijadikan alasan kenapa kita jatuh cinta."

Tepuk tangan kecil menggema di dapur. Ia berseru, "subarasii na" dengan wajah bangga.

Tidak hanya membuka hatiku untuk belajar mencintai orang lain, namun kurasa Andromeda juga telah membuka pintu itu agar aku bisa menerima orang-orang seperti Kirameki menjadi teman. Tapi ngomong-ngomong, aku masih penasaran dengan nama asli orang ini. Aku yakin dia tidak murni keturunan asli Jepang kan?

"Ah, Kirameki. Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

"He? Namaku? Kirameki kan?" katanya seakan Kirameki benar-benar adalah namanya.

"Bukan, maksudku namamu di Indonesia. Aku tahu kalau Kirameki bukan lah nama aslimu."

"Ah, soal itu. Kau penasaran?"

Kepalaku mengangguk. Kalau dibilang sangat penasaran, tentu tidak. Aku hanya ingin tahu karena aneh rasanya ingin memulai berteman tanpa tahu nama asli orang tersebut.

Ia tersenyum sebentar, "Kirameki, jika kau terjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki arti Binar."

Binar? Aku seperti pernah mendengar nama itu disebutkan.

Otakku berusaha keras untuk menemukan memori tentang siapa yang pernah mengucapkannya. Hingga bayangan seorang gadis yang tersenyum di bawah langit bersalju muncul memenuhi isi kepalaku. Tepat beriringan dengan Kirameki yang menyebutkan nama lengkapnya dengan senyum lebar.

"Binar Ramadhan. Kau bisa memanggilku Binar."

***

Cordoba, menjelang tengah malam.

Aku terdiam di tempat. Bola mata yang terpaku pada foto profil seseorang, membawaku mengingat bahu yang kala itu menabrakku di tengah-tengah lautan manusia kota Osaka.

Mungkin kah dia sudah kembali?

Nada sambung terdengar begitu aku menekan ikon gagang telepon. Panggilan yang tidak kunjung diangkat membuatku sedikit cemas jika ini hanya akan terputus begitu saja.

Dua, tiga, aku menghitung dalam harap. Sampai akhirnya, nada sambung tadi terputus. Seseorang mengangkat telepon dariku.

"Assalamu'alaikum?" ucap orang di seberang, membuat dahiku mengernyit dan memeriksa kembali foto orang yang kuhubungi.

Suaranya memang familiar di telingaku, tapi bukan suara ini yang kuharapkan.

"Halo? Meda?"

"Waalaikumussalam. Bian?" tanyaku untuk memastikan jika penerima di seberang sana adalah pelanggan setia maskerku ketika mondok di Darul Akhyar.

Orang di sana tertawa. "Aku kira kamu lupa suaraku."

Astaga, ternyata benar. Orang ini benar-benar!

"Di foto profil itu kamu?" Bian tidak menjawab, ia berdengung seperti orang yang sedang ragu. Lalu buru-buru memutus sambungan dengan alasan, ibunya meminta ia untuk berbelanja ke pasar.

Sia-sia aku berharap. Ternyata Bian yang menggunakan foto itu. Mungkin perawakan anak itu sudah berbeda dari dulu saat kami masih di pondok pesantren. Bisa jadi, Bian adalah salah satu orang yang punya postur hampir mirip dengan orang itu. Tapi, bukankah sedikit mengganjal?

Bian memang bisa saja berubah setelah empat tahun kami berpisah. Tapi, tanda lahir di leher di foto ini. Bukankah hanya satu orang saja yang aku tahu punya tanda itu di Darul Akhyar?

"Meda?"

Pupilku melebar karena terkejut. Tepat di hadapanku saat ini, berdiri seseorang yang menghilang secara tiba-tiba saat acara kelulusan Darul Akhyar. Nada suara lembut dan rendah, juga penampilannya yang sederhana tidak berubah. Dia adalah orang yang meninggalkan secarik surat untukku sebelum pergi. Dan nampaknya, aku kembali mengaguminya setelah sekian lama tidak bertemu.

"Sudah lama nggak ketemu ya. Mau minum teh bersama?"

***

Nb:
*Raibaru: rival/saingan
*Ohayou: selamat pagi
*Konnichiwa: selamat siang
*Subarashii na: hebat/mengagumkan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro